Another - 25

71 6 20
                                    

Jangan lupa pencet bintang dulu, Lov!

-💃-

Happy Reading ❤

-💃-

"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku seraya menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Gadis yang masih berdiri di ambang pintu tersenyum tipis, lalu melangkah mendekati nakas dan meletakkan paper bag. Dia mengusap rambutku pelan, kemudian menarik kursi yang selalu berada di samping brankar.

"Hari ini kamu udah boleh pulang, Len. Aku bawain baju buat kamu. Buat sementara, kamu tinggal di rumah aku aja, ya?"

Aku menggeleng. Hatiku menolak kehadiran dan sikap baiknya. Lagi-lagi aku takut terlalu percaya pada siapa pun termasuk Amara yang mengaku sebagai sahabatku. Jika Zafran yang mengaku mencintaiku saja bisa melakukan hal seburuk itu, maka tidak ada yang menjamin Amara berbeda dengan Zafran.

"Len?" panggil Amara setelah mengamatiku yang tidak membalas ucapannya walau satu kata pun.

Aku mengusap wajahku, lalu balas menatapnya. "Kenapa?"

"Kok, kenapa, sih, Len? Ya, emang aku nggak boleh ngajak kamu nginap di rumah?"

Tatapan kami bertemu. Dalam tiga detik, dia mengusap dadanya seakan memberi isyarat sabar menghadapiku. Aku yang melihatnya memilih mengalihkan pandangan pada jam dinding berwarna senada dengan ruangan ini.

"Len, aku itu sahabat kamu. Aku nggak mungkin ada niatan jahat sama kamu. Kamu cukup percaya sama aku dan kita sama-sama putar semua memori biar kamu bisa ingat lagi."

Aku menatap matanya. Matanya memberikan kehangatan, sama seperti mata Zafran. Mereka berdua mengatakan hal yang sama, apa mereka berdua tidak ada bedanya?

"Mulai hari ini aku berhenti percaya sama semua orang, termasuk kamu. Setiap kali aku percaya sama orang, yang aku dapatkan cuma sakit hati. Nggak ada orang yang lebih peduli sama aku kecuali aku sendiri."

Gadis yang menggunakan dress itu menatapku kecewa. Dia seolah-olah menjadikanku rumah, sehingga saat mendengarku mengatakan itu, dia kehilangan rumahnya. Kali ini aku tidak akan memberi siapa pun ruang untuk masuk ke hatiku. Aku pasti bisa tanpa mereka. Suatu fakta yang menyakitkan, tetapi bagaimanapun disembunyikan pasti akan kuketahui juga walau di waktu yang salah.

"Len, kamu itu harus sama aku. Kalau kamu sama orang tua kamu, pasti di saja kamu cuma bisa sedih. Kamu sama aku aja, ya?" balasnya penuh harap.

Aku menggeleng sebagai jawaban. "Amara, kita sebagai manusia memang makhluk sosial yang pasti akan butuh bantuan orang lain, tetapi bukan berarti kita hidup bergantung dengan orang lain. Aku bisa tanpa kamu, walaupun itu sulit."

Amara beranjak, lalu menarikku dalam dekapannya. Suara tangisnya pecah bersamaan buliran bening yang jatuh. Tanganku bergerak, mengelus bahu miliknya seolah memberi kehangatan karena aku tidak pergi jauh apalagi meninggalkannya. Aku tetap di sini, 'kan?

"Len, jangan ngomong kayak gitu. Aku nggak apa-apa, kok, kalau kamu nggak kenal aku, aku juga nggak masalah kalau kamu butuh waktu, aku nggak masalah kamu bersikap cuek, tapi jangan pernah ngomong kalau kamu itu sendirian. Aku adalah rumah buat kamu."

Aku mendorong pelan tubuhnya. Aku sudah cukup diam dengan drama ini. Kulihat dia mengeluarkan tisu dari tas yang selalu sama setiap harinya.

"Tolong ambil buku di laci dan baca dengan baik-baik. Bisa, 'kan?" tanyaku seraya menunjuk tempat di mana buku kemarin kuletakkan agar tidak menimbulkan rasa curiga dari Zafran.

Amara mengangguk, lalu mengambil buku yang kutunjuk dan mulai membacanya. Sepertinya kami memiliki kesamaan, selalu memainkan ekspresi saat membaca. Baru halaman pertama, dia menutup buku itu. Dalam hitungan detik, dia melempar buku itu ke sembarang arah.

"Len, aku nggak tau apa pun tentang buku itu. Kamu nggak percaya sama aku?" tanya Amara dengan nada lemah lembut.

"Gimana aku bisa percaya? Kamu tau sendiri aku nggak ingat apa-apa. Kalian berdua datang dengan sikap yang sangat baik, lalu ngenalin diri kalian. Apa aku langsung percaya? Jelas nggak. Di saat aku lagi bingung, aku malah nemuin buku itu. Bukannya nemuin fakta yang bikin senang, tapi malah bikin kecewa," ujarku

Amara mengalihkan pandangannya. Dalam hitungan detik dia beranjak dari duduknya, lalu berjalan memberi jarak antara kami.

"Kamu tau apa yang paling sakit dari ditinggalkan?"

Aku menggeleng, tetapi dia sama sekali tidak berbalik menatapku. Mungkin dia tidak butuh jawaban dariku karena beberapa detik kemudian dia melanjutkan kalimatnya.

"Kamu tau rasanya nunggu? Setelah penantian panjang, orang yang kamu tunggu malah berubah. Berubah dalam artian dia nggak ingat sama sekali. Itu jauh lebih sakit dari apa pun."

Aku tidak terima dengan ucapannya. Aku sendiri pun tidak bisa memilih, 'kan? Tidak ada satu pun yang mengingkan musibah, bukan?

"Aku nggak pernah minta ditabrak truk, terus amnesia," ujarku dengan nada ketus.

Tangan Amara bergerak mengusap pipi kanannya, lalu kembali menatapku. "Emang benar nggak ada yang mau dapat musibah. Kalau lo emang percaya sama buku itu, itu hak lo. Gue capek sama semuanya. Jadi, penantian gue percuma karena nyatanya keajaiban itu nggak ada buat orang yang langsung narik kesimpulan dari satu sisi."

Dia terdiam beberapa detik, lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas berwarna merah, lalu memasukkan ke paper bag.

"Gue udah bayar semua biaya administrasi dan uang itu gue kasih atas dasar kemanusiaan. Gue sama sekali nggak berharap lo mau temanan sama gue, nggak berharap lo baik ke gue, dan nggak berharap lo percaya sama omongan gue. Sekarang kita jalanin masing-masing aja."

"Kok, gitu? Jangan-jangan yang ada di buku itu benar?" tanyaku enteng, sama sekali tidak memikirkan perasaannya.

"Gue heran, ya, sama lo. Cara bicara gue udah berubah, artinya gue udah marah besar sama lo. Gue makin miris lihat lo," ujarnya, lalu menatapku dengan intens.

"Udah cacat, amnesia, keluarga nggak harmonis, orang yang katanya cinta sama lo nyatanya cuma omong kosong, dan yang lebih menyedihkannya, nggak ada yang sayang atau peduli sama lo. Gue aja nggak sudi peduli sama lo karena manusia yang nggak bisa bedain orang lain nggak pantas dapat hal yang indah di dunia ini. Lo pikir semua orang sama? Sorry, gue nggak semenjikkan itu." Setelah mengatakan kalimat yang teramat panjang, dia menarik napas beberapa kali.

"Gue kasar? Wajar aja karena gue telanjur terluka," kata Amara dengan penekanan di setiap katanya.

Punggung Amara menghilang bersamaan dengan suara pintu yang ditutup. Aku merasa bersalah. Benar, rasanya aku telah begitu jahat membiarkannya pergi dengan buliran bening yang terus saja menetes, tetapi dia terlalu baik untukku yang buta akan segala hal.

"Bodoh banget, sih, aku. Cuma karena satu orang yang nggak baik, aku malah nuduh orang lain sama aja kayak Zafran. Bukannya manusia punya banyak karakter, ya?"

-💃-

Ceritanya udah mau tamat, dong, ya!

Kamu tim mana?

Happy ending

Sad ending

Vote & komen ditunggu ❤
Kritik & saran lebih ditunggu ❤

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 21, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Another YouWhere stories live. Discover now