Bab 5

13.2K 679 10
                                    

                Aku sampai di kos saat matahari sudah tenggelam. Suasana kos sepi, seperti biasanya. Dari luar kosku ini memang terlihat tenang-tenang saja, seperti kos pada umumnya, namun siapa sangka jika salah satu penghuni di dalamnya punya penyimpangan seksual, yaitu suka meng-ekspos kegilaan bercintanya agar orang lain bisa melihat.

Bunyi decit gerbang terdengar nyaring saat aku membukanya, diringi langkahku yang terseok-seok karena telapak kakiku terasa semakin menggigit. Apa hanya perasaanku, atau memang fakta bahwa kakiku semakin sakit digerakkan dan denyutnya semakin intens. Aku semakin tidak nyaman, terlebih jika ingat tetangga kosku kemarin yangmengatakan jika tidak ditangani dengan baik bisa mengakibatkan infeksi. Benarkah?

Akh, tapi tidak mungkin. Mentang-mentang dokter bisa mendiagnosa sesuka hatinya. Dia memang dokter, tapi dokter hewan. Mana bisa menyamakan anatomi tubuh manusia dengan tubuh hewan? Yang benar saja.

Aku hanya berdecak sebal mengingat kalimatnya yang begitu sok tau.

Sampai pertengahan tangga, menuju kamar kosku di lantai dua. Mataku menangkap sosok Alexander yang berdiri di teras. Entah apa yang dilakukannya, namun hal yang bisa kulihat adalah dia sedang merokok, dengan tatapan dingin ke sembarang arah.

Aku menghela nafas panjang, kenapa selalu saja ada moment tidak tepat dan aku selalu dipertemukan dengan orang itu. tapi mau bagaimana lagi, aku tetap mengayunkan kakiku. Berjalan pelan hampir tak menimbulkan suara menuju kamarku. Siapa tau dia memang tak menyadari kedatanganku.

"Hei!"

Dan salah! Dia memanggilku saat aku berjalan tepat beberapa langkah di depannya.

Aku menghela nafas, tak peduli. Lagipula namaku bukan 'hei', jadi untuk apa aku menoleh.

"Hei! Cewek berkemeja pink!" sekali lagi dia memanggilku. Aku memang berkemeja pink, tapi tidak hanya aku yang punya kemeja berwarna pink. Jadi aku rasa aku juga tak perlu menoleh.

"Hei cewek berkemeja pink, berkucir kuda, berkaki pincang!" kali ini dia kembali memanggilku, lebih detail dengan tambahan 'kaki pincang'. Untuk yang satu ini, aku tak bisa menahan kepalaku untuk tak menoleh. Kesal? Pasti! Mana ada orang yang mau dikatain pincang.

"Apa?!" seruku galak dengan bola mata hampir keluar.

Aku melihat ia tersenyum tipis. Senyum yang manis memang, pantas saja banyak cewek yang bertekuk lutut di depannya.

"Aku kira tuli." Gumamnya kemudian, mematikan rokoknya lalu berjalan mendekatiku, yang kubalas dengan acuh tak acuh.

"Kaki lo infeksi tuh." Katanya lagi, saat ia sudah benar-benar berada di depanku. Matanya nyalang menatap kakiku.

Aku menatap cowok yang berpakaian serba hitam itu, sedikit mendongak karena badannya yang jauh lebih tinggi daripada aku.

"Enggak!"

Dia menyeringai mendegar jawabanku, lalu tiba-tiba saja berlutut dengan salah satu kakinya. Tangannya terulur, menekan kakiku dan reflek membuat aku menjerit karena kesakitan. Sumpah, untuk kali ini aku bisa merasakan jika sakitnya berdenyut sampai kepalaku. Mungkinkah gara-garaini sehingga badanku terasa tidak enak sejak tadi.

"Jangan sentuh-sentuh gue!" seruku sewot, dan tentu saja dia tak menanggapiku lalu berdiri begitu saja, dan kembali ia memberikan surprize yang luar biasa, yaitu menyentuh pelipisku menggunakan punggung tangannya yang kali ini langsung kutepis dengan kasar.

iL Legame (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang