Dear Bayu

58 15 14
                                    

Tetap di posisi ini bisa? Aku telanjur nyaman.

***

Tak terasa, waktu terus berlalu hingga sekarang sudah saatnya masuk SMA. Jenjang yang katanya sangat berkesan.

Seperti biasa, aku dan Bayu sekolah di SMA yang sama, dan kelas yang tidak sama. Tentu saja, aku hanyalah sebongkah upil yang kebetulan diambil paksa dari hidung. Tidak seperti Bayu yang termasuk salah satu bintang di angkasa. Bersinar, terlihat menakjubkan.

Setelah sore itu saat kami ke bukit dan kembali pulang telat, kami bertemu lagi sekarang. Di depan rumahku dia berdiri dengan senyum manisnya. Wajah Bayu mengalami banyak perubahan. Mulai dari garis wajah, sampai beberapa jerawat yang tumbuh dan akhirnya menghilang begitu saja.

Aku mengeluarkan sepeda baru yang dibelikan Ayah beberapa minggu lalu setelah lebaran. Itu dikarenakan sepedaku rusak saat terakhir pulang dari bukit sore itu.

Saat itu kami kembali tergopoh seperti sebelumnya. Azan Magrib berkumandang tetapi kami masih berada di atas bukit itu berdua. Sehingga lagi-lagi kami pulang buru-buru. Tidak seperti sebelumnya yang terpeleset dan jatuh saat menuruni jalanan, kami malah terjatuh saat mengendarai sepeda.

"Bayu, pelan-pelan!" seruku cemas waktu itu.

"Udah pelan kok. Sepeda kamu agak susah. Kenapa, ya?"

Jalanan yang kami lewati berlubang, Bayu tidak melihatnya.

Bruk!

Beberapa menit kemudian kami terjatuh di lubang itu. Tangan kananku terasa sakit selama hampir seminggu, karena kami terjatuh ke kanan. Dan tubuh Bayu menindih tanganku.

Sepeda itu mengalami rusak berat karena memang sepeda lama. Bannya bocor, pantas saja susah dikendarai, dan tali rantainya putus. Benar-benar tidak bisa direparasi lagi. Akhirnya kami bawa pulang sepeda itu dan beberapa hari sebelum masuk sekolah, Ayah membelikanku sepeda baru.

Sehingga hari ini kami akan berboncengan dengan sepeda baru. Bukannya apa, sekolah kami tak terlalu jauh dan tak terlalu dekat. Nanggung kalau harus naik kendaraan umum. Kalau jalan kaki juga terlalu lama sampainya.

"Selamat pagi, Binar," sapa Bayu ramah. Entah mengapa perutku sudah berdisko mendengar sapaan itu, padahal baru saja sarapan.

"Pagi juga, Bayu. Sudah sarapan? Mau sarapan di sini?" tanyaku.

"Sudah kok. Kita langsung berangkat aja, nanti malah kesiangan."

Kami berangkat bersama, Bayu yang membonceng.

Tidak ada yang berbeda pagi ini dengan pagi ketika sekolah di SMP. Kami selalu melakukan upacara bendera setiap hari Senin. Dan hari ini, sebagai murid baru, selain menjalani upacara bendera, kami juga menjalani Masa Orientasi Siswa.

Setelah hari Sabtu kemarin juga masuk dan diberi arahan agar kami hari ini mengikuti ketentuan dari kakak kelas, semua siswa terlihat aneh. Aku meminta bantuan Satya menguncirkan rambutku sebanyak dua belas karena aku lahir di bulan ke-12. Beruntungnya adikku itu mau membantu, meskipun rewel sendiri. Beruntungnya juga tidak menggunakan tanggal lahir sebagai patokan. Kalau iya, mungkin kunciranku yang terbanyak. Tak lupa panci sebagai topi, dan papan nama dari kardus bekas ditulisi pakai arang.

Beruntung bagi laki-laki, hanya memakai topi kerucut dan papan nama dari kardus dengan tali warna-warni. Tidak perlu menguncir rambut sesuai bulan lahir. Namun, wajib bagi laki-laki untuk memotong rambutnya gundul.

Sehingga pagi ini kami sama-sama tertawa. Aku menertawai Bayu yang memakai topi kerucut, dan Bayu menertawaiku yang menguncir rambut sebanyak empat di sisi kanan, empat kunciran di tengah, dan empat kunciran di sisi kiri.

Kita tanpa Kata [END]Where stories live. Discover now