Another - 12

57 16 19
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Bel berbunyi nyaring, aku dan Amara tentunya langsung berjalan menuju kantin. Aku yang orangnya tidak terlalu suka makan, sedangkan Amara memiliki perut yang dapat menampung makanan dalam jumlah yang banyak.

Amara memegang tanganku seolah-olah memberi isyarat untuk berhenti. Tatapannya tertuju pada koridor kelas dua belas. Aku hanya diam, ah tidak maksudnya aku tidak mengerti apa yang dimaksud Amara. Aku juga tidak terlalu peduli dengan apa yang Amara lihat.

Amara mendengkus ketika menoleh ke arahku, sedangkan aku sibuk memperhatikan ke arah yang lain. "Len! Ish! Kamu nggak peka banget, sih. Itu tu di sana, coba lihat."

Amara menunjuk seorang laki-laki yang tengah duduk di koridor. Aku ikut melihatnya, lalu mengedikkan bahu karena tidak dapat melihatnya dengan jelas. Amara memukul pelan keningnya, lalu menarik tanganku agar berjalan lebih cepat. Kantin yang seharusnya berada di kanan, dia lewati sambil sesekali menghentakkan kaki. Mungkin dia kesal dengan aku yang harus kebingungan di saat yang tidak tepat.

Aku menatap wajah Amara yang terlihat kesal, lalu terkekeh. Memang ini yang kusuka. Melihat wajah kesal dan sedikit kemerahan dari wajahnya, terlihat sangat lucu. Dia menoleh, lebih tepatnya memelotot. Aku buru-buru mengedarkan pandangan agar lolos dari tatapan mautnya.

"Cepatan jalan, Len. Drama mulu."

Aku membalasnya dengan anggukan walau sebenarnya aku tidak setuju dengan ucapannya yang mengatakan aku bermain drama. Untuk apa memainkan drama di depannya? Tidak bermanfaat dan tidak menambah nilai Bahasa Indonesiaku. Aku mempercepat langkahku karena kulihat Amara sudah berjalan cukup jauh di depanku.

Entah aku yang terlalu takut berjalan sendirian atau karena fokusku entah ke mana. Aku menabrak tubuh Amara hingga gadis itu terdorong cukup jauh. Aku terkekeh, namun gadis itu hanya memutar bola matanya malas tanda tidak ingin bercanda. Tatapanku tertuju pada laki-laki yang selalu kunantikan kehadirannya. Dia tersenyum tipis dengan raut wajah khawatirnya. Aku tidak tahu dia khawatir karena apa.

"Ngapain?" tanya Amara tanpa basa-basi. Zafran menautkan kedua alisnya sebagai isyarat tidak mengerti. Telunjuk Amara menunjuk gadis yang duduk di bangku koridor, ah lebih tepatnya mereka duduk berdua tadinya, tapi setelah kehadiran kami Zafran mengubah posisinya menjadi berdiri.

"Duduk. Ngapain lagi emang?" balas Zafran yang sebenarnya tidak memberikan jawaban sama sekali.

Aku mengembuskan napas. "Maksudnya ngapain duduk berdua? Masih banyak tempat lain, kenapa harus berdua?" tanyaku dengan nada menyindir. Amara mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar pertanyaanku.

"Ya ampun, kamu cemburu?" Kudengar tawanya yang begitu keras. Seakan-akan aku sedang mengikuti ajang komedi. Aku memutar bola mataku malas, lalu memukul tangannya agar dia menghentikan tawanya yang menganggu pendengaranku dan orang lain.

Aku mengabaikan Zafran yang sepertinya tidak mengerti jika aku sedang kesal. Aku melangkahkan kakiku, mendekati gadis yang wajahnya tidak asing. Bukan, sepertinya aku pernah bertemu dan berbicara dengannya. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Dalam hitungan detik, telunjukku menunjuk tepat di wajahnya yang sedari tadi menunduk memainkan ponsel.

"Heh! Masih anak baru jangan belagu, deh!" Nada suaraku meninggi tanpa kusadari. Tanganku juga menunjukkan bahwa aku benar-benar marah, tapi yang kurasakan sebenarnya tidak begitu. Awalnya aku hanya kesal, tidak marah seperti ini.

Napasku memburu, aku menarik kerah bajunya hingga gadis itu tersentak. "Tatap orang yang lagi ngomong! Sekolah biar apa? Biar tau mana yang benar dan mana yang salah, terus ngapain nggak mau natap aku?"

Amara mendekat ke arahku. Tangannya mengusap bahuku. "Jangan terlalu emosi. Kontrol emosi, Len. Ini bukan area kita, area kakak kelas. Aku percaya sama kamu," bisiknya, lalu mundur dua langkah.

Aku memperhatikan wajah anak baru yang sempat kutemui di koridor kala hujan waktu itu. Ternyata dia adalah siswi baru kelas sepuluh. Wajahnya begitu polos seakan tidak tahu apa-apa, namun ternyata tidak. Siswi baru kelas sepuluh untuk apa duduk di koridor kelas dua belas? Tidak sengaja lewat? Alasan yang begitu klasik.

Gadis itu berdiri, lalu menatap Zafran dan melangkahkan kakinya meninggalkanku dengan pertanyaan yang tidak dibalasnya sama sekali. Aku menahan tangannya cukup lama, gadis itu berbalik sambil memegang tangannya yang baru saja kulepas.

"Aduh, Kak. Maaf, kalau Kakak ngerasa aku gangguin pacar Kakak. Aku nggak bermaksud sama sekali, tadi aku cuma nanya-nanya tentang sekolah ini karena aku nggak tau harus nanya ke siapa, Kak."

Aku tersenyum miring sebelum membalas omong kosongnya. "Alasan klasik. Orang kayak kamu itu udah banyak jumlah spesiesnya di muka bumi. Kamu pikir aku percaya gitu aja? Kamu bilang nggak tau nanya ke siapa, kamu nggak punya teman, ya? Oh pantes, mana ada yang mau temanan sama orang yang suka godain pacar orang. Cih." Nada suaraku sedikit memelan karena menyadari ucapan Amara yang tentu saja benar.

Ponsel yang sedari tadi digenggamnya, kini dia masukkan ke saku seragamnya. "Bener, Kak. Aku nggak punya temen karena siswi baru di sini. Bukannya itu wajar, Kak?"

Aku mencoba mengumpulkan kesabaranku menghadapi gadis yang sok polos dan selalu membalas ucapanku dengan kata-kata yang sebenarnya tidak memberi dampak bagiku. "Wajar sih, tapi yang nggak wajar kalau kamu mainnya jauh banget sampai ke koridor kelas dua belas. Sengaja, ya? Mau nyari pacar? Gebetan? Atau apa? Mangsa yang bisa dimanfaatin?"

Zafran mendekat ke arahku, lalu mengusap rambutku. "Kamu jangan marah-marah ke dia. Dia itu ngggak salah, yang salah itu aku karena nyuruh dia duduk di sini. Aku juga nggak tau kalau kamu bakal semarah ini. Maafin aku, ya?"

Aku menepis tangannya kasar, lalu menatapnya tajam. "Kalau nggak tau, ya dicari tau. Bukannya malah duduk mesra-mesraan di sini."

Zafran menyentuh kedua bahuku dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajahnya saat bersamaku. "Jangan marah-marah. Maafin, ya?"

Lagi-lagi kutepis tangannya yang besar dan berat. Melihat wajahnya dan perlakuannya hanya membuatku semakin kesal. Dia hanya melakukan ini padaku atau pada semua gadis? Aku menggeleng-gelengkan kepala agar tidak berpikiran negatif lagi. Hubungan kami baru dimulai dan aku tidak ingin mengakhirinya secepat ini apalagi hanya karena masalah kecil yang seharusnya dapat kami atasi.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah gadis yang sedang meniup tangannya yang sedikit berwarna kemerahan. Aku mendekat ke arahnya, tatapan kami bertemu. "Jangan pikir kamu bisa lolos gitu aja. Lihat aja pas pulang sekolah dan hari-hari berikutnya, aku bakalan buat kamu nggak nyaman di sini. Jangan pernah main-main sama Alena."

"Maafin aku, Kak. Aku nggak bermaksud gitu."

-💃-

Heyyo geng. Udah berapa abad aku nggak update? Cih, pemalas, ya, Anda. 😂

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Another YouWhere stories live. Discover now