Saat Rindu Datang

77 14 2
                                    

Tak ingin dilupakan, tapi melupakan. Egois sekali.

***

" .... Aku pamit, selamat tinggal, jangan pernah cari aku lagi."

Air mataku merembes, tidak ada kata yang terucap dari bibir. Semuanya terasa hampa, hatiku seperti tak ada isinya lagi, kosong. Kalimat itu mampu meluluh lantakkan seluruh jiwa. Seakan, diriku ini hanya terdiri dari Bayu, dan ketika dia pergi, diriku akan hilang, pergi juga.

"Jadi Bayu ini bukan anaknya Mbak Bertha dan Pak Agung, ya?"

"Kalau gosipnya sih anak dari kakaknya Mbak Bertha. Tapi mereka udah nggak ada, yang ngurusi ya Mbak Bertha mau nggak mau. Kalau nggak salah dari mereka pindah ke sini, Mbak Bertha mulai mengurus Bayu."

Aku mendengarkan beberapa ibu-ibu yang sedang bergosip. Jadi ternyata Bayu bukan anak kandung, makanya dia berkata tentang ayahnya yang sudah menyiapkan kuliah di Oxford. Mengapa aku sebagai teman baru tahu sekarang?

"Emangnya Yunia sakit apa sih? Sampe harus berobat ke luar negeri."

"Apa, ya? Jantung lemah bukan sih?"

"Iya, benar. Bu Bertha nggak bisa biarin dia sendirian, pasti ke mana-mana ditemani."

Mengapa aku tak paham sama sekali? Jelita bahkan sudah mengerti dari pertama kali mereka kenal. Ah, aku kan hanya anak yang kebetulan berteman dengan Bayu.

Lihat, tidak sepertiku yang hanya bisa menatap semua kejadian dari balik pagar, Jelita sudah berdiri di antara mereka.

"Yunia, cepat sembuh, ya. Katanya mau main lagi sama Kak Jelita, jangan sakit terus. Semangat!"

Yang diajak bicara ada di dalam mobil.

Aku menghela napas, tak ada yang pantas kudapatakan sekali pun sebatas informasi mengenai keluarga Bayu.

Tubuhku yang terduduk di pinggir jalan dengan sepeda yang terjatuh ini menatap kepergian Bayu. Mobil Honda Jazz warna putih itu akhirnya dimasuki Bayu dan ayahnya lalu digiring kepergiannya oleh banyak tetangga.

Jelita juga menangis sesenggukan mengantar kepergian Bayu sekeluarga. Rumah ini akan dikosongkan sampai adayang mau membelinya lagi.

Banyak dari tetangga yang terharu. Ibu yang menyaksikan juga menyeka ujung mata. Bayu harus pergi dari kota ini, dari daerah kecil ini. Dia yang menjadi tokoh utama harus meninggalkan kami semua.

Rasanya baru kemarin dia datang dan aku terjaruh di pinggir jalan, sekarang harus terjatuh lagi dengan keadaan yang tak sama. Bayu pergi. Dia datang untuk pergi.

"Kue kacang," gumamku saat mengingat sesuatu. Aku kemarin membuat kue kacang untuk Wening yang memesan. Tetapi aku akan mengambilnya dan memberikan kepada Bayu sebagai oleh-oleh terakhir.

Dia pasti suka. Dia suka sekali kue kacang buatanku.

***

Tak lagi kupedulikan, aku meletakkan sepeda di dekat tukang ojek depan kompleks. Berkata menitipkan sepeda entah kepada siapa. Sekali pun hilang, aku tak masalah, sepeda itu sudah tiga tahun bertahan. Bayu pergi, sepertinya sepeda itu juga harus pergi.

Setelah memakai helm dengan bagus aku menyuruh abang ojek melajukan motor ke bandara. Aku tidak ingin menyesal nantinya. Kue ini harus sampai di tangan Bayu secepatnya agar dia bisa merasakan dan tahu kalau aku menyukainya dari lama. Tak lupa sepucuk surat yang kutulis asal, kumasukkan ke kotak kue.

"Cepat bang, cepat! Penting banget! Kalau sampe ketinggalan aku nggak mau bayar ojek! Cepat!"

Karena ancamanku tersebut, akhirnya bang ojek melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Kira-kira 80 km/h sehingga rasanya aku seperti melayang di udara.

Kita tanpa Kata [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora