Bab 36

6K 312 1
                                    

                Aku baru keluar dari kamar mandi saat dering ponsel yang berada di atas ranjang mejerit nyaring. Masih dengan tubuh yang terlilit handuk, aku bergegas megambil benda pipih ini.

Papa calling....

Aku menghela nafas pelan, aku lupa jika ada satu orang lagi yang hatinya sedang terluka dengan apa yang terjadi denganku dan mama. Dan itu adalah papa, seorang pria hebat yang bisa menerima mama apa adanya.

"Halo pah...."

"Sayang kamu kuliah?"

"Enggak, Alisha libur."

"Kamu bisa keluar hari ini?"

"Bisa pah....memang papa dimana?"

"Papa perjalanan ke Jakarta, mau ketemu kamu."

"Ha?" Aku terlonjak kaget. "Papa kapan pulang dari Papua?"

"Kemarin."

Aku terdiam beberapa saat.

"Papa mau ke kos Alisha?"

"Emmm....kayaknya hari ini papa mau ketemu anak papa di mall aja deh, biar nggak suntuk."

Aku tertawa.

"Oke deh pa! Tunggu Alisha ya....."

"Oke sayang. See you."

Aku segera membuka lemari dan berganti pakaian. Tak sabar ingin bertemu papa dan bercerita banyak hal dengannya. Meskipun aku tahu saat kita ketemu nanti, papa pasti akan membahas tentang mama. Dan aku akan siap untuk ceritanya.

*****

Papa sudah menungguku di sebuah kedai kopi saat aku datang. Melihat kedatanganku, papa langsung berdiri dan memelukku dengan hangat.

"Mau pesen apa Sha? Kata mbaknya ada cake enak di sini." Tanya papa saat kami sudah sama-sama duduk, sedangkan di depan kami ada seorang waiters wanita sedang menunggu kami.

"Iya mbak, oreo cake jadi best seller di sini." Waiters itu menyahut.

"Oke deh mbak, saya pesen oreo cake-nya satu. Kopi Vietnam buat papa dan...." mataku kembali menjelajahi buku menu. Ingat bahwa aku pernah berjanji pada Alexander untuk tidak lagi minum kopi. "Cokelat hangat saja ya mbak."

Waiters itu tersenyum lantas mencatat pesananku.

Cukup lama aku dan papa saling bertukar cerita, saling bertanya kabar, pekerjaan papa, perkuliahanku dan sampai pada inti pertemuan kami, yaitu tentang apa yang menjadi masalahku ahir-akhir ini.

"Papa dengar ingatan kamu sudah pulih Sha....." itulah kalimat pembuka papa, dan aku hanya mengangguk.

"Kenapa papa nggak pernah cerita tentang kejadian itu sama Alisha?" tanyaku. "Padahal Alisha selalu penasaran, bagaimana mendapatkan bekas luka sebegini besar di paha Alisha."

Papa tersenyum, menyruput kopinya dengan pelan.

"Karena papa rasa, kamu nggak perlu tahu tentang kejadian itu Sha. Kami menutupnya rapat-rapat. Karena kami pikir, jika kamu tahu dan terus mengingat tentang hal itu, kamu tidak akan tumbuh dengan baik."

"Tapi Alisha tau sendiri 'kan pa akhirnya?" protesku.

Papa tersenyum.

"Jadi karena masalah itu papa dan mama menjadi over protektif sama Alisha?" tanyaku. "Untuk apa pa? Apalagi mama. Apa itu bentuk dari rasa bersalahnya sama Alisha selama ini? jadi mama ingin agar aku menjadi anak yang baik?"

Papa mengangkat bahu.

"itu mungkin salah satunya."

"Lalu salah duanya?"

"Salah duanya.....emm.....karena mama sayang banget sama kamu Sha."

Aku menunduk, memainkan cake-ku yang masih separuh dengan sendok.

"Mama khawatir sama kamu Sha. Apalagi dalam seminggu, kamu dua kali masuk rumah sakit." Terang papa. "Maafin mama Ya sha. Dia sayang banget sama kamu. Mama nangis terus selama ini.

"Pa....." panggilku pelan.

"Hmmm...."

"Kenapa waktu itu papa maafin mama?" sering aku bertanya dalam hatiku, kenapa papa mau memaafkan mama dan masih menyayanginya dengan tulus padahal mama pernah membuatnya kecewa.

"Alisha, semua manusia pernah melakukan kesalahan setidaknya sekali dalam hidup mereka. Mama sudah minta maaf, mama sudah menyesal dan mama sudah mengakui kesalahannya. Dan apa lagi Sha? Orang yang berjiwa besar itu adalah orang yang bisa memaafkan."

"Apa salah satu alasannya adalah karena papa sangat mencintai mama?"

Papa mengangguk.

"Iya. Papa hanya merasa semakin tersiksa jika kehilangan mama." Jawab papa. "Jadi berhenti membenci mama dan berusahalah untuk menerima semuanya Sha. Papa tahu sulit, namun tak ada yang tak mungkin bukan?"

"Sha....saat yang kamu inginkan tidak sesuai keinginanmu, tugasmu hanyalah berusaha menerimanya dengan baik. Apapun itu."

Aku menelan saliva.

"Pa, jika saja pria masa lalu mama itu bukan papa dari seseorang yang Alisha cintai, mungkin Alisha tak akan sesakit ini, dan jika saja mama dari pria yang Alisha cintai tidak sampai separah itu, mungkin Alisha tidak akan sekecewa ini sama mama."

Papa menghela nafas pelan, ia menatapku dengan raut wajah yang sedikit keruh.

"Sha, apa papa perlu minta maaf sama......"

"Alexander!"

"Iya, Alexander?"

Aku menggeleng.

"Nggak perlu pa. Alisha udah minta maaf."Jawabku pelan. "Lagipula, kami sudah tidak bersama lagi."

Papa belum menyahut, hanya tangannya saja yang terulur dan membelai pucuk kepalaku. Sedangkan aku yang merasa dikasihani justru kembali menangis.

"Pa...Alisha sedih. Alisa cinta sama dia pa. Alisha pengen sama dia." isakku. "Meskipun tak ada yang tahu apakah kita akan bersama selamanya atau tidak, setidaknya jangan alasan seperti ini yang memisahkan kami."

Papa menarik nafas panjang.

"Alisha tahu, Alisha akan jadi manusia paling kejam sedunia jika terus memaksanya untuk terus menemani Alisha padahal setiap melihat Alisha dia akan sakita karena perlakukan mama." Aku menghapus air mataku. "Apa yang harus Alisha lakukan pa?"

Papa terdiam beberapa saat, hingga akhirnya meluncur sebuah kalimat dari bibirnya.

"Kalau pindah kuliah ke Bandung aja gimana?"

iL Legame (tamat)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora