Another - 9

41 16 27
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Semua orang tentu membutuhkan uang, tapi terkadang banyak yang lupa jika uang tidak dibawa hingga ke liang lahat.

***

Aku sedari tadi memilih duduk di sofa. Pikiranku masih memikirkan laki-laki yang mengajakku salat. Aku ingin melompat-lompat karena perlakuan manisnya yang selalu tidak terduga. Dua detik kemudian, aku memilih menyandarkan punggungku di sofa. Tatapanku masih lurus ke depan sambil sesekali tersenyum tipis.

Suara klakson mobil yang kuyakini milik orang yang sudah kuanggap biasa saja membuatku memutar bola mata malas. Aku meraih ransel yang berada di sampingku, lalu beranjak karena tidak ingin bertemu apalagi berbicara dengan orang yang baru saja tiba di rumah. Tapi, tampaknya keberuntungan tidak berpihak padaku.

"Len," panggil Mama bersamaan dengan pintu yang kembali ditutup.

Aku memutar badanku. "Kenapa?" tanyaku sedikit pelan.

Kulihat Mama berjalan menghampiriku, tangannya mengusap kepalaku. Tidak, tidak ada usapan kasih sayang yang ditimbulkan dari pergerakan tangannya. Aku menurunkan tangan Mama dari kepalaku.

Sebelum memulai perdebatan kali ini, aku menghela napas panjang. "Mau apa?"

Mama meletakkan tasnya dan ponsel yang selalu berada di tangannya. Kedua benda itu dia letakkan di atas meja, lalu dia duduk seraya menatapku dengan isyarat memintaku duduk di sampingnya. Tentu saja aku menolaknya dengan halus. Sudah tidak ada lagi harapanku untuknya. Apa yang kukatakan malam itu benar adanya, aku tidak lagi peduli dengan mereka.

Jika dulu aku masih berharap mereka berubah, maka lain halnya sejak kejadian itu. Apa pun yang mereka lakukan sudah tidak masuk akal apalagi ditoleransi.

"Masalah malam itu, kamu lupain aja, ya. Anggap aja itu nggak pernah terjadi dan nggak akan terjadi."

Aku memilih melanjutkan langkah kakiku. Untuk apa membahas hal yang tidak penting? Untuk apa membahas hal yang ingin segera kuhapus dari ingatanku? Jika dia sudah tahu itu salah, mengapa tidak mencoba memperbaiki? Mengapa malah mengingatkanku kembali, lalu memintaku untuk memahami kondisi mereka? Egois.

Mama menahan tanganku seraya menatapku serius. "Kamu mulai nggak sopan sama Mama. Kamu mau jadi anak durhaka? Siapa yang ngajarin kamu kayak gini?"

Aku melepaskan tangan Mama dari tanganku, lalu menatapnya. "Mama nanya siapa yang ngajarin aku nggak sopan? Aku nggak tau arti sopan santun karena di saat aku kecil, aku dibiarkan sendirian dan diurus sama orang asing. Harusnya aku yang nanya, Mama ke mana aja?"

"Kamu udah berani ngelawan Mama, ya?"

Aku mengangguk cepat, lalu mengedikkan bahuku tanda tidak peduli dan tidak mau melanjutkan perdebatan yang sama sekali tidak penting. Bagiku, yang terjadi juga tidak akan bisa diulang. Apa pun itu, sudah kumaafkan.

"Sini kamu, Alena!" pekik Mama saat jarak kami sudah beberapa meter.

Aku menurut dengan ucapan Mama. Detak jantungku berdetak lebih kencang. Aku tidak ingin mempermasalahkan hal yang sudah lalu, tapi Mama masih saja mengungkitnya.

Another YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang