Another - 8

49 17 19
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Menjauh adalah bagian dari menjaga. Menjaga perasaan, misalnya.

***

Bel pulang sudah terdengar nyaring satu jam yang lalu. Lain halnya dengan Amara yang sudah pulang tepat di menit kelima setelah bel mengganggu pendengaranku. Lain halnya dengan aku yang masih setia duduk di taman belakang sekolah. Jika ditanya mengapa aku tidak langsung pulang ke rumah, pasti kalian juga sudah tahu alasannya.

Kejadian yang kulihat kemarin tentu memenuhi ruang dalam pikiranku. Berkali-kali kucoba menepisnya, namun selalu gagal. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku benar-benar merasa sendiri. Aku tidak berbeda dengan orang lain, aku masih menjadikan orangtuaku sebagai motivasiku dalam hal apa pun. Tapi setelah kejadian kemarin, aku tidak tahu harus menempatkan mereka apa dalam hidupku.

Seseorang tiba-tiba mendekapku begitu kencang saat air mataku lagi dan lagi jatuh membasahi pipi. Aku tidak tahu dia siapa, yang pasti dia dapat ketenangan. Tangannya mengusap kepalaku. Aku masih diam dalam dekapannya, untuk kali ini aku tidak peduli dia siapa.

Dua menit sudah terlewati dengan keheningan. Hanya suara embusan napas yang terdengar. Aku melepaskan dekapannya, lalu menatap orang yang berada di sampingku. "Maaf, nggak sengaja," ujarku singkat, kemudian menggunakan ranselku dan bersiap pergi dari tempat ini.

Dia menahan pergelangan tanganku. Aku menatapnya, sedangkan dia membalas tatapanku dengan menggeleng. "Kalau udah nyaman di sini, pasti bakalan susah nyari tempat lain. Apa pun itu, semua juga butuh proses."

"Maksudnya?" tanyaku tidak mengerti ucapannya.

Dia ikut beranjak dan menuntunku agar kembali duduk. "Kalau kamu nggak suka aku di sini, setidaknya biarin aku yang pergi. Kalau kamu nggak suka, kamu harus ungkapin. Segala sesuatu nggak bakalan pernah selesai dengan pergi."

"Emang hidup selalu nggak adil, ya? Tuhan udah ngambil nenek terus sekarang aku harus relain mama sama papa gitu? Dari kecil aku udah nggak pernah ngerasain yang namanya kasih sayang orangtua dan sekarang aku juga harus rela jalanin hidup ini tanpa kasih sayang dari mereka?" Aku menepuk bibirku singkat saat menyadari sudah bercerita dengan orang asing.

"Rahasia kamu aman, kok. Aku nggak tau mau respon apa. Aku cuma bisa bilang, tetap bersyukur sama apa yang kamu miliki. Apa yang kamu miliki sekarang, nggak semua orang punya, Len."

Kudengar dia mengembuskan napasnya. Ada sedikit kekecewaan dalam setiap kata yang dia ucapkan. Dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya dengan mengingat orangtuanya yang sudah tiada, namun tanpa sadar dia juga telah memberikan peluang untuk tahu tentang hidupnya.

"Kamu masih punya orangtua lengkap, beda sama aku yang udah nggak punya mereka. Mereka mungkin nggak bisa luangin waktu buat nunjukkin kalau mereka sayang sama kamu, tapi kamu masih bisa bersyukur karena sampai hari ini kamu masih dikasih kesempatan lihat mereka bernapas dan ngelakuin hal lainnya."

Aku mengangguk setuju dengan ucapan Kak Zafran baru saja. "Makasih udah buka pikiran aku, Kak."

"Nggak perlu makasih karena kita bakalan jalanin hari-hari berikutnya bareng, Len. Aku lagi nungguin kamu nerima aku hadir di hidup kamu."

Tanganku sibuk dengan isi ranselku karena sedari tadi barang yang kucari tidak kunjung kutemukan. Aku tidak mengabaikan Kak Zafran sama sekali, ucapannya masih dapat kucerna dengan baik. Aku tersenyum tipis saat mendapatkan karet rambut berwarna biru muda dari dalam ransel.

Dia menoleh, lalu menarik pelan tanganku seakan-akan aku ini hewan peliharaan. Aku mengikutinya dari belakang, sesekali kuhentakkan kakiku karena kesal.

Sepeda motor yang sudah sepuluh menit menyusuri jalanan kota kini berhenti di salah satu toko yang menjual baju dan perlengkapan salat. Aku turun walaupun tidak mengerti apa tujuan dari perbuatannya.

Aku balas menatap Kak Zafran yang juga menatapku. Dia menatapku intens dari kepala hingga kaki. Kuangkat sebelah alisku tanda bertanya. Jika sejak pertemuan pertama aku sering mengabaikannya, maka sekarang bertolak belakang. Dia melangkahkan kakinya masuk tanpa mengajakku seperti biasanya. Tanpa berpikir panjang, aku mengikutinya dari belakang.

Kak Zafran menghentikan langkahnya, lalu sibuk memilih mukena. Aku mengeluarkan ponselku karena merasa bosan. Sudah lima menit menunggu, namun dia belum juga menemukan mukena yang dirasa cocok. Aku menebak itu mukena untuk ibu yang mengurus panti atau anak-anak panti.

Dia memilih mukena berwarna biru muda, lalu melangkahkan kakinya di tempat pakaian wanita. Aku memasukkan ponselku ke saku seragam dan kembali mengikutinya seperti bayang-bayang. Kulihat dia sudah menemukan yang dicari sebelum aku berdiri di sampingnya.

"Kamu duduk diam di sini. Biar aku bayar dulu," ucapnya dengan tergesa-gesa menuju kasir.

Aku menurut, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru toko ini. Perpaduan warna yang indah menjadikan toko ini sangat menenangkan. Selain itu, ukurannya yang cukup besar dan diberi AC menjadi daya tarik kedua karena menciptakan rasa nyaman ketika berbelanja di sini.

Kak Zafran menyodorkan paper bag berwarna cokelat, sedangkan aku menautkan alisku bingung. "Pakai bajunya. Habis ini kita salat berjamaah di masjid. Kamu bakal ditatap aneh kalau pakai baju sependek itu."

Aku mengangguk. Ada perasaan aneh yang menjalar. Aku masuk ke ruang ganti dan memakai baju yang baru saja dia beli. Aku tidak begitu suka karena tidak terbiasa menggunakannya, tapi tidak masalah. Dia sudah berniat baik dan mengarahkanku ke jalan yang benar.

Kami memutuskan untuk berjalan kaki karena jarak toko dan masjid yang tidak begitu jauh. Aku juga meninggalkan tasku di sepeda motornya karena berat dan nantinya akan menyusahkanku.

"Kamu cantik pakai baju kayak gini," kata Kak Zafran dengan senyuman manisnya.

Aku terkekeh. "Makasih dan makasih juga untuk mukena sama bajunya. Aku jarang banget salat wajib kayak gini."

"Nggak apa-apa, sekarang udah ada aku yang nemanin kamu." Ucapannya terdengar sederhana, namun sangat bermakna bagi orang sepertiku. Mungkin hidup di panti asuhan yang menjadikannya seperti ini. Aku tidak perlu meragukannya lagi, keluarganya yang lain adalah golongan orang kaya. Tapi, dia lebih memilih hidup di panti dengan alasan agar tidak menyusahkan dan memiliki teman.

Aku tidak membalasnya lagi karena sudah tiba di masjid dan kurasa tidak perlu ditanggapi.

"Kamu jalan duluan, ya, Len. Ambil wudhu dulu."

Aku mengangguk dan memegang erat mukena yang sedari tadi kugenggam. Rasanya senang sekali berkenalan dan dekat dengan orang baik seperti dia. Dia sudah mengajarkanku satu hal besar hari ini.

Ketika aku bersedih dengan kondisi keluargaku, maka dia datang dan meyakinkanku bahwa masih ada orang lain yang jauh lebih terpuruk dariku. Dia juga mengajakku untuk salat, namun tidak hanya sebatas itu.

Dia baik banget.

-💃-

Heyyo geng, maapkeun semalem nggak update.😢

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now