Another - 16

44 11 28
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Tidak banyak yang kuceritakan pada Zafran. Hanya beberapa poin penting yang dapat menjawab pertanyaan di kepalanya dan yang pasti, tidak akan membuat dia menjauh dariku. Rasa ini sudah semakin larut dan rasa ingin terus bersamanya yang membuatku berani menceritakan gangguan kepribadian ini. Padahal jika dipikir-pikir, Zafran hanya sekadar kekasih yang kapan saja bisa memutuskan hubungan ini. Namun, logika dan hati sering sekali tidak sinkron.

"Kamu takut sama aku, Zaf? Aku siap kalau kamu mau ninggalin aku. Kata-kata ngobatin bareng kayaknya terlalu wah, deh. Aku bisa lihat dari wajah kamu yang ketakutan sekarang. Maafin aku yang nggak bilang dari awal karena takut ... takut kamu tinggalin," ujarku lirih.

Zafran mengusap wajahnya, lalu tersenyum tipis. Aku tahu, pasti dia sedang menjaga perasaanku. Terlihat dari bola matanya yang sibuk berputar ke kanan dan kiri.

Aku mengembuskan napas pelan sebelum mengucapkan kata-kata yang tidak pernah kubayangkan akan kukatakan secepat ini. Dari awal aku sudah tahu, saat ini pasti akan terjadi. Saat di mana Zafran akan mengetahui penyakit ini. "Kamu pergi aja, Zaf. Aku anggap kita udah putus. Makasih udah pernah singgah dan nemenin aku."

Tiga detik terlewati tanpa ada pergerakan dari Zafran. Aku menatapnya sekali lagi seraya tersenyum tipis sebagai isyarat aku tidak apa-apa. "Pergi, Zaf. Nanti makanannya aku yang bayar."

Bukannya pergi, laki-laki itu meraih tangan kananku. Dia mengusap pelan tanganku sambil tertawa kecil. Memang ada yang lucu? Perasaan aku tidak sedang melucu bahkan ekspresiku biasa saja. Tidak tidak, raut wajahku sedikit takut. Takut dia meninggalkanku karena dia adalah cinta pertamaku.

"Siapa yang mau ninggalin kamu, sih? Nggak apa-apa, kok, Len. Masih ada waktu buat ngubah semuanya. Kamu mau berubah, 'kan? Yuk, sama-sama."

Aku mengangguk percaya dengan perkataannya. Mungkin aku terlalu takut dia pergi, hingga lupa jika dia adalah laki-laki yang berbeda. Mulai dari pertemuan pertama hingga saat ini, dia terlihat lucu sekali.

"Pulang, yuk, Len. Kamu pasti capek, 'kan?" tanyanya dengan nada perhatian seperti biasa.

Aku menggeleng. "Nggak mau pulang. Lebih capek di rumah, capek makan hati."

Zafran berdiri tanpa mengatakan apa-apa. Aku memandangnya dengan satu alis yang naik. Selalu saja melakukan apa pun tanya memberi tahuku terlebih dahulu. Aku jadi penasaran. Zafran menghampiri meja kasir. Kulihat raut wajah Zafran seperti orang sedang kesusahan, lain halnya dengan kasir yang menatapnya tidak suka.

Lima menit kemudian, Zafran menghampiriku dengan tawa yang cukup keras hingga beberapa pelanggan memperhatikannya sambil berbisik. Dia menyatukan piringku dan piringnya, lalu beralih ke gelas yang isinya masih tersisa setengah. Dia memindahkan semua pesanan kami ke nampan yang entah sejak kapan berada di tangannya.

Aku menautkan alis bingung dengan perbuatan yang berubah drastis. "Ngapain, sih, Zaf? Ini bukan kerjaan kamu."

Dia terkekeh pelan, lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Katanya nggak mau pulang, ya udah kita nyuci piring aja di sini. Tadi aku bilang kalau dompet aku ketinggalan, jadi nggak punya duit buat bayar. Gimana? Kamu mau, 'kan? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa. Kamu ngelihat aku nyuci piring aja."

Lagi-lagi dia mengakhiri ucapannya dengan terkekeh, lalu menjauhkan bibirnya dari telingaku. Wajahnya terlihat begitu jahil dengan ide yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

Aku berpikir sejenak, lalu menjentikkan jariku. "Aku mau ikutan nyuci piring, tapi nggak tau caranya. Ajarin, dong, Zaf." Aku menyatukan kedua tanganku, lalu mengedipkan sebelah mataku.

Zafran mengacak rambutku gemas. "Ish, nggak boleh kedip-kedip gitu. Centil, Len. Siapa yang ngajarin coba?" tanya Zafran dengan nada tidak suka.

Aku beranjak, lalu menarik pelan tangan Zafran agar cepat berjalan ke arah dapur. Zafran yang mengerti maksudku membawa nampan, lalu membawaku ke dapur. Sesampainya di sana, ada banyak sekali piring dan gelas yang kotor. Aku sampai tertegun melihatnya. Mungkin karena suasana kafe yang selalu ramai pengunjung.

Zafran meletakkan nampan yang tadinya dia bawa. Dia mengambil sabun pencuci piring yang berada di samping tangannya. Tangannya bergerak mencuci satu per satu gelas, lalu beralih mencuci piring yang jumlahnya lebih sedikit daripada gelas.

Aku menepuk bahunya pelan. Dia menoleh, melihat wajahku yang kesal. Aku mengerucutkan bibir sebagai pertanda tidak baik-baik saja. "Zaf! Katanya tadi mau ngajarin, sekarang udah hampir selesai."

Dia mencuci tangannya menggunakan air bersih, lalu meraih tangan kananku. Tangan kirinya mengambil salah satu piring dan memindahkannya ke tanganku. "Caranya itu gini Len, kamu bersihin dulu bekas makanannya terus kamu bilas dikit pakai air bersih. Habis itu, kamu gosok deh pakai spons ini, Len. Mudah, 'kan?"

Aku mengangguk mengerti, lalu mencobanya sendiri. Tidak terlalu sulit, namun baru lima piring yang kucuci tiba-tiba tanganku terasa gatal. Segera kubilas dengan air mengalir, aku mengernyit melihat kondisi tanganku yang sudah berubah warna menjadi merah.

Zafran meraih tanganku, lalu meniupnya pelan. "Tuh, 'kan. Kamu nggak biasa kerja kayak gini, alergi. Orang kaya mana bisa kerja Len, apalagi nyuci piring kayak gini."

Aku menarik tanganku. Dua detik kemudian aku berkacak pinggang. "Diem, Zaf. Aku nggak alergi. Jangan ngatain kamu," kataku dengan tatapan sinis yang kubuat-buat. Tentu saja aku tidak marah dengannya, apa yang dikatakannya adalah fakta.

Zafran terbahak melihat raut wajahku. Aku memilih melanjutkan aktivitasku yang sempat terhenti. Zafran juga ikut membantuku, hingga satu jam ke depan semuanya telah selesai kami lakukan. Hanya tersisa satu piring yang tiba-tiba saja terlepas dari genggamanku. Suara piring pecah tentu terdengar keras.

"Ya ampun! Kalian membuat kerugian besar! Tahunya makan saja, lalu memecahkan piring. Kalian tidak ikhlas, ya?"

Aku memutar bola mataku malas. Mendengar ocehannya membuat telingaku panas.

"Maaf, ya, Bu. Pacar saya nggak sengaja. Jadi, kami harus ngelakuin apa biar dimaafin?" tanya Zafran nada suara rendah.

"Berlutut di kaki saya sekarang! Lagian bekerja saja kalian tidak becus! Hanya merugikan saja!"

Suaranya membuatku mengusap kedua telingaku. Kulihat Zafran yang berjalan menghampirinya. Aku mengikuti langkahnya, lebih tepatnya menghentikan langkah Zafran.

"Jangan, Zaf. Ngapain, sih?"

"Minta maaf, Len."

Aku menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak setuju. "Nggak usah, tunggu di sini."

Aku berjalan lebih dulu menghampiri sang pemilik kafe yang gayanya setinggi langit. Kafenya bagus bahkan sangat bagus, tapi pemiliknya tidak memiliki etika.

Aku mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari saku seragamku. Kuberikan ke tangannya dengan kasar, kulihat raut wajahnya yang terkejut. "Jangan sepelein orang lain cuma karena nominal."

-💃-

Heyyo update lagi nih geng. Yo yo kasih tau kalau ada typo dan kesalahan lainnya huee. 😭

Vote & komen ditunggu ❤
Kritik & saran lebih ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now