Another - 5

81 14 29
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

"Bangun, Sayang."

Aku membuka mataku dan berusaha mengumpulkan seluruh kesadaranku. Mendengar suara itu membuatku kesal. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu kamar. Suara Mama yang sangat jarang sekali kudengar membuatku merindukan sosoknya.

Aku menarik kenop pintu kamarku, kulihat Mama masih fokus dengan ponselnya. Apakah begini caranya membangunkanku? Tidak bisakah Mama meletakkan ponselnya terlebih dahulu?

"Bangun, ya. Kita sarapan bareng," ucap Mama lembut, namun tatapannya masih fokus pada ponselnya.

Aku menghela napas. "Ngapain sarapan bareng, sih, Ma?" tanyaku yang mungkin terdengar tidak sopan, tapi ini sudah keputusanku. Aku tidak mungkin memilih sarapan bersama mereka, tapi fokus mereka masih pada ponselnya. Lalu, untuk apa aku berada di sana? Menikmati kesepian dan ketidakpedulian orang tuaku? Hanya membuang waktu saja.

"Kok ngapain? Sarapan, Len."

Aku menghentakkan kaki kesal perlakuan Mama. Sebenarnya Mama sedang berbicara denganku atau dengan ponselnya?

"Alena sarapan di luar aja. Nggak selera makan bareng kalian."

Kututup pintu kamarku dengan penuh emosi. Aku masih berharap orang tuaku akan berubah suatu saat nanti, tapi aku sendiri tidak tahu kapan. Aku mengambil hoodie berwarna putih dan meletakkannya di atas tempat tidur.

Sepeda yang berukuran sedang sudah sepuluh menit menyusuri jalanan yang cukup ramai pagi ini. Aku sendiri tidak tahu akan ke mana, tapi daripada di rumah membuatku merasakan sesak.

"Kita mau ke mana, sih, Alena?" tanya laki-laki yang sedang berusaha menyeimbangkan sepedanya dengan sepedaku. Aku memicing, ada sedikit rasa kesal dan senang bercampur. Setidaknya laki-laki ini dapat menghilangkan sedikit rasa kesepianku.

Aku menghela napas panjang sebelum membalasnya. Jika aku mengusirnya tentu bukan pilihan yang tepat karena ini adalah tempat umum. Bisa-bisa aku malah dikira terlalu percaya diri. "Kakak, kok bisa ada di samping aku? Terus, tadi Kakak nanya apa? Ke mana? Kakak, ngikutin aku, ya?" tebakku dengan penekanan di setiap kata.

"Jagain kamu."

Aku langsung menoleh, tidak ada tanda-tanda dia sedang bercanda. Aku kembali mengayuh sepedaku meninggalkan laki-laki yang menggangguku beberapa hari ini. Sebisa mungkin aku mengendalikan emosi agar rasa ini tidak kembali lagi. Sudah cukup aku saja yang mengetahuinya, jangan sampai ada orang lain yang mengetahuinya apalagi orangtuaku.

Laki-laki yang kuingat namanya Zafran itu terus saja memanggilku. Beberapa pasang mata yang berada di sana tentu memperhatikan kami layaknya seseorang yang melakukan kriminal. Aku tidak suka tatapan seperti itu.

Dia kembali berhasil menyeimbangkan sepedanya denganku. Aku memilih mengabaikan selagi dia tidak mengajakku berbicara. Intinya, jika dia ingin menemaniku dan tidak membuatku merasa gelisah maka itu semua tidak menjadi masalah bagiku.

Sudah sepuluh menit kami menyusuri jalanan kota ini. Keringat pun sudah bercucuran di wajahku. Napasku mulai sesak, itu artinya aku harus segera beristirahat. Dugaanku tidak benar salah, Kak Zafran juga ikut duduk di salah satu bangku taman. Saat ini kami benar-benar berjarak sedikit saja, dia duduk tepat di sampingku.

Aku sesekali mengibaskan tanganku untuk menghilangkan rasa panas. Lain halnya dengan Kak Zafran yang pergi beberapa detik yang lalu tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Tidak, laki-laki itu tidak meninggalkanku. Dari tempatku duduk, kulihat laki-laki itu sedang berjalan ke arahku dengan membawa dua botol minuman.

Dia memberikanku botol minuman itu. Aku menggeleng karena merasa tidak membutuhkannya. Aku sendiri bisa membelinya. Sikapnya yang baik dan aneh malah membuatku berpikiran hal-hal negatif. Aku tentu selalu waspada dengan orang sepertinya. "Aku bisa beli sendiri, kok, Kak."

Kulihat Kak Zafran yang membalas ucapanku dengan senyuman tipis. "Kamu emang bisa beli sendiri, tapi rasanya bakalan beda kalau dikasih sama orang. Bukan karena ada pelet, racun, atau sebagainya. Tapi, karena pemberian orang pasti bakalan lebih dihargai daripada beli sendiri."

Aku terdiam beberapa saat. Aku tidak suka berpikir keras apalagi untuk hal-hal seperti ini. Kedengarannya sederhana, tapi kata-kata itu pasti memiliki makna yang lebih istimewa.

"Kalau lagi sama aku, nggak usah panggil Kak. Panggil aja Zafran atau sayang."

Aku menguap mendengar ucapannya yang sangat basi, tapi kali ini akan kutanggapi. Tidak enak juga rasanya membiarkan orang berbicara satu arah. "Jangan modus karena bakalan bikin aku nggak nyaman. Kalau mau dekatin cewek, pahami dulu karakternya baru perasaan."

"Maksudnya?" tanyanya seraya menatap wajahku serius. Tatapan kami bertemu beberapa detik. Kulihat wajahnya yang begitu tampan dan bersih. Sebelum aku terpesona dengannya, kualihkan pandanganku pada sepeda yang terparkir rapi di hadapanku.

Aku mengedikkan bahu tanda tidak mau membahasnya lagi. Lagi dan lagi kami hanya menghabiskan waktu dengan keheningan. Jika kalian bertanya kenapa aku dapat dengan mudah melupakan masalah yang terjadi di rumah, sebenarnya aku tidak benar-benar lupa melainkan hanya menutupi luka dengan pergi ke tempat lain.

Jika disuruh memilih antara rumah dan sekolah, maka jawabanku sudah pasti sekolah. Di sekolah aku memang hanya memiliki satu teman dekat, tapi aku bersyukur karena Amara mau menerimaku apa adanya bahkan sudah menganggapku layaknya saudara kandung.

"Suka sendiri, ya?" katanya pelan dan dengan nada suara yang berhati-hati. Aku tahu, tampaknya dia sudah mulai mengenal sedikit karakterku.

Aku menyandarkan tubuhku di bangku taman, lalu menengadah. Langit pagi ini begitu cerah, tapi tidak dengan kondisi hatiku. Jika dipikir-pikir lagi, untuk apa terus mengenang kesedihan? Lagi pula itu sudah terjadi dan tidak dapat diulang lagi.

"Mungkin."

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kulihat dia yang sedang menatap keadaan taman. Sepertinya dia sedang berpikir. "Kamu suka taman?"

Aku memutar bola mataku ke kanan dan kiri. "Nggak juga, tapi daripada di rumah."

"Pergi, yuk? Aku bakalan ngajak kamu ke tempat yang bikin kamu lebih tenang." Dia menarik pelan tanganku. Aku ingin menolak, tapi biarkan saja dia membawaku ke tempat yang dia inginkan. Tidak ada salahnya juga. Aku sendiri juga tidak tahu akan ke mana dan melakukan apa.

Di sepanjang perjalanan hanya kami habiskan dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang membuka pembicaraan. Aku sesekali menatapnya dan dia juga membalas tatapanku dengan senyuman tipisnya. Jangan lupakan bola mata indahnya itu. Dari wajahnya, hanya bola matanya yang membuatku merasakan dekat dengannya.

Dia berhenti di salah satu tempat yang tidak pernah aku kunjungi. Aku menautkan alis bingung, tapi dia dengan cepat turun dari sepadanya. Aku mengikuti langkahnya yang kian masuk ke halaman tempat itu. Ada sedikit ragu dalam hatiku.

Tatapanku tertuju pada halaman tempat itu. Aku menghentikan langkahku seraya menarik tangan Kak Zafran agar ikut berhenti. "Ngapain?"

"Main di rumah aku. Ada yang salah?"

-💃-

Hallo hallo hai geng😎 Finally, aku update lagi, nih. Padahal aku udah buat plan untuk cerita ini, tapi ya karena akunya sok sibuk makanya agak nggak terurus gini. Huah😴

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Another YouDove le storie prendono vita. Scoprilo ora