Another - 24

71 8 16
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Ada tanya yang kian membesar dan ada hati yang lagi-lagi harus siap terluka.

-💃-

Aku menatap sekeliling. Tentu saja tidak ada siapa pun di sini. Aku sudah terbiasa dengan ini. Beberapa kali kuembuskan napas perlahan sebelum siap membaca apa yang ada di dalam buku ini. Apakah akan memberiku jawaban yang membuat hati ini tenang atau malah sebaliknya.

Tangan kananku mulai membuka sampul buku. Benar saja, halaman depan buku ini penuh dengan tulisan tangan yang kuyakini milik Zafran. Tanpa membuang banyak waktu, aku mulai membaca satu per satu kata, cukup di dalam hati saja.

Hari ini hari pertama aku jalanin misi.
Rasanya capek banget, nggak, sih mendam perasaan?
Karena dianya nggak nunjukkin perubahan, makanya aku coba cara lain.
Ada, sih, temannya kalau nggak salah namanya itu Alena.
Lumayan cantik, tapi dingin kayak kulkas.

Demi dia pasti bakalan aku lakuin.
Namanya Amara. Cantik banget, 'kan? Cantik kayak orangnya, tapi kadang agak nggak waras. Sifatnya itu lucu dan mukanya selalu aja ceria kayak nggak ada beban, dari mukanya aku bisa nebak dia orang penyayang. Nggak cuma itu, sih, yang buat aku suka.

Ini pengalaman pertama banget. Aku ngerasa ini satu-satunya jalan yang bisa bantu hubungan aku sama Amara. Mungkin terkesan jahat, tapi gimana, ya? Aku yakin kalau Alena nggak bakalan jatuh cinta tulus sama aku, paling cuma kayak sekadarnya aja. Jadi, nggak masalah, 'kan?

Aku harus rela nabrak bahu Alena. Demi apa pun aku takut, tapi harus senyum biar dia terpikat.

Tangan kananku bergerak menutup buku itu. Sebenarnya aku yakin masih ada banyak rahasia di dalamnya, terbukti dari halaman yang kosong tinggal beberapa lembar di akhir.

Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi, tetapi rasa sesak itu tiba-tiba datang. Baru tadi rasanya memiliki orang yang tulus terlebih mengaku sebagai kekasihku dan hari ini pula aku dapat mengetahui fakta yang seharusnya tidak buru-buru kuketahui.

Kuembuskan napas beberapa kali, lalu menyandarkan punggung ke dinding. Tatapanku tertuju pada benda bulat yang menunjukkan jarum panjang di angka empat.

Ingatanku kembali memutar kejadian beberapa jam yang lalu saat bersama Zafran. Saat kulihat tatapannya, hatiku seakan tenang bersamanya. Apalagi saat dia berbicara dengan nada pelan, dapat kurasakan ketulusan kasih sayang darinya, tetapi isi buku tadi malah berbanding terbalik.

Apa benar aku hanya akan dijadikan perantara? Apa aku hanya akan dimanfaatkan oleh Zafran? Apa Amara sampai sekarang tidak tahu perihal perasaan Zafran? Mengapa semuanya menjadi rumit? Aku jadi menyesal memilih mencari tahu hal yang seharunya kubiarkan saja waktu yang akan menjawab. Ah, ini hanya akan menambah beban pikiranku saja.

Suara kenop pintu ditarik berhasil mengalihkan fokusku. Kutatap seorang wanita paruh baya, lalu beralih pada laki-laki yang berada di sampingnya. Keningku berkerut mencoba mengingat kembali.

Wanita paruh baya itu mendekat, lalu memeluk tubuhku hangat. Kurasa dia adalah wanita yang sama saat aku pertama kali terbangun dari koma, wanita yang mengaku ibuku.

"Kamu apa kabar, Sayang?" tanyanya dengan raut wajah antusias mendengar balasan dariku.

Aku melepaskan pelukan terlebih dahulu karena bukannya memberikan rasa nyaman, malah sebaliknya. "Kabar baik," ujarku singkat sebagai tanda malas berbasa-basi.

Wanita itu mengerutkan keningnya. Mungkin dia bingung dengan perubahan sifatku, tetapi untuk apa berpura-pura baik padahal tidak baik sama sekali. Untuk apa dia datang bersama laki-laki asing. Aku sama sekali tidak merasakan ikatan batin dengan laki-laki itu.

"Kamu, kok, judes gitu, Sayang? Kamu ada masalah? Sini cerita sama Mama," ujarnya sangat lembut seraya menarik bangku mendekat ke brankarku.

Aku memutar bola mata malas. "Mama? Emang ada seorang Mama yang ninggalin anaknya sendirian di rumah sakit, bahkan infus di tangan Alena aja masih setia di tangan Alena, Ma. Emang ada seorang Mama yang biarin anaknya kebingungan di rumah sakit? Alena butuh Mama untuk bimbing Alena karena Alena itu amnesia, Ma."

Wanita itu terdiam beberapa detik, lalu tersenyum seolah-olah dirinya tidak bermasalah. Aku sendiri yakin dia bukanlah Mama yang baik untukku di masa lalu sampai sekarang.

"Kamu tau nama kamu? Kamu udah ingat semuanya, Nak?" tanyanya dengan mata berbinar.

Aku menggeleng, lalu menatapnya sejenak. "Kenapa, Ma? Takut keburukan Mama lagi dan lagi aku ingat? Tenang, Ma. Aku belum ingat semuanya, tapi aku harus tetap usaha biar ingat semuanya. Biarin aku cari tau semuanya sendiri karena pada dasarnya aku nggak boleh rapuh."

Sorot mata kami bertemu. Kutebak dia sedang menahan emosinya agar tidak meluap di hadapanku. Detik selanjutnya dia menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya memanggil laki-laki yang sedari tadi hanya berdiri di belakang tanpa berminat ikut bergabung dalam obrolan kami.

"Kenalan sama teman Mama, yuk, Nak."

Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke arahku, aku hanya menatapnya sinis. Dia menarik kembali uluran tangannya seraya tersenyum tipis.

"Dalam hitungan ketiga, saya nggak mau lihat kalian berdua masih ada di sini. Saya nggak butuh orang yang memanfaatkan situasi. Saya bisa rasa kalau Mama nggak tulus dan laki-laki itu bukan Ayah saya. Jadi, saya minta kalian segera angkat kaki. Saya mau istirahat." Setelah mengatakannya, kutarik selimut hingga ke kepalaku dan mengubah posisiku hingga membelakangi Mama.

-💃-

Kejadian tadi malah membuatku tertidur pulas. Kata sebagian orang tidur adalah cara paling ampuh mengistirahatkan badan, hati, dan pikiran dari berbagai masalah. Kulirik jam dinding sejenak, lalu beralih pada jendela yang memberikan pandangan indahnya langit.

"Kamu udah bangun, Len? Aku sempat khawatir kamu tidurnya lama banget. Kamu capek banget, ya, hari ini? Kamu nggak mau cerita sama aku, Len?" tanyanya monoton.

Kemarin aku sangat menantikan pertanyaan darinya karena merasa hanya dia yang benar-benar peduli padaku, tetapi hari ini bertolak belakang. Aku tidak ingin mendapat pertanyaan darinya, bahkan tidak ingin berdekatan dengannya walau hanya satu detik.

Aku memutar bola mata malas, lalu kembali memandangi jendela. Tentu saja aku tidak akan menjawab pertanyaannya. Untuk apa dia terus mendekatiku? Aku cukup tahu diri begitu tidak pantas untuknya. Lebih baik dia fokus untuk mendapatkan hati Amara.

"Kamu, kok, diem? Aku ada salah, ya, Len? Kamu badmood?"

Aku mengembuskan napas beberapa kali sebelum menjawab pertanyannya. "Kenapa? Emang kamu peduli?"

Laki-laki itu meraih bangku, lalu mendekat ke brankarku. "Peduli banget, Len. Emang selama ini aku masih asing, ya?"

"Nggak tau. Yang jelas aku selalu ngerasa sendiri. Lagi pula, aku nggak  boleh berharap apalagi bergantung sama orang lain."

-💃-

Ayo, komen! Jangan malu apalagi sungkan wkwk. 🤣

Vote & komen ditunggu ❤
Kritik & saran lebih ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now