Roda Kehidupan

87 15 3
                                    

Jangankan roda kehidupan, roda sepeda saja pasti kotor semua ketika dipakai di jalan becek. Buat apa malu?

***

Lonceng berbunyi menandakan waktunya pulang sekolah. Kulihat lagi ruang kelas yang perlahan kosong, menyisakan diriku dan seorang anak lakilaki kecil di dalamnya. Kembali, rasa kosong itu memenuhi rongga dada. Seperti ada salah satu organ tubuhku yang bolong.

Enam tahun bersama, tujuh tahun tak bertemu, membuatku merasa semakin rindu. Terlebih, saat terdapat seorang anak laki-laki bernama Bayu yang pintar, tampan, dan manis.

"Saya mengerjakan, Bu Guru," katanya. Aku menyuruhnya berhenti sebentar, menatapnya lekat-lekat, lalu tanpa sengaja air mataku luruh.

Wajahnya tak terlalu persis, tetapi memiliki kemiripan. Seperti orang yang pernah mengisi hariku selama SMP dan SMA dulu. Lagi dan lagi, aku berdoa semoga bisa bertemu dengannya suatu saat. Hanya ingin memberinya Box of Memories milikku dan sepucuk surat. Ingin kupandangi dari jauh, agar rinduku terobati.

Tanganku menyeka air mata yang ada di pipi. Segera aku membereskan buku-buku di meja, memasukkannya ke tas, beberapa kuletakkan di rak.

Menjadi guru TK tak semudah bayanganku. Harus bisa membentuk karakter yang menyenangkan dan disukai anak-anak. Selain itu, aku juga harus pandai menyelipkan permainan dalam setiap pelajaran. Agar tetap banyak peminatnya. Juga, tak lupa, aku mengajari mereka memerhatikan yang di depan.

Kakiku melangkah ke luar kelas. Kosong. Sama seperti hatiku yang belum lagi terisi. Tidak ada seorang pun di luar kelas, semua guru juga masih di kantor. Beberapa sudah pulang lebih dulu karena ada kegiatan.

Sebenarnya aku tidak punya kegiatan, tetapi aku teringat kalau hari ini rumah akan kedatangan tamu. Yang kata Ibu dan Ayah, tamu spesial. Ah, bagiku biasa saja. Aku sudah tahu siapa orangnya, tak perlu merasa 'wah' lagi.

Kini, aku tak perlu memakai sepeda untuk bepergian. Beberapa bulan lalu aku membeli motor dari hasil usahaku sendiri. Uang yang kutabung sedikit-sedikit sejak kuliah jurusan bahasa Indonesia.

Ayah dan Ibu tak perlu merasa bangga, umurku 25 tahun dan seharusnya menikah. Seharusnya, sebelum membeli motor, kata Ayah, aku mempersiapkan pernikahanku. Padahal, calon pun belum ada, waktu itu.

Akhirnya aku mendahulukan kebutuhan, daripada menikah. Dan ya ... tentu saja Ayah akan mencarikan seseorang sebagai pendamping hidupku.

Motor yang kukendarai melaju di jalanan dekat lapangan pohon bungur. Rumahku masih tetap di kompleks ini. Keadaannya masih sama, masih seindah dan sesejuk dulu. Bedanya, aku semakin merasa hampa saja.

Hingga ketika motorku memasuki pekarangan rumah, kulihat Satya yang duduk santai di sofa--terlihat dari luar rumah--menatapku dengan tatapan biasa, bibirnya bergerak-gerak. Dia selalu seperti itu, pandai bergaul dengan orang lain. Menyapa, mengajak berbicara orang asing hingga akhirnya akrab.

Bahkan dia pernah menghiburku saat sedang tidak mood. Padahal nyatanya Ayah dan Ibu tak akan bisa. Dia juga yang selalu kuajak ke mana-mana. Tingginya yang beberapa cm lebih dariku, membuat kami terlihat seperti couple. Banyak yang bertanya.

"Asalamualaikum," salamku memasuki rumah. Kulihat orang itu duduk di depan Satya, mereka asyik bercerita harus kuganggu.

"Waalaikumussalam," jawabnya serempak.

Ibu datang menggendong seorang anak kecil berumur dua tahun kurang. Anak itu melonjak-lonjak di gendongan, senang melihatku.

"Udah lama?" tanyaku, menatap orang itu.

Kita tanpa Kata [END]Where stories live. Discover now