Teman yang Menyenangkan

171 31 18
                                    

Jangan mengharap atau mencari teman baik, tetapi, jadilah teman baik yang selalu dibutuhkan.

***

Menjadi anak SMP mungkin hal yang menyenangkan bagi beberapa siswa. Dengan begitu, mereka akan mendapat teman baru, sekolah baru, dan berbagai peralatan sekolah baru. Namun, tidak denganku. Aku masih tetap tidak bersemangat sekolah. Bagiku, sekolah seperti penjara.

Dari kelas satu SD, aku memang bullyable. Teman-temanku baik laki-laki atau perempuan, mereka selalu menjelek-jelekkanku. Bahkan, ada yang hampir membuatku terjatuh ke selokan waktu itu. Itu dikarenakan wajahku yang tak sama seperti mereka. Aku anak orang biasa saja. Tidak kaya, tidak juga miskin. Pas-pasan. Sehingga ketika mereka mempunyai barang mewah, hanya aku yang tidak. Jangankan beli barang mewah, untuk makan saja kadang pres.

Hal itu menjadikanku anak pendiam yang dijauhi teman. Mereka banyak yang tidak suka akhirnya membuatku menderita.

"Siapa yang buat kekacauan ini?"

"Binar, Buuuu!"

Setiap mereka melakukan kesalahan, mereka selalu menuduhku. Guru di sekolah juga menegur bahkan memarahiku. Entahlah, mereka kurang dewasa mungkin. Kurang memahami mana yang benar dan mana yang salah. Atau, ketika para guru itu tahu aku tidak bersalah, mereka akan tetap memarahiku. Karena takut apabila orang tua anak-anak nakal itu ke sekolah dan mengancam para guru.

Ah, tidak menyenangkan. Itu masih masa SD. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana masa SMP-ku nanti.

Ketika mendapat perlakuan seperti itu, aku hanya bisa diam dan mengalah. Mau melawan juga tidak ada gunanya. Mereka suka sekali mengata-ngataiku. Terutama fisik. Apa, sih, yang mereka pikirkan tentang fisik seseorang? Ah, manusia, ya, begitu.

"Noh, kujodohin sama Binar, kamu! Biar tambah cakep! Hahahaha ...."

"Ihh, virus kali, mending aku pergi aja. Kayak nggak ada anak lain."

"Hahahaha ...."

Puas sekali mereka menjadikanku kambing hitam. Selalu disalahkan, dicap paling buruk, dan tentu saja body shaming.

"Binar tu item, dekil, rambutnya kek Dora, giginya nggak rapi, kakinya noh, liat! Udah kayak bapak-bapak bajak sawah! Hahaha ...."

Tarik napas ... buang! Hatiku tak sesempit itu, kok. Meskipun sampai di rumah aku marah, nangis, menyalahkankan Ayah, Ibu, diriku sendiri, bahkan menyalahkan takdir. Akan tetapi, aku tetap sabar, tidak kuladeni omongan mereka. Meskipun tetap panas. Bayangkan, dari kelas satu SD sampai kelas enam. Dan sekarang akan tambah di SMP.

"Kamu sekolah, nggak, sih? Udah siang ini, lho, masih belum selesai juga? Mana belum sarapan, belum siapin makan siang, belum pakai sepatu. Ini, kan, hari pertama, masa mau telat? Kamu sudah SMP, bukan anak SD lagi! Ayo, belajar cepet!"

Ibu sudah berkacak pinggang di depan pintu kamar. Mendengus, aku segera melesat keluar, memakai sepatu, dan menyalim tangan Ibu dan Ayah.

"Enggak sarapan, kamu? Entar pingsan biar tahu rasa!" Kulirik sekilas makanan di atas meja yang sama sekali tak membuatku tertarik. Telur ceplok, nasi hangat, dan sayur kemarin.

"Ihh, Ibuk. Katanya udah siang, nggak sarapan aku." Aku segera berlari-lari kecil ke luar rumah.

"Ya Allah, minum dulu susunya, udah dibuatin juga! Itu Ibuk siapin makan siang juga udahan!"

Teriakan dari dalam rumah tak lagi kuhiraukan. Selalu seperti ini, aku tak suka makan. Tak selera. Terlebih, setelah membayangkan perlakuan teman-teman di sekolah nanti.

Kita tanpa Kata [END]Where stories live. Discover now