Bab 22

5.8K 302 0
                                    

Alexander tersenyum saat melihatku berjalan ke arahnya. Aku membalas senyuman itu, lantas berlari menyusulnya dan memeluknya dengan erat. Tak peduli dengan beberapa pasang mata di terminal yang menatap kami dengan banyak praduga. Lagipula aku tidak peduli, aku justru ingin mengatakan pada dunia bahwa cowok tampan ini adalah milikku, kekasihku.

"Aku kira kembali besok?" tanya Alexander setelah aku melepaskan pelukannya. Ia mengambil alih ranselku dan menyampirkannya di bahu, sedang tangannya yang lain menggengam jemariku dengan hangat.

"Aku merindukanmu." Senyumku. Sebenarnya, aku malas berada di rumah karena perdebatanku dengan mama kemarin sore.

Alexander tak menjawab, kami berdua berjalan santai menuju parkiran. Sesekali tawa dan candaan menghiasi bibir kami.

"Barangnya kamu bawa khan?" tanyaku saat kami sudah sama-sama masuk ke dalam mobil.

"Tuh di belakang." Alexander mengedikkan dagunya, sedangkan salah satu tangannya menurunkan handrem dan siap tancap gas.

Aku menoleh ke belakang. Di sana sudah ada pakaian untuk anak-anak yang aku beli waktu itu bersamanya. Sedikit telat sih untuk memberiannya pada anak-anak karena jadwal kami yang padat dan mama Alexander yang sempat masuk rumah sakit.

Mobil itu melaju di jalanan kota Jakarta yang ramai lancar, membawa kami menuju tempat anak-anak gerbong yang pasti sudah menunggu kami dengan penuh harapan.

Ilalang mengering selalu menjadi ucapan selamat datang pertama bagi kami saat kami sampai di tempat itu. Hawa gersang dan panas menjadi paket lengkap yang tak bisa terpisahkan. Aku berjalan duluan, di ikuti Alexander di belakangku yang membawa plastik berisi pakaian dan makanan kecil.

Seperti biasa, melihat kami datang mereka bersorak riang.

"Kak Ale....Kak Alisha..."

Aku tersenyum, manakala jemari-jemari kecil itu memelukku tanpa canggung. Seakan mereka sedangmenuntaskan rindu pada kami yang sudah lama tak datang menemui mereka.

"Kakak kok lama nggak kesini?" Arlan mendongak, menatapku dengan penasaran.

Aku menatap matanya yang berbinar penuh pengharapan meskipun dengan tubuh kurus dan kulit yang hitam gosong tersengat matahari.

"Maaf, kak Alisha sibuk. Pulang kampung juga." jawabku, mengelus rambutnya yang kemerahan dan bau matahari. "Gimana, masih tetap belajar khan?"

"Seperti permintaan kak Alisha, kami sudah bacasemua buku yang ada diperpustakaan." Wendy menimpali, ia tersenyum dengan bangganya.

Aku berjongkok.

"Bagus, kalian memang pintar!"

"Arlan...Wendy..." suaraberatmenginterupsi keakraban kami.

Kami menoleh, mendapati Alexander yang sejak tadi diam meyaksikan kami.

Pria itu berjalan mendekati kami dan menyodorkan kardus yang dibawanya pada Arlan.

"Kasih temen-temen kamu."

"Apa ini kak?" Arlan menatap kami berdua bingung. "alat tulis lagi? Yang kemarin masihbanyak."

Alexander menggeleng.

"Bawa sana dan di buka." Perintah Alexander tenang.

Arlan menurut, mengambil kardus itu tanpa kembali bertanya lalu menghambur menuju teman-temannya.

"Jangan berebut, pasti kebagian satu-satu!" teriak Alexander dan yangpasti sama sekali tak mereka gubris.

Aku tertawa kecil, mendekati Alexander lantas mengajaknya untuk duduk di bawah pohon sambil menyaksikan tingkah anak-anak yang berebut baju baru.

Sejujurnya batinku terasa sangat pedih. Melihat bagaimana antusiasnya mereka ketika mendapatkan baju baru yang mungkin belum tentu mereka dapatkan setahun sekali meskipun dalam moment lebaran sekalipun. Padahal, bahkan dalam sebulan aku sering menghabiskan uangku untuk membeli baju-baju keluaran terbaru dan tak pernah terpikirkan apakah baju itu akan segera aku pakai atau tidak. Mungkin aku akan belajar untuk tak menghamburkan uang karena di luar sana masih banyak yang tak seberuntung aku.

"Sha...." Suara Alexander membangunkan lamunanku.

Aku menoleh, sudah mendapati wajahnya menatapku dengan tenang.

"Iya?" Senyumku. "Ada apa?"

Alexander menghela nafas berat. Aku yakin ada sesuatu yang ingin disampaikannya padaku.

"Katakan saja...." aku mengulurkan tanganku dan meremas punggung tangannya pelan.

"Besok sore ada balapan." Jawabnya pelan."Edgar mengajakku kembali bertanding."

Aku terdiam, perlahan remasan tanganku di punggung tangannya mengendur begitu saja. ada ketidaknyamanan yang tiba-tiba merasuk di hatiku. Alexander dan balapan! Aku tahu jika kedua hal itu tak bisa dipisahkan, bahkan sebelum aku hadir di hidupnya. Namun cukup bagiku melihat sekali bahwa balapan adalah hal yang paling mengerikan. Selain ilegal, aku yakin jika nyawa taruhannya. Dan apakah lucu jika terjadi apa-apa dengan pacarku di arena balap seperti itu?

"Al.....aku...."

"Sha...kamu tau 'kan Edgar tak akan menyerah." Ia memotong kalimatku dengan cepat. aku tahu Edgar, seingatku cowok itu juga yang menjadi lawan Alexander di balapan mereka waktu itu. dan aku juga tahu jika cowok bernama Edgar itu bukan cowok baik-baik, ya maksudku bukan berarti semua yang ada di balapan itu orang baik. tapi setidaknya, dari sorot matanya ke Alexander, Edgar ingin sekali membunuh Alexander dengan tangannya. Bagaimanapun caranya.

"Jika aku melarangmu pergi, apa kamu juga tak akan pergi?" Aku menunduk. tak tahu kenapa, hari ini aku ingin bersikap sangat egois dengannya. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa dengannya.

"Sha...bagaimana perasaanmu jika aku melarangmu melakukan sesuatu yang sangat kamu sukai?" kalimatnya begitu menohok hatiku. Benar saja, bagaimana perasaanku jika dia melarangku melakukan sesuatu yang aku sukai?

"Aku mohon, kali ini saja ijinkan aku untuk memenuhi tantangan Edgar." Dia memecah kebisuanku. "Setelah ini aku berjanji, akan meninggalkan balapan untuk selamanya."

Aku menelan saliva susah payah. Ku angkat wajahku, dan mendapati matanya yang memandangku dengan sorot penuh pengharapan. Baiklah....mungkin aku akan menjadi manusia paling egois sedunia jika memintanya untuk tak pergi. Lagipula dia sudah berjanji, besok adalah balapan terakhirnya. Aku harus mengerti.

"Baiklah...." pungkasku. "Asal aku boleh ikut bersamamu."

Aku tahu raut wajah tegangnya berubah menjadi cerah saat mendengar kalimatku.

"Mau ikut?" ia memelukku."Apa kamu tidak takut dengan teman-temanku?"

Aku menggeleng dalam pelukannya.

"Aku percaya jika kamu akan melindungiku." Jawabku yakin.

***** 

iL Legame (tamat)Where stories live. Discover now