Bab 27

5.1K 233 0
                                    

                "Mama mau datang besok!" kataku cepat.

Alexander yang sibuk dengan stick ps-nya tertegun, lantas menghentikan kegiatannya dan menaruh stik itu di depannya. Ia mengabaikan permainannya yang sudah separuh jalan. Mungkin kata-kataku lebih membuatnya tertarik.

Bukannya aku tak terkejut mendengar kabar dari mama pagi tadi. Tak ku sangka mama menelponku secepat ini setelah kami sempat sedikit bersitegang waktu itu saat kepulanganku ke Bandung. Mama bilang dia merindukanku, apalagi papa yang belum pulang selama lebih dari sebulan. Mungkin karena mama kesepian, makanya mama ingin datang ke Jakarta dan menemuiku.

"Baiklah....aku akan menemui mamamu besok." Alexander menggumam, menyandarkan tubuhnya pada sisi tempat tidur sedangkan matanya menatapku. Menangkap raut keterkejutanku barangkali.

"Ketemu sama mama?"

tidak....tidak....tidak.....!

meskipun mama datang ke sini, bukan berarti juga mama akan menerima Alxander dengan baik nanti. Apalagi mama sudah terlanjur men-judge Alexander sebagai cowok tidak baik-baik karena mulut Abian yang lemes. Jadi, untuk saat ini aku tidak berharap mereka bertemu.

"Aku hanya memberitahu rencana mama, bukan bermaksud menyuruhmu menemuinya." Sangkalku.

Alexander mengulum senyum, mengambil remote lantas mematikan televisi.

"Kenapa? Kamu takut mamamu menolakku?" ia seakan mengetahui apa yang kupikirkan.

Aku menunduk. sejujurnya ingin menjawab 'iya', namun tak sampai keluar dari kerongkonganku.

Alexander beringsut dari posisinya,lantas menarik daguku untuk menatapnya. Pandangan kami bertemu, dan sorot mata teduh itu tampak hangat disertai senyuman tipis dari bibirnya.

"Aku tidak akan mundur meskipun mamamu menolakku Sha." Jawabnya pelan. "jadi ijinkanlah aku bertemu dengannya. Mengerti?"

Aku menarik nafas pelan. Masih dengan sedikit ragu, akhirnya aku mengangguk.

******

Sudah hampir dua jam tepatnya aku dan mama duduk di restoran ini. restoran bernuansa lawas dengan banyak lukisan pedesaan yang menyegarkan mata. Di tambah dengan gemericik air yang mengalir dari pancuran berbentuk ikan di depan kami serta beberapa tanaman bunga yang tampak asri.

Belum ada hindangan pembuka yang datang, hanya saja juice di hadapan kami sudah hampir tak bersisa. Kami sengaja tak memesan apa-apa karena menunggu kedatangan Alexander. Namun sudah lebih dari satu jam sejak kabar terakhirnya, bahwa dia sedang bersiap. Sampai sekaarangbatang hidungnya belum kelihatan, apalagi sejak tadi teleponnku tak diangkat.

Aku mengatakan pada mama tentang Alexander yang ingin bertemu dengannya. Meskipun respon mata terkesan datar dan lebih ke 'nggak peduli', namun aku bangga pada mama karena bersedia bertemu dengan Alexander dan bahkan mengajaknya makan siang bersama. Meskipun aku tidak tahu nanti apa yang akan mereka bicarakan.

"Dimana cowok kamu Sha?" sudah kesekian kali mama menatap jam tangannya. Wajahnya semakin kesal. "Ini sudah lebih dari telat lho. Mama bisa kemaleman sampai di Bandung nanti."

Aku berdecak kecil. sejak tadi aku berusaha mengulur watu agar mama bisa sedikit lebih sabar, namun sepertinya kali ini meskipun aku berusaha untuk menenangkan mama, semuanya pun akan sia-sia.

Sebenarnya kamu kemana sih Al? Please, jadikan kesan pertama bertemu mama dengan sesuatu yang menyenangkan.

Jikapun nanti Alexander jadi datang, mungkin mama juga tidak akan bisa menyambutnya dengan baik. Karena aku tahu mama, jika sudah kesal, mama tidak akan sungkan memperlihatkan ekspresinya.

"Tunggu sebentar lagi ya ma. Mungkin kena macet." aku menarik ujung baju mama, menatapnya minta dibelaskasihani.

Mama mendengus."Coba ditelepon lagi. Siapa tahu diangkat."

Aku mengangguk, kembali mengambil ponselku dan menelponnya. Namun lagi-lagi, hanya terdengar bunyi 'tut....tut...tut....' yang panjang.

"Gimana?" tanya mama setelah aku kembali menaruh ponselku di atas meja. Melihat ekspresiku, seharusnya mama mengerti.

Aku menggeleng lesu. "Nggak diangkat." Jawabku pelan. Daripada mengkhawatirkan respon mama, kini aku justru was-was dengan keadaan Alexander. Tidak biasanya dia membatalkan janji tanpa konfirmasi. Aku takut terjadi apa-apa dengannya di jalan, atau mamanya yang harus masuk rumah sakit lagi.

"Yasudah, kita pesen aja sekarang." mama membuyarkan lamunanku. Kini sudah memanggil seorang waiters.

"Tapi ma." Aku masih berusaha untuk mengulur waktu mama.

Mama menggeleng.

"Enough Sha. Dia sudah menyia-nyiakan kesempatannya." Jawab mama tegas, tak ada penawaran.

Aku menghela nafas pasrah. Tak ada yang bisa kulakukan selain diam, sedang mataku terus menatap mama yang kini sudah mulai memesan makanan.

*****

Setelah mama pulang, hal pertama yang aku lakukan adalah mencari Alexander ke tempat kosnya. Namun nihil! Kamarnya rapi, dan dingin. Menunjukkan jika penghuninya belum pulang.

Aku tak ingin berhenti sampai disitu, jika tak ada di kos, berarti dia pulang ke rumah. mungkin terjadi sesuatu dengan mamanya, sampai dia tak bisa mengangkat teleponku atau membalas pesanku.

Hari sudah beranjak malam saat aku tiba di depan rumah besar berlantai dua tersebut. Pagar kokohnya berderit nyaring saat seseorang membukanya. Harap-harap cemas jika itu adalah Alexander. Namun perasaannya kembali kecewa saatsosok yangmuncul di depan pintu adalah sopir pribadi mamanya.

"Lho, mas Ale udah beberapa hari nggak pulang mbak...." itulah jawaban paling mengecewakan setelah ucapan mama tadi siang bahwa Alexander menyia-nyiakan kesempatannya.

Aku meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang tak bisa aku ungkapkan. Dengan langkah gontai menyusuri jalanan sepi di depan kompleks perumahan itu. badanku lelah, tentu saja. sejak mama meninggalkan Jakarta tadi sore, aku tergesa mencari kabar Alexander.

Harapan terakhirku hanya satu, menghubungi Bagas atau Samuel. Pasti hanya mereka yang tau dimana keberadaan Alexander sekarang.

Berbekal nomor telepon keduanya yang kuminta paksa pada salah seorang teman di kampus, aku menghilangkan ego dan harga diriku bahwa perempuan itu di cari, bukan mencari. Persetan dengan ungkapan itu. mungkin dua bulan lalu aku adalah Alisha yang seperti itu, namun sekarang aku tak mau berdiam diri menunggu Alexander menghubungiku.

"Alexander? Gue nggak ketemu dia dari kemarin. Bukannya dia sama lo ya Sha. Ketemu sama nyokap lo?" Itu jawaban Samuel, yang kembali memupuskan harapanku.

"Lo ceweknya aja nggak tau, apalagi gue!" itu jawaban Bagas, yang membuatku menyerah. Tanpa peduli, aku terduduk lesu di bawah lampu mecury, menangis sejadi-jadinya, mewakili perasaanku yang begitu sesak.

Malam ini aku putuskan untuk menunggunya di kamar kosnya. Tidur meringkuk di balik selimut dengan mata nyalang yang tak bisa terpejam sama sekali. Terkadang aku melompat dari tempat tidur saat mendengar deru kendaraan masuk gerbang, namun kembali menelan kecewa saat membuka pintu dan itu bukan mobil Alexander. Jika sampai besok aku tak mendengar kabarnya, aku akan datang ke kantor polisi dan ke rumah gerbong. Siapa tahu dia ada di sana.

Kamar ini begitu asing tanpanya.

Kamar inin begitu dingin tanpanya.

Tak ada kehangatan seperti biasanya yang kurasakan.

Hanya hembusan angin malam yang memainkan pucuk-pucuk gordyn, menemaniku semalaman tanpa permisi.

Dan sampai esok hari, tak ada sosoknya masuk ke dalam kamar ini.

Aku terbangun dengan perasaan kecewa. Kembali aku menangis sejadi-jadinya.

iL Legame (tamat)Where stories live. Discover now