Another - 10

58 15 17
                                    


Happy Reading ❤

-💃-

Aku dan Amara berjalan berdampingan menyusuri koridor sekolah yang lumayan ramai. Aku masih setia menunduk karena tidak suka ditatap oleh banyak orang. Lain halnya dengan Amara yang sedari tadi menyentuh tanganku agar aku tidak terus-menerus menunduk.

Aku merasakan seseorang yang menggenggam tangan kiriku. Aku masih menunduk seraya berpikir di mana Amara berdiri. Aku menoleh untuk memastikan siapa yang berdiri di sampingku. Laki-laki itu tersenyum, aku balas tersenyum.

Amara yang menyadari keberadaan Kak Zafran, menyenggol tanganku. "Len, aku duluan, ya."

Aku menahan tangannya, namun gadis itu melepaskannya. Dalam hitungan detik, gadis itu melambaikan tangan dengan senyuman yang menyebalkannya itu.

Laki-laki itu menuntunku duduk di bangku dekat koridor. Aku hanya diam karena merasa tidak keberatan. Dia menatapku lagi, masih dengan senyuman tipis yang sama sekali tidak bisa kuartikan. "Kenapa senyum-senyum? Senyum sama siapa? Setan?" tanyaku yang terkesan sok polos. Aku sendiri tidak sadar dengan ucapanku yang sudah ikut-ikutan dengan Amara yang menyebalkan.

Lihatlah sekarang, dia justru terbahak. "Lihatin kamu atuh, Len."

Aku menautkan alisku, namun lebih memilih diam. Beberapa detik kami habiskan dengan keheningan. Aku dapat melihat dari ekor mataku, dia terus saja menatapku. Aku tidak tahu ada apa dengannya, yang pasti aku ingin ke toilet. Tanganku naik ke wajahku, memeriksa apakah ada sesuatu yang menempel di sana.

"Nggak ada apa-apa di sana, Len. Kamu lucu banget, sih. Galak, tapi lucu."

Aku mengembuskan napas pelan. "Apaan, sih, Kak? Ada yang mau diomongin? Bentar lagi bel," ujarku seakan menyiratkan bahwa aku tidak betah duduk berdua di depan kelas 12. Tatapan dari siswa dan siswi yang berjalan di sepanjang koridor malah semakin membuatku malu.

"Mulai sekarang kita pacaran. Aku anggap kamu setuju, Len. Hubungan kita nggak perlu diumbar, 'kan? Aku tau kamu bakalan nggak suka bahkan pergi kalau aku nyatain perasaan dengan suara yang lantang apalagi di depan banyak orang."

Dia meraih kedua tanganku, sorot matanya begitu serius. Aku menarik tangan kiriku, menyelipkan anak rambut yang menghalangiku sekaligus membuat risi. "Hah? Maksudnya gimana, Kak? Pacaran? Hoah, lucu, Kak." Aku terkekeh menanggapi ucapan Kak Zafran yang kuyakini serius.

Dia menarik pelan tanganku beberapa meter. Posisi kami berada di tengah-tengah koridor. Tanganku yang masih digenggamnya tentu menjadi pusat perhatian.

"Aku suka sama kamu, Len. Kamu mau 'kan jadi pacar aku? Kita bakalan jalanin hari bareng-bareng. Gimana, Len? Kamu mau, 'kan?" tanyanya dengan suara yang keras hingga menimbulkan sorakan dari siswa-siswi baik dari kelas 12 maupun kelas 11. Tentu saja Amara ikut menyaksikan. Aku memicing, memikirkan apa yang akan Amara lakukan. Gadis itu pasti akan melakukan aksi anehnya.

"Buset, akhirnya temen aku laku juga. Alena! Ayo, jawab! Kamu pasti mau! Ciee!" pekiknya tanpa rasa malu sedikit pun.

Siswa dan siswi yang lainnya ikut bersorak dan bertepuk tangan. Ingin sekali aku melarikan diri dari tempat ini, aku tidak nyaman. Tapi, tidak mungkin pergi begitu saja tanpa memberikan kepastian. Sekali lagi, tatapanku beralih pada Amara. Gadis itu terlihat ceria sekali, dia mengangguk tampak paham maksudku.

Tanpa sadar aku ikut menganggukkan kepalaku. Suara sorakan semakin heboh. Aku tersenyum ke arah Kak Zafran yang juga tersenyum. Hanya itu, karena aku sendiri tidak tahu harus mengatakan apa dan melakukan apa.

-💃-

Semilir angin menerpa wajahku. Aku sesekali melangkah mundur menghindari tetesan air hujan. Amara sudah pulang terlebih dahulu, dia menawariku untuk pulang bersama. Tapi, lagi-lagi kutolak karena merasa tidak enak. Lagi pula, aku tidak betah berada di rumah lebih lama. Hanya kesendirian yang akan kurasakan, bahkan suara klakson mobil dari mama ataupun papa bukan sesuatu yang kuharapkan.

Sudah satu jam menunggu, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan reda. Aku mengembuskan napas panjang, lalu melangkah lebih jauh. Aku kembali berjalan masuk, duduk di bangku koridor.

"Kalau lagi hujan enaknya makan bakso, tapi aku nggak punya bakso. Aku cuma ada ice cream. Kamu mau, Len?" Suara itu, suara yang sangat kukenali. Dia menyodorkan ice cream berwarna merah muda.

Aku terkekeh dan menerima ice cream yang dibawa oleh laki-laki yang sekarang statusnya adalah kekasihku. Dia duduk di sampingku, tatapannya lurus ke depan. Lebih tepatnya memperhatikan siswa dan siswi yang masih berada di sekolah karena bernasib sama sepertiku.

"Aku mau nanya, Len. Kamu tadi beneran nerima aku? Bukan karena kasihan, 'kan? Aku nggak mau kamu terpaksa pacaran sama aku, Len. Keputusan kamu tetap di tangan kamu. Bukan di tangan aku, Amara, atau yang lainnya."

Aku sangat tidak suka berada di situasi seperti ini. Dia mengubah nada bicaranya menjadi serius, sedangkan aku selalu kesusahan membalasnya dengan apa. Aku termasuk salah satu orang yang sangat lemah dalam hal berinteraksi. Aku hanya akan membalas ucapan yang menurutku penting.

"Len? Kok diam?" tanyanya seraya menepuk pelan bahuku. Tentu saja aku tidak melamun.

"Terus gimana, Kak? Aku harus apa? Aku beneran nerima Kakak, kok. Kakak itu orang baik, jadi aku suka. Aku juga percaya sama Kakak. Percaya dalam artian, Kakak nggak bakal mainin perasaan aku," jelasku seraya menatap wajahnya. Tentu saja aku tidak suka melihatnya meragukan perasaanku.

Beberapa hari mengenalnya, mungkin ini terlalu cepat. Jika aku menolaknya, aku juga tidak mempunyai alasan. Aku menerimanya bukan perihal cinta melainkan karena dia sudah kunilai orang yang baik. Aku tidak mengerti perihal cinta, tapi yang kutahu itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu.

"Kamu jangan panggil Kak, Len. Aku masih muda, kok. Lagian kamu itu pacar aku, Len."

Dia mengusap kepalaku pelan. Aku mengangguk, lalu berjalan ke arah tempat sampah. Ice cream yang diberikannya tadi sudah habis. Berada di dekatnya juga membuat detak jantungku menjadi tidak normal. Kuputuskan untuk berdiri beberapa meter dari tempat sampah, selain menghindari Zafran tentu saja karena aroma yang dikeluarkan dari sampah.

"Aduh!"

Suara gadis yang begitu asing, membuatku memutar badanku ke tempat di mana Zafran berada. Dia sedang membersihkan bahu gadis yang tidak pernah kukenal. Aku memperhatikan penampilan gadis itu. Dalam tiga detik, sudah dapat kusimpulkan dia adalah anak baru karena menggunakan seragam yang berbeda.

Aku mendekat, lebih tepatnya berdiri di tengah mereka berdua. "Udahlah, Zaf. Kasih aja tisu ke dia, tangan dia masih lengkap, kok. Dia bisa bersihin sendiri." Aku mengambil alih tisu yang berada di tangan Zafran, lalu memindahkannya ke tangan gadis yang tidak kukenal itu.

"Iya, Kak. Aku bisa sendiri. Maaf udah ngerepotin dan makasih tisunya."

-💃-

Heyyo geng, aku gatau mo nulis apa. Ceritanya masih ngambang dan nggak jelas. 😢

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Another YouWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu