Another - 7

76 16 29
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Cahaya dari bulan dan bintang yang menghiasi langit membuatku merasa semakin nyaman berada di balkon. Ini pertama kalinya aku memutuskan duduk di balkon sendirian. Kepergian nenekku yang kembali pada Tuhan, ikut membawa sebagian besar keceriaan dalam diriku. Tidak, aku tentu tidak menyalahkan nenekku. Ini kesalahanku yang terlalu berlarut-larut dalam kesedihan.

Dari kecil, hanya nenek yang sering menemaniku kapan saja. Lain halnya dengan orangtuaku yang hanya memikirkan nominal, tanpa tahu apa artinya waktu bersama keluarga. Aku memegang dadaku, entah mengapa jantungku berdetak lebih kencang. Tidak bisa dipungkiri, aku memikirkannya sejak pagi.

Kami baru kenal dua hari dan dia sudah mampu mengisi pikiranku. Dari caranya tersenyum, menarik tanganku pelan, mengajakku pulang, dan hal-hal kecil lainnya sudah terekam jelas di dalam pikiranku. Aku menggeleng cepat, tidak mungkin menyukai seseorang dalam waktu yang relatif singkat?

Mobil berwarna merah yang tidak kukenal berhenti tepat di depan pagar rumahku.

Mungkin kak Zafran, ya? Eh, kok aku berharap gini, sih?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku agar pikiran tentang kak Zafran bisa hilang. Tatapanku masih setia memperhatikan orang yang akan keluar dari mobil itu. Deru napasku memburu saat melihat yang keluar adalah Mama bersama laki-laki lain. Bagaimana bisa Mama melakukan hal yang tidak pantas seperti itu? Apakah dia tidak memikirkan perasaanku dan juga Papa nantinya?

Belum selesai aku menatap Mama yang sedang tertawa di samping mobil itu, sudah ada mobil lain di belakangnya. Aku mengenal mobil itu, benda itu adalah milik Papa. Aku segera berlari turun ke bawah agar Papa tidak perlu menyaksikan perbuatan Mama.

Aku menghela napas panjang karena datang tepat waktu. Senyumanku terukir. Aku membantu Papa membuka pintu mobilnya, namun dalam hitungan detik senyumanku kembali hilang. Seorang wanita berambut panjang yang dibiarkan terurai sedang menggenggam tangan Papa dengan erat.

Aku melangkah menjauh, tepatnya berada di tengah kedua mobil itu. Mama sama terkejutnya dengan Papa. Keduanya menghampiriku sepertinya ingin menjelaskan drama yang baru saja mereka mainkan di depanku.

"Ini nggak seperti yang kamu lihat, Sayang," ujar Mama dengan tangan kanan yang mengusap pelan kepalaku. Aku menepis tangan Mama sedikit kasar, untuk kali ini biarkan saja aku melakukan hal yang tidak sopan.

"Aku bukan anak SD yang bisa Mama bohongin. Nggak seperti yang aku lihat gimana, sih, Ma? Tadi aku lihat Mama pegangan tangan terus mukul-mukul dadanya pakai gaya centil, jadi aku nggak lihat bagian mana? Aku nggak lihat kalau kalian di dalam mobil habis pelukan mesra, gitu, Ma? Itu yang nggak aku lihat? Oh, pantes, sih. Aku juga nggak mau mata suci aku ternodai."

Mama menggeleng, lalu menarikku ke dalam pelukannya. Aku buru-buru melepasnya karena berada di dalam pelukannya sama sekali tidak memberikan rasa tenang, melainkan sebaliknya.

Jika tadi Mama berusaha keras memberikan penjelasan, maka sekarang Papa yang menatapku. "Maafin Papa, ya? Dia cuma teman kantor Papa yang kebetulan nungguin pacarnya jemput."

Aku tersenyum miring menanggapi ucapan Papa yang terkesan sangat penuh drama. "Pacarnya itu Papa, 'kan? Udahlah, aku nggak butuh omong kosong kalian."

Aku melangkahkan kakiku masuk ke halaman, lalu kembali membalikkan badanku. "Selamat bersenang-senang, ya. Anggap aja aku nggak ada di rumah, jadi kalian bebas."

-💃-

Aku menenggalamkan kepalaku pada kedua tanganku yang berada di meja. Sudah lima menit aku menunggu Amara datang, namun belum ada tanda-tanda kedatangannya.

"Heyyo semua! Pasti senang 'kan lihat Amara yang cantik jelita datang awal dan memberikan senyuman yang mengalahkan sinar rembulan!" pekik Amara dengan suara khasnya. Gadis itu selalu saja membuat kerusuhan. Beberapa petugas piket yang sedang menyapu hanya memutar matanya malas mendengar ucapan Amara yang cukup nyaring.

Aku buru-buru mengangkat kepalaku dan melambaikan tanganku ke arah Amara yang sedang terkekeh.

"Tumben cepat datangnya, Len." Amara duduk di tempat biasanya. Dia mengeluarkan kotak nasi, lalu memasukkan satu sendok nasi goreng.

"Bosen di rumah."

Dia masih fokus mengunyah makanan. Sebenarnya ada sedikit keanehan dalam dirinya. Gadis itu selalu membawa makanan dari rumah, namun baru satu menit berada di sekolah dia langsung menghabiskan. Jika ditanya, gadis itu sudah makan di rumah dan membawa kotak nasi beserta beberapa makanan ringan yang dia masukkan ke dalam laci. Jika bel sudah berdering, maka gadis itu akan mulai memasukkan satu per satu makanan ringan itu ke dalam mulutnya.

Amara menyentuh kepalaku cukup lama. Aku menoleh seakan bertanya maksudnya. Dia menautkan kedua alisnya. "Nangis? Kenapa? Siapa yang jahatin?" tanyany beruntun. Tatapanku tidak lagi fokus pada Amara. Aku mengedarkannya ke arah papan tulis yang dua kali sudah bersih dari sebelumnya.

"Biasa, orangtua aku. Tega-teganya mereka selingkuh di rumah, kayak nggak ada tempat lain aja," ucapku dengan nada ketus.

"What? Siapa yang selingkuh? Mama atau papa, Len?"

Aku beranjak dari bangkuku karena merasa tidak aman menceritakannya di kelas, namun bukannya merasa lebih tenang justru sebaliknya. Sosok itu kembali kutemui, kali ini dia sedang berdiri di pintu kelas. Aku dan Amara tentu akan melewatinya. Entah mengapa aku merasa gugup sekali.

"Hai, Alena," sapanya dengan nada sok akrab.

Dia yang sedari tadi menatapku dengan senyuman manisnya, kini beralih menatap Amara. "Aku pinjem Alena, ya?"

Amara yang selalu menyebalkan malah mengangguk cepat seakan sedang menyerahkanku pada orang yang bisa dipercaya. "Pinjem aja kali, Bang." Amara menekan kata terakhir dan dengan gaya yang dibuat-buat. Aku sendiri ingin muntah melihat gaya Amara seperti itu.

Setelah memastikan Amara kembali duduk di bangkunya. Laki-laki itu hanya membawaku duduk di bangku koridor. Dia meneliti wajahku sambil sesekali tersenyum. "Jangan nangis. Kalau kamu mau cerita, boleh cerita ke aku."

"Aku nggak mau cerita, tapi mau nanya aja. Sebenarnya Kakak ini kenapa dan siapa? Kok bisa-bisanya mau kenalan dan kayaknya mau dekat sama aku. Kenapa, sih?"

Kak Zafran kembali menatapku. Pandangan kami bertemu, namun aku memutuskan kontak terlebih dahulu agar tidak merasa gugup. "Bukannya udah kenalan, ya, Len? Kok masih nanya siapa?"

Aku terkekeh, berusaha membuka diri untuk siapa saja yang mencoba dekat denganku. "Jawab pertanyaan yang kedua aja, Kak."

Kak Zafran beranjak dari duduknya. Dia berdiri di hadapanku, lalu mengusap kepalaku pelan. "Karena aku mau kita berdua buat kisah yang indah, yang nantinya bakalan buat kamu senang. Tapi kalau kamu sedih, berarti aku khilaf buat kamu sedih. Kisah ini baru aja mau dimulai, Len. Kamunya masih belum welcome, tapi semuanya tetap butuh waktu, 'kan?"

-💃-

Heyyo geng, keberatan gaa sehhh kalau aku update tiap hari? Kali aja gitu notifnya ganggu wkwk.

Btw ya, percaya nggak kalau cerita ini bisa tamat dalam waktu satu bulan? Kalau aku sih nggak. 😂

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now