Another - 1

305 40 28
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Aku dan Amara melangkahkan kaki memasuki kantin. Suasana kantin yang ramai membuatku tidak nyaman berada di sini terlalu lama. Aku tidak berminat ke kantin hari ini, tapi aku tidak mungkin membiarkan Amara sendirian ke kantin. Amara menyenggol tanganku pelan. Aku balik menatapnya, sepertinya dia mulai menyadari bahwa aku tidak nyaman. Dengan cepat dia menarik tanganku untuk ke luar dari area kantin.

"Kita balik ke kelas aja, yuk. Aku gak enak sama kamu." Amara kembali menarik tanganku pelan. Baru satu langkah, aku sudah balas menarik tangannya agar kembali ke tempat semula.

"Kenapa?" tanyaku singkat. Aku tidak suka berbasa-basi karena menurutku itu tidak penting, lebih baik aku diam saja. Selain menghemat pita suara, aku juga tidak akan menyakiti perasaan orang lain. Aku akan lebih banyak bercerita kepada Amara, sahabat sekaligus teman satu tempat dudukku. Hanya dia yang kupunya selama duduk di bangku SMA. Bukan karena aku tidak ingin mengenal yang lain, tapi Amara sudah lebih dari segalanya untukku.

Amara sosok seorang gadis yang ceria. Bertolak belakang dengan sifatku yang lebih banyak diam dan berbicara singkat. Sifatnya yang ceria mampu membuatku perlahan bercerita tentang keluarga, apa yang kurasakan, dan hal lainnya.

"Gak enak sama kamu, Len."

Aku terkekeh mendengar ucapannya tadi. Kami sudah berteman selama satu tahun, tapi terkadang sifatnya juga mudah berubah. Aku mencebikkan bibir karena kesal mencium bau yang beraneka ragam, bukan karena tidak ingin menemaninya. Tanpa membalas perkataannya, kutarik kembali tangannya memasuki area kantin. Dia hanya diam menurut lalu berjalan di sampingku.

Amara memintaku berhenti karena ingin melihat-lihat ada jajanan apa saja hari ini. Aku ikut memperhatikan karena terkadang ketika sudah tiba di kelas, aku malah merasakan lapar. Aku tidak ingin jika harus ke kantin lagi karena itu bukan pilihan yang tepat. Amara menepuk pelan tangannya senang ketika sudah memutuskan akan membeli makanan apa. Kuikuti langkahnya yang sudah di depanku, jika urusan perut dia lebih sering meninggalkanku. Gerakan jalanku tentu tidak secepat dia. Toh, tidak perlu mengejar karena sesuatu yang memang ditakdirkan untuk kita tidak akan tertukar.

Dari arah yang berlawanan, tiba-tiba seseorang menabrak bahuku. Aku menatapnya kesal bukan karena rasa sakit di bahuku, tapi karena almamater yang basah terkena minuman dingin yang sepertinya baru dibeli. Jika sudah seperti ini, emosiku bisa langsung memuncak. Aku bukan orang yang banyak bicara, tapi bukan termasuk golongan penyabar. Dalam hitungan detik, aku akan mengeluarkan segala umpatan yang sudah kucoba kendalikan.

"Kalau jalan itu gunain mata sama kaki! Bukannya malah sibuk sama ponsel!" pekikku kesal. Aku tidak menyangka jika sekarang diriku sudah menjadi pusat perhatian. Amara yang tadinya berjalan di depan, kini bergegas menghampiriku.

Aku tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Aku juga tidak peduli jika yang sedang kumaki bukan seangkatan denganku melainkan Kakak kelas. Aku memutar bola mata malas melihat wajah menyebalkannya. Tidak ada rasa bersalah di sorot matanya.

Amara yang sudah berada di sampingku mengusap bahuku berniat menenangkanku. Tidak, Amara. Aku tidak bisa tinggal diam saat ini. Almamaterku sudah basah sedangkan laki-laki yang di hadapanku malah tersenyum tipis seraya menatap wajahku intens. Benar-benar menyebalkan.

"Gak waras! Aku gak peduli mau Kakak kelas atau seangkatan, yang salah tetap aja salah!"

Kuhentakkan kakiku sebelum meninggalkan laki-laki yang sangat tidak punya rasa malu ini. Dia terkekeh melihat tingkahku, entahlah kurasa tidak ada yang lucu. Dia menarik tanganku pelan, kuputar badanku menatapnya masih dengan sorot marah. Dia justru tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya.

"Zafran Wijaya, panggil Zafran aja."

Aku menatap uluran tangannya tidak berminat membalasnya. Tangan kananku menarik tangan Amara yang juga menatap ke arah Kakak kelas itu. Aku mengembuskan napas pelan setelah berhasil meninggalkan laki-laki yang menurutku aneh. Di dalam kantin terdengar banyak sekali bisikan dari siswa lainnya yang mengatakan jika aku bodoh tidak mau membalas uluran tangan laki-laki yang membuatku kesal. Amara kembali memutar kepalaku agar fokus menatap lurus memperhatikan jalan yang akan kami lalui. Aku tahu maksudnya agar aku tidak peduli dengan omongan orang-orang yang sama sekali tidak penting bagiku.

"Kalau kamu gak mau kenalan sama kak Zafran gak masalah, kok, Len. Mereka gak tau apa-apa tentang kamu." Amara tersenyum tipis. Aku mengangguk sebagai tanda setuju.

"Kita makan dulu baru ke toilet, ya, Len. Laper banget, gak kuat."

Amara memegang perutnya dengan raut wajah yang berlebihan seakan-akan sudah tidak makan dari kemarin. Padahal, tadi pagi dia baru saja sarapan di kantin dengan porsi double. Tanganku bergerak memberikan jitakan di kepalanya, dia terkekeh kemudian berlari kecil menghampiri penjual siomay langganan kami.

Aku dan Amara memilih tempat di pojok kantin agar tidak terganggu dengan orang lain. Kami akan sangat kesal jika ada orang yang ingin bergabung makan di meja yang sama dengan kami. Dua porsi siomay sudah ada di meja kami. Dengan lahap Amara memasukkan sendok yang sudah berisi siomay ke dalam mulutnya. Dia menatapku dengan raut wajah kesal saat melihat mangkok yang ada di hadapanku masih utuh.

"Dimakan, Alena Namira."

Aku terkekeh lalu menuruti ucapan Amara. Namaku Alena Namira, menurutku nama itu terlalu indah untuk gadis sederhana sepertiku. Di sekolah tidak banyak yang mengenalku. Aku gadis yang lebih senang berada di dalam kamar daripada harus menghabiskan waktu bersama teman-teman. Tidak hanya itu, aku juga tidak ingin membuang uang secara percuma untuk melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak memiliki manfaat. Aku juga tidak tahu mengapa Amara mau berteman dengan orang sepertiku, yang pasti aku bersyukur memiliki sahabat yang tidak menuntutku melakukan sesuatu.

"Nanti mampir ke rumah dulu, ya, Len."

Lagi dan lagi aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Amara. Dia sudah terbiasa hanya mendapat balasan anggukan atau gelengan dariku, tapi aku juga bisa berubah sangat cerewet di kondisi tertentu. Dia melanjutkan kembali memakan siomay dengan senyumannya karena siomay adalah makanan favoritnya.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Entah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana, yang jelas kulihat laki-laki menyebalkan itu berjalan ke arahku dan Amara. Buru-buru kualihkan pandanganku menatap wajah Amara yang menurutku lebih enak dipandang. Jika laki-laki itu tahu aku baru saja memperhatikannya, bisa-bisa dia bisa besar kepala atau bahkan mengejekku.

Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar sangat dekat. Aku menoleh ke samping kananku, laki-laki itu tersenyum seraya duduk tanpa meminta izin. Aku memutar bola mata malas melihatnya.

"Boleh gabung, kan? Mumpung di sini kosong."

-💃-

Hallo hallo hai. Akhirnya bisa update lagi hehe. Ini pertama kalinya aku makai POV orang pertama hehe. Ah iya, cerita ini juga slow update karena aku juga harus update cerita Seren.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik lebih ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now