Another - 23

54 10 10
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Zafran menatap lurus ke arah Alena yang juga menatapnya menunggu jawaban. Namun, Zafran masih diam karena merasa tidak perlu menjawabnya.

"Kamu mau naik kursi roda keliling rumah sakit?" tanyanya seraya beranjak mengisyaratkan dia akan menggendongku, lalu mendudukkan di tempat yang sangat kubenci.

Aku menggeleng. Tentu saja aku tahu maksudnya untuk menghindari pertanyaanku. "Aku butuh jawaban, Zaf."

Dia mengangkat tubuhku ke arah kursi roda. Sebenarnya punggungku juga sudah letih terlalu lama terbaring di brankar, tapi apa boleh buat? Tidak ada orang yang peduli denganku. Aku jadi bertanya-tanya seperti apa kehidupanku sebelum kecelakaan besar itu terjadi.

"Makasih," ujarku seraya menengadah, lalu tersenyum tipis yang dibalasnya dengan senyuman lebar. Meneduhkan sekaligus menghangatkan.

Dia mendorong kursi rodaku, seperti ucapannya yang mengatakan ingin mengajakku berkeliling. Sepuluh menit terlewati dengan penuh keheningan. Baik dia ataupun aku sama-sama bungkam.

Kursi rodaku berhenti tepat di taman. Ada beberapa pengunjung yang juga menikmati udara segar di sini. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Embusan angin menerpa kulit, menyisakan sejuk.

Dia berlutut dengan tangan kanan yang memegang kursi roda. Ditatapnya aku beberapa detik, lalu mengembuskan napas perlahan. "Len, kamu masih ragu sama aku, ya?" tanyanya dengan nada sedikit kecewa.

Aku menunduk. Perasaanku tidak karuan apalagi setelah mendengar pertanyaannya tadi.

"Kita emang belum pacaran, Len. Aku sayang sama kamu apa adanya. Emang kenapa kalau kamu pakai kursi roda? Emang kursi roda kamu nyusahin orang lain? Ngerugiin orang lain? Nggak, 'kan?"

Aku menunduk semakin dalam. Isak tangisku sebentar lagi akan keluar. Ucapannya mengingatkanku kembali pada masa sekarang, masa di mana aku harus menerima takdir mengalami kelumpuhan.

Dia beranjak, melangkah beberapa langlah ke depan hingga menyisakan jarak beberapa meter di antara kami.

"Justru yang buat aku kecewa adalah karena kamu hilang semangat, Len. Kamu kayak orang yang nggak bersyukur masih dikasih umur yang panjang sama Tuhan. Kamu lihat ke sekeliling, Len."

Aku mendengarkannya serius. Terdengar beberapa kali embusan napas darinya. Aku jadi merasa bersalah. Setiap kata yang diucapkan Zafran tadi sepenuhnya benar.

"Nggak usah jauh-jauh, di rumah sakit ini ada banyak banget yang kondisinya jauh lebih parah dari kamu. Kamu tau apa yang mereka lakuin, Len? Sama, kok, kayak kamu. Mereka juga sedih, tapi nggak berlarut-larut kayak kamu."

Dia berbalik, menatapku sekilas dengan raut wajah kecewa. Matanya sedikit bengkak, rambutnya acak-acakan seolah sedang frustasi, dan buliran keringat di pelipisnya. Begitu tidak pedulinya aku dengan kondisi seseorang yang begitu perhatian padaku.

"Kalau kamu mau nyalahin takdir, marah sama Tuhan, dan kayak nggak ada semangat hidup. Maaf, aku nyerah. Aku nyerah perjuangin orang yang selalu berlebihan ngadepin sesuatu. Karena apa? Jangankan percaya sama aku, bahkan kamu aja nggak yakin sama kebesaran Tuhan," ucapnya lagi, lalu melangkah pergi meninggalkanku.

Rasa bersalah kian membesar. Ucapannya seolah menamparku pada kenyataan. Dia benar, aku seperti orang yang tidak percaya pada keajaiban-keajaiban yang Tuhan punya.

Tepat di langkah kakinya yang kelima, dia berbalik. "Jangan lupa makan siang!" Teriakannya yang cukup keras yang tentu saja menarik perhatian orang-orang yang berada di taman rumah sakit. Beberapa ada yang tersenyum karena menganggap kami adalah sepasang kekasih yang bahagia, padahal tidak seperti itu sebenarnya.

Another YouWhere stories live. Discover now