Another - 15

52 13 19
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Aku dan Zafran berjalan berdampingan sambil sesekali tertawa mendengar ceritanya. Tangannya sesekali mengusap pelan rambutku seraya tersenyum tipis. Memang ada apa denganku? Aku sempat berpikir seperti itu, tapi ketepis jauh-jauh pertanyaan konyol itu.

Langkah Zafran berhenti, tangannya dia masukkan ke dalam saku celana. "Aduh, Len. Boleh minta tolong, nggak?" tanyanya dengan nada sedikit panik.

Aku mengangguk. "Mau apa?"

"Tolong cariin kunci sepeda motor aku di dalam tas, dong, Len." Dia berbalik, membiarkanku memeriksa isi tasnya. Aku mencari-cari keberadaan kunci sepeda motor yang ukurannya kecil. Kuperiksa semua tempat yang ada di tasnya, namun hasilnya nihil.

"Nggak ada, Zaf. Kamu yakin ada di tas? Coba ingat-ingat dulu," ujarku memberi saran. Tidak biasanya dia pelupa seperti ini.

Kulihat wajahnya yang tengah berpikir. Terlihat sangat tenang dan menggemaskan. Ingin sekali kucubit kedua pipinya, namun kuurungkan karena ini bukan situasi yang tepat.

"Len, kamu tunggu di sini dulu nggak apa-apa? Aku mau coba cek ke kelas, kayaknya ketinggalan."

Aku mengangguk, lalu mengepalkan kedua tanganku memberi semangat. Jarak yang cukup jauh juga membuatku malas menemaninya. Tidak banyak yang berubah dariku, aku masih tetap menjadi Alena yang pemalas. Hanya saja aku sedikit terbuka dengan Zafran karena dia adalah kekasihku. Lagi pula, aku tidak bisa menyembunyikan apa pun darinya. Dia seakan selalu berada di sampingku, hingga mengetahui apa saja yang terjadi dan seperti apa kondisi perasaanku.

Aku menatap punggung Zafran yang sudah menjauh. Hari ini tidak begitu lelah, jadi kuputuskan untuk berdiri saja. Perhatianku teralihkan saat melihat gadis itu bersama temannya sedang berjalan ke arahku, ah lebih tepatnya berjalan ke arah koridor utama.

Dia melewatiku seraya menundukkan sedikit badannya sebagai tanda sopan. Aku menahan pergelangan tangannya, dia menoleh. "Ada apa, Kak?"

Kutarik badannya agar sedikit menjauh dari temannya. Aku tidak ingin temannya mengetahui sifat asliku apalagi hal yang kukatakan saat ini terdengar seperti ancaman.

"Kamu pikir sekarang kamu udah bebas? Nggak semudah itu, Irvi. Aku pastiin, hidup kamu nggak akan bertahan lama. Aku bisa ngelakuin apa aja yang menurut kamu nggak masuk akal. Aku bakal bunuh kamu. Tunggu aja tanggal mainnya."

Aku melepas pergelangan tangannya, lalu beralih menepuk bahunya pelan. "Hati-hati, Irvi." Aku melambaikan tanganku ke arahnya yang masih terdiam di sampingku.

Dia mengangguk. Tatapannya seakan ingin menangis dan wajahnya berubah menjadi pucat. "Hm ... aku permisi, Kak. "

Irvi buru-buru menarik pergelangan tangan temannya agar segera pergi dari tempat itu. Aku tersenyum miring melihatnya. Kembali kualihkan pandanganku ke depan, memikirkan apa yang sebenarnya akan kulakukan pada gadis malang itu. Ini bukan sekali atau dua kali, tapi Irvi adalah korban kemarahanku yang tidak kutahu urutan ke berapa.

"Tunggu aja, Irvi. Dalam minggu ini, pasti nyawa kamu udah melayang di tangan Alena Namira," ujarku seraya terkekeh membayangkan apa seperti apa nantinya. Dan, wajahnya yang polos itu kira-kira akan berekspresi seperti apa, ya? Aku semakin penasaran.

"Len ...." Suara yang berasal dari belakangku, membuatku menoleh seraya menutup mulutmu menggunakan tangan kanan. Suara itu tentu saja milik seseorang yang sudah berhasil masuk ke hatiku. Perasaanku tidak enak, aku yakin pasti akan ada sesuatu buruk yang terjadi. Apakah kami akan renggang atau langsung putus?

Apa dia mendengar semua obrolanku dan Irvi? Itu tidak terlalu penting, apa dia mendengar ucapanku baru saja? Mengapa dia selalu datang tiba-tiba? Kulihat wajahnya yang terkejut dan panik. Kurasa dia mendengarnya. Baiklah, mungkin ini sudah saatnya ada seseorang yang mengetahui ini.

Aku berjalan ke arahnya, bukan untuk pulang bersama. "Kalau emang benaran sayang, nggak mungkin kamu bakalan nggak peduli atau ninggalin aku gara-gara ini. Tapi, semua balik ke kamu. Aku duluan, Zaf."

Langkahku sudah jauh, namun dia belum juga memanggilku. Mungkin lebih baik kami saling diam dan berpikir. Aku juga sudah pasrah. Lagi pula, tidak mungkin laki-laki baik seperti dia mau menerimaku yang serba kekurangan.

"Len! Tunggu!" pekiknya yang masih terdengar jelas di pendengaranku. Aku menurut, menghentikan langkahku tanpa menoleh ke sumber suara. Kudengar suara napas yang tersenggal-senggal di sampingku. Ingin sekali kuberi air minum yang ada di dalam ransel, tapi kuurungkan.

Dia menyentuh bahuku. Aku tidak mengerti maksudnya, mungkin dia berpikir aku sedang melamun. "Kamu kenapa? Ada apa sebenarnya? Cerita sama aku. Dalam hubungan itu nggak boleh ada rahasia, Len. Aku nggak nuntut kamu buat selalu anggap aku sebagai pacar kamu. Kamu boleh anggap aku teman, sahabat, keluarga, abang, atau siapa aja. Artinya, kamu bebas cerita ke aku, Len. Jangan pergi kayak gini, kita selesaikan sama-sama, dong."

Suasananya hening, tidak ada yang berlalu-lalang di sini. Aku semakin larut dalam pikiranku, sedangkan dia dengan tenang menungguku bercerita.

"Sambil jalan aja, yuk? Nanti mampir ke mana gitu, makan sekalian," katanya lagi-lagi membuatku merasakan sosok yang begitu berarti dan pengertian.

Aku mengangguk, kurasakan tangan hangatnya menggenggam jemariku. Aku tertawa kecil karena perlakuan sederhananya.

Aku turun dari sepeda motor Zafran lebih dahulu agar memberi ruang kepadanya untuk turun juga. Mataku tertegun menatap ke sekeliling, kafe ini tampak sangat indah walau hanya diperhatikan dari sudut parkiran. Aku semakin tidak sabar melihat seperti apa seni yang ada di dalamnya.

Kami masuk dengan langkah yang pelan. Mataku terus menatap takjub bangunan yang tidak terlalu berukuran besar ini. Lampu-lampu kecil yang menggantung dan meja yang dibalut dengan taplak meja menambah kesan manis di dalamnya. Tanpa sadar, Zafran sedari tadi menatapku sambil tersenyum. Kupikir dia masih berbicara dengan pelayan kafe, tapi ternyata sudah selesai sejak lima menit yang lalu. Mengapa aku bisa tahu? Karena makanan dan minuman yang dipesannya sudah terletak rapi di atas meja kami.

"Ngapain lihatin kayak gitu?" tanyaku ketus. Dia hanya terkikik menanggapiku.

"Lucu," balasnya yang tentu saja membuat pipiku bersemu merah. Selalu saja begitu. 

Aku mengaduk minuman yang berada di hadapanku menggunakan sedotan. Kutatap minuman itu sekilas, lalu meminumnya sedikit agar memberi rasa sejuk di tenggorokan.

"Sebenarnya ini penyakit udah lama. Bukan penyakit juga, sih. Namanya gangguan kepribadiaan ambang. Gangguan ini yang buat aku cepat marah sampai yang kamu dengar tadi, menghilangkan nyawa seseorang. Ini aku tau sejak SMP dan sampai sekarang cuma aku sendiri yang tau. Kalau ngasih tau orangtua aku juga kayaknya nggak ngaruh, atau mereka bakal ngirim aku ke rumah sakit jiwa," jelasku panjang lebar.

Zafran mengangguk-angguk mengerti. Aku tida tahu dia mengerti apa. Mengerti penderitaanku atau mengerti akan melakukan apa nantinya. Aku hanya bisa pasrah. "Kita obatin bareng-bareng, ya. Kamu pasti bisa, kok, Len."

-💃-

Heyyo geng. Ceritanya masih ngalor ngidul wkwk. Semoga makin jelas ke depannya. 😂

Vote & komen ditunggu ❤
Kritik & saran lebih ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now