Pernyataan Maaf

67 14 2
                                    

Tak usah singgah kalau akhirnya berpindah!

***

"Yah, Binar boleh minta sesuatu, nggak?"

Dua hari setelah kekecewaanku kepada Bayu, aku mulai memberanikan diri meminta sesuatu kepada Ayah. Kurasa memang seharusnya aku minta agar tugas kelompok atau apa pun bisa diselesaikan dengan mudah.

Bukan. Tujuan utamaku meminta ponsel bukan untuk tugas kelompok. Melainkan karena aku iri dengan teman-teman yang bisa dengan mudah saling bertukar pesan. Tidak perlu bertemu.

Aku juga ingin menghubungi Bayu kalau ingin berangkat bersama.

"Minta apa, Bin?"

Ayah menurunkan kacamata baca dan koran yang dipegang. Pantatku kududukkan di kursi sebelahnya kemudian menarik napas.

"Binar pengen kayak temen-temen, kalau ada tugas kelompok bisa dibicarakan di ponsel. Binar pengen handphone, Yah."

Ayah tampak menghela napas, melihatku, kemudian meletakkan koran di atas meja. Aku masih menundukkan wajah, takut kalau tidak dibelikan.

"Memangnya mau bahas tugas kelompok apa?" tanya Ayah.

"Eee ... anu ...."

Bohong, aku tidak punya teman kelompok dari SD. Mungkin jika SMA ini, aku akan mencari teman. Memang susah sih, terlebih saat semua orang tak menyukaiku.

"Tugas kelompoknya dikumpulkan kapan? Hari inikah?"

Aku hendak mengangguk tapi itu akan menambah kebohonganku. Sehingga kuputuskan menggeleng.

"Kalau belum hari ini, bisa ditunda dulu kan, pembeliannya?"

"Ma--maksudnya Ayah mau belikan handphone buat Binar?" tanyaku antusias dan berjingkrak-jingkrak saat kulihat Ayah mengangguk mantap.

"Ayah belikan, tapi tidak hari ini. Katamu tugas kelompoknya belum dikumpul hari ini. Kapan? Masih lama, kan?"

"Eee ... sebenarnya maksud Binar biar nanti kalau ada tugas kelompok dadakan bisa dikerjakan segera. Hari ini belum ada tugas sih."

"Ya sudah, belajar yang rajin, nanti Ayah rundingkan dengan Ibuk."

"Yeayyy! Makasih ya, Ayah."

Aku memeluk erat tubuh Ayah. Meskipun umurku hampir 15 tahun, bagiku memeluk Ayah adalah kegiatan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.

Sore itu aku merasa senang karena setelah menanti lima hari kemudian, Ayah benar membelikanku handphone baru. Jelas saja aku langsung mencobanya untuk melakukan hal-hal. Mulai dari bermain game, mencoba fitur musik dan foto, serta mencoba untuk berkirim pesan. Meskipun handphone pencetan dengan merk Cross sih.

Rundingan Ayah dan Ibu kali ini benar-benar menyenangkan.

***

Terhitung seminggu setelah aku menunggu Bayu di bawah pohon bungur, anak laki-laki itu tidak menampakkan batang hidungnya. Dia sama sekali tak mengingatku, mungkin. Setiap hari di sekolah, kulihat dia sering bersama Jelita.

Seperti saat ini, aku melihat lagi-lagi Bayu tertawa bersama Jelita di sebuah gazebo.

Hendak kuhampiri saat Bayu terlihat sendirian, tetapi sesaat kemudian Jelita datang, mengganggu pendanganku. Mereka kembali tertawa, menceritakan sesuatu. Sepertinya bahagia sekali. Hingga rasanya mataku panas.

Mengapa tidak ada sedikit ingatan tentang aku? Apa pengaruh Jelita begitu kuat sehingga sosokku yang sudah tiga tahun terakhir bersama dapat tertutupi oleh wajah cantiknya?

Kita tanpa Kata [END]Where stories live. Discover now