Apa Aku Baik-baik Saja?

60 14 0
                                    

Tempat sampah saja lebih berharga, selalu dibersihkan ketika isinya sudah penuh. Kenapa aku tidak?

***

Hari ini aku benar seperti orang yang putus asa. Bayu tak lagi kupikirkan entah sudah berangkat sekolah atau belum. Jam sudah menunjukkan pukul 6.50 dan mengharuskanku berangkat saat ini juga kalau tidak mau mengulang kesalahan yang sama setahun yang lalu.

Entah kenapa cowok itu belum datang ke rumahku, juga tak mengirimiku pesan SMS atau BBM.

Beruntungnya saat aku lewat jalan besar yang bisa dilalui dengan cepat, aku bisa sampai di sekolah tepat waktu. Lampu lalu lintas berkonspirasi denganku hari ini.

"Fyuhh." Aku menghela napas lega saat gerbang belum ditutup. Kulihat pak Satpam menatapku datar, mungkinkah dia ingat kejadian waktu itu dengan Jelita?

Namun, seketika pandanganku memburam saat melihat senyuman seseorang yang kunantikan, tapi bukan untukku. Bayu tersenyum kepada Aisha, mereka terlihat bahagia sekali. Benarkah Bayu lupa padaku padahal setiap hari kami berangkat sekolah bersama? Sesusah itu mengabariku lewat SMS? Tidak punya pulsa?

Segera kuhampiri Bayu yang duduk berdekatan Aisha di gazebo halaman depan sekolah. Bel masuk pasti belum berbunyi makanya mereka masih santai.

Beberapa detik saat aku hendak mendekati mereka, dua orang itu sudah pergi dulu dari sana. Namun, aku tak akan membiarkan Bayu untuk kali ini. Segera kuikuti.

"Bayu!" panggilku tak terlalu keras. Namun, suaranya terdengar di koridor yang kami lewati.

Aisha lagi-lagi terlihat berwajah masam, tetapi kuabaikan.

"Pagi," sapa Bayu seperti biasa, ramah. Hal itu juga mampu membuat jiwa lunakku meronta-ronta. Aku tidak bisa menolak pesona Bayu yang mampu membuat hatiku meleleh seperti es batu direbus.

Fokus, Binar, fokus.

"Kamu bukannya harus ke rumahku dulu tadi?" Aku tidak berbasa-basi lagi. Mencoba tidak menatap wajahnya agar aku tidak kalah saat itu juga.

"Eh? Kamu menungguku? Bukannya aku sudah mengirimimu SMS? Kalau hari ini aku berangkat bersama Aisha. Pantas kamu baru datang, nungguin aku."

"Iya, aku menunggumu, paham? SMS-mu nggak masuk di handphone-ku." Aku tak peduli Aisha yang terus melirikku kesal karena kedekatan mereka kupisahkan. Aku berdiri di tengah-tengah mereka.

"Hah? Coba kucek, ya, barangkali pulsaku habis atau kenapa kok nggak masuk."

Beberapa saat Bayu melihat ponselnya lalu menggaruk pelan pelipisnya. Dia tersenyum tak enak padaku, ah, jelas kan, kalau bukan aku yang salah? Kalau yang dulu alasannya karena Jelita memaksa, sekarang karena SMS yang belum terkirim. Lalu apa lagi?

"Maaf, ya, aku nggak tahu kalau ternyata Handphone-ku mode pesawat. Kukira tadi sudah terkirim makanya langsung mengiyakan Aisha. Aku juga nggak ngecek lagi setelah sampai di sekolah."

Aku menghela napas panjang, berjalan mendahului mereka ke kelas. Guru-guru pengajar mulai memasuki kelas. Bel sudah berbunyi tadi. Secepatnya harus segera ke kelas daripada nanti dapat hukuman.

Namun, tidak semudah itu memarahi seseorang. Terlebih orang yang amat terkenal di sebuah lingkup tertentu.

***

Lagi-lagi aku berhadapan dengan geng pembuli. Apakah tidak ada manusia lain di sekolah ini yang mempunyai nasib sepertiku? Atau memang aku satu-satunya? Sehingga setiap orang yang menghampiriku selalu hendak melabrak.

Kita tanpa Kata [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora