Another - 6

69 16 19
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Aku mengerjapkan mata beberapa saat. Tatapanku kembali tertuju pada laki-laki yang sedang berada di sampingku. "Rumah Kakak? Kakak, bercanda? Nggak lucu soalnya."

Aku membalikkan badanku berniat pergi walaupun aku sendiri tidak tahu arah jalan pulang. Aku sangat tidak suka orang asing yang dengan seenaknya mempermainkanku. Kudengar suara langkah kaki yang kian mendekat. Kuputuskan untuk berlari menghampiri sepedaku yang hanya berjarak beberapa meter, tapi tenagaku tidak mampu bersaing dengannya. Dia menyentuh bahuku agar aku berhenti, lalu melepaskannya saat aku benar-benar menghentikan langkahku.

"Kenapa? Aku nggak bercanda, kok. Ini emang rumah aku. Kamu nggak percaya?"

Aku menggeleng. Laki-laki itu tertawa kecil, lalu menarik tanganku agar masuk ke dalam. Ada perasaan yang tidak bisa kutebak. Di satu sisi aku ingin pulang dan di sisi lain aku ingin mengetahui kebenaran. Bagaimana mungkin laki-laki yang disukai banyak orang, berteman dengan siapa saja, dan orang yang mempunyai kadar kepintaran di atas rata-rata malah tinggal di tempat seperti ini?

Laki-laki melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang dominan dengan warna putih. Dia terlihat begitu santai dan tidak mengucapkan salam terlebih dahulu.

Nggak punya sopan santun.

Aku terpaksa mengikutinya dari belakang karena tanganku yang masih dia tarik. Kulihat ada banyak sekali penghuni di rumah berlantai dua ini. Tidak bisa kupungkiri, ada sedikit perasaan senang bisa melihat anak kecil sedang bermain. Mungkin karena aku ingin memiliki adik. Angan-angan itu sudah kubuang sejak lama, aku kembali menyadari realita kedua orangtuaku.

"Cie, senyum-senyum," ujar Kak Zafran dengan wajah yang sangat menyebalkan. Ingin sekali kupukul wajahnya itu.

Aku memutar bola mataku malas. Berdebat dengannya hanya akan membuang waktuku. Aku menatap ke lantai dan melihat dia yang sudah melepaskan sepatu miliknya, sedangkan aku masih menggunakan sepatuku. Aku menepuk keningku pelan, lalu berlari keluar untuk membuka sepatuku. Membersihkan rumah yang cukup luas apalagi dalam kondisi ramai seperti ini tentu saja membutuhkan banyak waktu dan kesabaran yang ekstra.

Sekarang aku menyadari satu hal, dia senang sekali membuatku terkejut. Aku yang sedang menunduk membuka tali sepatuku, tiba-tiba memegang dadaku yang terkejut dengan kehadirannya. Tanpa berpikir panjang, aku menjitak kepalanya. Aku beranjak kemudian meletakkan sepatuku pada rak yang tersedia di samping pintu.

Jika tadi dia menarik tanganku agar masuk, maka sekarang dia menggenggam tanganku, seolah-olah aku ingin kabur. Kutarik tanganku karena merasa tidak pantas dilihat oleh anak-anak di sini.

Dia mengajakku duduk di taman belakang karena lebih sepi di pagi hari ini seperti ini. Tidak, dia tidak menemaniku. Sehabis menuntunku ke taman belakang, dia pergi tanpa mengatakan satu patah kata pun. Aku yang merasa bosan, memainkan kakiku dengan rumput yang sedikit basah karena embun pagi. Aku sengaja tidak membawa ponsel, agar aku lebih tenang saat berada di luar rumah. Selain itu, aku juga bukan tipe wanita yang tidak bisa berjauhan dengan ponsel. Namun sebaliknya, aku tidak begitu dekat dengan ponselku.

Dia meletakkan dua cangkir teh panas di meja, lalu duduk di sampingku. "Udah lama, ya?" tanyanya sambil tersenyum tipis.

Aku menggeleng. "Biasa aja."

"Pasti mau nanya banyak hal, tanya aja. Oh iya, kamu cewek pertama yang aku ajak ke rumah, lho."

Aku menoleh, lagi dan lagi dia begitu menyebalkan. Tidak biasanya aku menjadi terbang ke angkasa karena omongan orang lain.

"Ini rumah, Kakak? Rumah? Maksudnya gimana, sih?" Aku memilih membalas kalimat pertamanya dan mengabaikan kalimat keduanya karena merasa tidak penting.

Dia mengangguk cepat, lalu beranjak dan berjalan beberapa meter. "Ini panti asuhan punya orangtua aku. Mereka udah meninggal sejak aku kecil, jadi kalau ditanya tentang mereka pun aku nggak tau," ujarnya dengan nada yang pelan. Terdengar jelas ada banyak sekali kesedihan dalam dirinya.

"Mereka meninggal karena kecelakaan. Anak mana pun pasti marah dan benci sama takdir karena mereka merasa beda, nggak punya orangtua. Awalnya aku juga gitu, tapi larut dalam kesedihan juga nggak untungnya. Malah aku ngerasa hidup itu bakalan monoton."

Aku yang mendengar ucapannya, memilih menghampirinya. Entah mengapa, tanganku bergerak mengusap bahunya seakan memberi semangat. Aku tidak mengerti dengan gerakan refleks ini, tapi aku berharap ini hanya rasa kemanusiaan.

"Cie, usap-usap bahu aku." Usapan tanganku yang semulanya menenangkan, saat ini pasti akan bertolak belakang karena aku memukulnya. Bagaimana bisa laki-laki itu masih menyebalkan di saat menceritakan kesedihannya?

Aku kembali duduk dengan perasaan menyesal sekaligus kesal. Sinar matahari tampaknya sudah mulai kembali menjalankan tugasnya. Aku menengadah, melihat keindahan langit adalah kesukaanku dari dulu. Aku ingin sekali menyusul burung-burung yang terbang bebas di langit itu. Apalagi ketika melihat mereka terbang bersama dengan teman sejenisnya.

"Tapi, aku juga senang di sini. Aku nggak sendiri bahkan aku punya banyak teman. Di sini mereka baik dan ramah, bukan cuma itu aja, sih. Aku tetap minta sama ibu yang jaga panti ini supaya nggak beda-bedain mereka sama aku," ujarnya lagi dan lagi menceritakan kehidupannya. Aku tidak berniat membalas karena aku bukan tipe pendengar yang baik. Aku hanya senang mendengarkan tanpa sering membalas.

Dia kembali duduk setelah menatapku yang tidak membalas ucapannya. "Kamu kenapa ngomongnya irit, sih? Kamu nggak dengarin cerita aku, ya?" tebaknya sok tahu.

"Jangan sok tau. Aku emang nggak balas ucapan Kakak karena nggak tau mau jawab apa. Aku dengarin cerita Kakak dari awal sampai akhir. Kalau Kakak mau, aku bisa ngulang cerita Kakak dari awal sampai akhir," balasku sedikit kesal.

Dia malah bertepuk tangan seolah-olah aku baru saja berbicara hal yang menginspirasi.

"Ngapain tepuk tangan segala?" tanyaku dengan tatapan sinis.

"Itu omongan terpanjang kamu selama dua hari kita kenal."

Aku menginjak kakinya yang berukuran lebih besar dari kakiku. Laki-laki itu tidak kesal apalagi berniat membalas. "Aku cuma mau minta sama kamu, tetap bersyukur sama apa pun yang kamu punya. Kalau kamu nggak suka sama orangtua kamu, coba lihat mereka dari sisi lain. Pahami mereka atau sebaliknya, bikin mereka yang paham kondisi kamu. Kamu harus bicara biar mereka ngerti, marah-marah juga nggak bakalan bikin mereka berubah."

"Jangan pernah ngurusin hidup aku dan jangan sok tau sama hidup aku."

Aku beranjak meninggalkannya yang menurutku terlalu berusaha masuk ke kehidupanku. Jika dia ingin bercerita tentang hidupnya maka tidak masalah, tapi jangan pernah berusaha mencari tahu apalagi menasehatinya karena dia hanyalah orang asing di mataku.

"Jangan selalu marah!"

-💃-

Heyyo geng, silakeun baca deskripsi cerita, ya. Semoga aja sih kesampaian, soalnya aku kalau udah semangat ya gitu. 😂

Btw geng, aku ganti cover lho hehe.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now