Tepat di Depan Mata

76 8 2
                                    

Kini, kehadiranmu seperti paku berkarat. Tajam menusuk hati, sakit berhari-hari.

***

Kejadian demi kejadian berlalu begitu saja. Hingga akhirnya saat kami kelas 2 SMA, yaitu saat pemilihan jurusan, aku mendapat kelas 2 IPA 4. Kelas IPA terbawah, berkebalikan dengan Bayu.

Soal Bayu, hubungan kami semakin renggang. Terlebih saat Bayu mengklaim dirinya menjalani pendekatan dengan anak kelasku. Namanya Aisha, gadis berparas cantik dan berlesung pipit.

Hal itu cukup membuat hatiku seperti diiris. Aku yang selama ini suka padanya, malah Aisha yang berpacaran. Aku yang sering dekat dengannya, dengan Aisha dia jadian. Tikungan memang ada di mana-mana. Aku juga seperti merasa menjadi tokoh pembantu yang tak dibutuhkan dalam sebuah cerita. Ketika sang tokoh utama datang, semuanya akan diambil. Aku tidak akan mendapat peran dalam cerita ini lagi.

Pendekatan itu dilakukan melalui aku. Aku menjadi perantara hubungan mereka.

Bayu selalu menitipkan surat untuk Aisha padaku. Dan Aisha juga mulai mendekatiku. Mereka seperti tak punya dosa. Tidak merasa segan jika melibatkan aku yang notabenenya perempuan juga.

Seiring waktu aku mengetahui berbagai istilah yang dipakai anak remaja untuk beberapa kata. Seperti friendzone--ini kata Ning yang menyebut hubunganku dengan Bayu. Ada lagi baper atau singkatan dari bawa perasaan. Seperti dugaan Ning yang masih berhubungan dengan kata 'friendzone', aku bawa perasaan atas kedekatan dengan Bayu. Sehingga Bayu tak merasa sakit, sedangkan aku cemburu setiap Bayu dengan yang lain.

Itu karena aku yang baper dan Bayu tidak, katanya.

Hingga hari ini, selain dengan Ning, Aisha kini selalu mendekatiku dan mengajakku mengobrol. Kalian pasti sudah tahu topik pembicaraannya. Iya, Bayu. Siapa lagi?

Padahal mereka baru saja dekat seminggu terakhir, tetapi Aisha seakan ingin tahu semua tentang Bayu. Padahal aku, belum banyak tahu tentang Bayu dan keluarganya.

"Jadi, Bayu kalau makan gimana? Ada aturan khusus, nggak? Kan dia anak orang kaya. By the way kemarin aku lewat depan rumah dia, tapi pintunya ditutup. Besok kita ke sana, yuk. Tapi sama kamu, malu aku kalau sendiri."

Aisha masih mengoceh panjang lebar. Dia paling semangat kalau topiknya tentang Bayu. Misalnya datang ke rumah Bayu, membuatkan kue kacang, mengikuti cowok itu pergi, sampai mengajak Bayu sepulang sekolah. Itu semua Aisha lakukan denganku. Dan tentu saja setelah mereka bertemu, aku akan terabaikan. Miris.

Kejadian ini terjadi dua hari lalu saat hendak pulang bersama Bayu, Aisha menyela. Akhirnya kami bertiga ke toko buku. Sepedaku tidak akan muat tiga orang, alhasil aku tuntun saja. Perlahan, jalanku makin di belakang mereka. Bayu asyik sendiri bersama si cantik Aisha.

Pernah juga aku diajak Aisha ke kantin, dan kami bertemu Bayu. Kejadiannya sama persis. Aisha langsung menghampiri Bayu dan mereka mulai lupa denganku. Bahkan, Jelita saja sampai mencak-mencak tidak terima di belakang Bayu.

"Binar ih kok diam aja? Bantu kasih saran dong."

"Kalau saranku sih kamu hati-hati saja."

Aku berkata demikian dan langsung disenggol sikut Ning. Dia terlihat tidak suka dengan Aisha ini. Katanya, Aisha terlalu excited dan tidak peduli teman. Dia egois. Tetapi bagiku, apa salahnya membantu teman. "Ya harusnya lo lihat-lihat dong, teman mana yang mesti lo bantu! Ish, masa orang yang bikin lo sakit dan sedih harus lo bantu? Lo nggak cemburu apa mereka deket nempel kek ulat bulu gitu?"

Ning memang seperti itu. Suka menasehatiku meskipun dengan suara dan nada menghakimi. Semua yang dikatakannya benar, meskipun aku tidak mau mengakui. Aku terlalu polos, katanya. Dan iya, memang benar.

Kita tanpa Kata [END]Where stories live. Discover now