Another - 17

47 15 23
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Aku menghentikan langkah saat melihat Bu Neli sedang memasak makanan yang kuduga untuk makan malam nanti. Lima detik berlalu, aku masih setia menyandarkan badanku di samping dinding. Ternyata yang kulihat benar-benar baru kusadari. Bu Neli memasak sambil mencuci piring. Aku menjentikkan tanganku dengan senyuman yang terlukis di wajahku.

Kulangkahkan kakiku masuk ke dapur. Aku meletakkan ranselku di atas meja makan. Langkahku tertuju ke arah Bu Neli yang tidak mendengar derap langkahku, lalu kuambil alih spons yang sedang dipegang Bu Neli.

"Ngapain, Nak?" tanya Bu Neli dengan nada yang sangat membuatku tenang. Nada yang sering kudengar di drama ataupun televisi, nada berbicara layaknya seorang ibu kandung dengan anaknya. Aku sendiri tidak pernah mendengar mama ataupun papa berkata dengan nada seperti itu, bahkan mengucapkan kata nak saja bisa kuhitung menggunakan jari.

Aku tersenyum tipis, lalu mengangkat piring yang sedang kucuci. "Nyuci piring, Bu. Biar kerjaan Ibu cepet selesai."

Tangan Bu Neli mengambil alih piring dan spons yang tadinya bergerak di tanganku. Aku menatapnya tiga detik, namun dalam detik keempat aku memutusnya terlebih dahulu.

"Nggak usah, Len. Nanti mama kamu marah, lagian kamu nggak bisa nyuci piring," ujar Bu Neli masih dengan nada lemah lembut.

Aku mengedikkan bahu acuh, mengambil kembali benda yang diambil oleh Bu Neli. Lagi pula tadi aku sudah belajar mencuci piring dengan Zafran dan hampir semuanya dia yang mencuci. Jadi, aku memutuskan untuk menggunakan ilmu yang baru saja kudapat agar tidak percuma. Ini juga bukan perkara susah, tanganku terasa sejuk karena terkena air. Ditambah dengan aroma sabun pencuci piring yang baru kutahu sangat wangi.

Tidak membutuhkan waktu banyak, dalam sepuluh menit piring dan gelas yang sebelumnya kotor sudah tersusun rapi di dalam rak piring. Aku tersenyum lega melihatnya, setidaknya aku sudah membantu Bu Neli agar tidak kelelahan.

"Lain kali kamu nggak usah bantu Ibu. Lagian kamu pasti capek habis pulang sekolah, Len. Ibu udah biasa ngelakuin semuanya sendiri, sedangkan kamu udah pasti nggak biasa, Nak." Bu Neli mengusap rambutku pelan, lalu mengelus bahuku beberapa kali sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Apa yang dikatakan Neli itu benar. Kamu nggak bisa nyuci piring terus tadi yang ngajarin kamu siapa? Anak kampung mana yang ngajarin kamu ngerjain kerjaan pembantu seperti itu? Atau, jangan-jangan pacar kamu yang kampungan dan miskin itu?" tanya Mama yang entah sejak kapan berdiri di belakangku. Aku sendiri tidak menoleh ke arahnya, aku hanya mendengarkan ucapan merendahkannya tanpa berniat membalas.

Ini mungkin sudah rencana Tuhan. Aku yang sudah beberapa hari ini menghindar dari Mama dan papa, pada akhirnya kami bertatap muka dan berbicara seperti ini. Ya, walaupun pembicaraan yang tidak pernah kusuka karena berisi perdebatan yang sebenarnya tidak begitu penting.

Jika orangtua yang lain senang anaknya bisa mengerjakan sesuatu dan membantunya, maka lain halnya dengan orangtuaku yang menganggap aku tidak pantas mengerjakannya. Ingin sekali aku berdoa agar kekayaan kami segera diambil oleh Tuhan, namun kuurungkan karena hati nuraniku tidak pernah tega melakukan itu.

Aku mengambil ranselku, lalu menyeretnya tanpa memikirkan jika ranselku akan kotor nantinya. Aku sengaja mengabaikan ucapan Mama agar hubungan kami tidak renggang, setidaknya berpura-pura terlihat baik.

"Semakin tidak sopan saja kamu, Alena!" teriak Mama melihat aku yang kini melangkah menaiki satu per satu anak tangga.

Bukannya Mama sendiri yang membuat dinding pembatas di antara kami? Bukankah Mama juga yang membuatku tidak nyaman berbicara apalagi menumpahkan segala keluh-kesahku? Mengapa bisanya selalu menyalahkan tanpa melihat dirinya sendiri?

Menurutku tidak ada salahnya mencuci piring atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Itu hanya sekadar membantu dan menggunakan ilmu yang kupunya. Lagi pula, dengan mengerjakan itu semua tidak akan membuatku dinilai rendah oleh orang lain. Jika ada yang menilai rendah, maka orang itu adalah Mama.

-💃-

Aku duduk di balkon kamar dengan tatapan kagum melihat indahnya bulan dan bintang menghiasi langit yang tentunya akan gelap tanpa kehadiran mereka. Aku berdecak kesal mendengar dering ponsel yang sedari tadi menganggu indra pendengaranku, terhitung ini adalah dering yang kelima. Daripada membuatku semakin kesal, aku memilih mengalah dan masuk mengambil ponselku.

Tebakanku tentu adalah Amara. Tidak ada yang senang mengangguku selain Amara. Aku menghela napas panjang, lalu membalikkan ponselku karena sebelumnya layarnya menghadap ke bawah.

"Kenapa, sih, Mar? Ganggu mulu," ujarku dengan nada kesal setelah panggilannya tersambung.

"Hallo, Len. Maaf, kalau ganggu."

Mataku memelotot mendengar suara seseorang di sebrang sana. Aku merutuki kebodohan sekaligus kecerobohanku yang tidak melihat nama kontak terlebih dahulu sebelum mengangkatnya.

"Nggak ganggu, Zaf. Tadi aku pikir Amara."

"Bener, nih? Kalau ganggu, aku balik aja, deh. Dari tadi aku nungguin kamu di bawah, tapi kamu sibuk merhatiin langit sampai cuekin aku."

Aku berjalan ke arah balkon. Pandanganku mencari-cari keberadaan seseorang di bawah. Kulihat seorang laki-laki yang menggunakan hoodie sedang melambaikan tangan ke arahku. Aku membalas lambaiannya seraya tersenyum tipis.

"Jalan, yuk, Len. Mau, nggak?"

Aku mengangguk seperti orang bodoh. Untungnya Zafran masih melihatku. Dia terkekeh padahal tidak ada yang lucu sama sekali. Sering sekali dia menertawakanku.

"Ayo, turun, Len. Nggak usah siap-siap apalagi ganti baju."

"Hah? Maksudnya aku pakai piyama gini? Kamu nggak malu emang? Aku aja malu."

"Ngapain malu, Len? Biasa aja. Ayo, turun. Aku laper, tapi maunya makan bareng kamu."

Aku mematikan ponsel karena malu mendengar kata-kata manisnya. Kuambil secara asal sling bag di lemariku. Dompet dan ponsel kumasukkan ke sling bag sebelum benar-benar melangkah keluar kamar.

Aku menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Apalagi tadi Zafran berkata dia sudah menunggu sejak lama dan aku tidak ingin membuatnya menunggu lebih lama lagi.

Laki-laki itu terkekeh saat aku sudah berdiri di sampingnya. Dia mengusap keringat yang mengucur di keningku. Tentu saja aku berkeringat walau hanya berlari beberapa meter karena pada dasarnya aku jarang berolahraga.

"Kenapa buru-buru? Lihat nih, sampai keringetan."

Aku mengusap keringatku dengan cepat agar jantungku tidak berdetak sekencang ini. Apa Zafran tidak sadar dengan perlakuan manisnya ini? Ah, menyebalkan.

"Takut kamu nunggu makin lama."

Zafran mengangguk-angguk, lalu mengulurkan tangannya membantuku naik ke motornya. Aku menerima ulurannya. Dalam hitungan detik, sepeda motornya membelah jalanan yang malam ini cukup ramai walaupun bukan malam Minggu.

"Tadi perginya izin dulu atau nggak?" tanya Zafran dengan nada tenang.

"Nggak."

Aku melihat raut wajahnya yang berubah dalam hitungan detik.

"Kenapa?"

Buat apa, Zaf? Tadi aja dia ngatain kamu. Mana mau aku minta izin sama mama atau papa, mereka itu sama aja.

-💃-

Heyyo geng, semakin malas aja aku update wkwk. Padahal niatnya update tiap hari:v

Vote & komen ditunggu ❤
Kritik & saran lebih ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now