Tertimpa Kesialan

66 17 11
                                    

Jangankan manusia, hewan saja suka lupa teman.

***

Keseharianku di bulan Ramadhan tak jauh beda dengan yang kulakukan Ramadhan sebelumnya. Yang membedakan hanyalah dulu, aku selalu merasa aneh dan tidak ada yang sudi ke langgar ketika aku yang mengaji. Mungkin hanya anak laki-laki yang dulu selalu bersikap netral. Sekarang, anak perempuan juga mulai mau ke langgar.

Buat apa kalau bukan ingin bertemu dengan Bayu? Haha, bahkan masih aku yang mendapat giliran mengaji agak lama. Sedangkan yang lain banyak duduk di luar, bercerita ria dengan Bayu.

Selalu seperti itu, mencari perhatian orang lain. Jangankan melirikku, melirik orang lain saja susah sekali. Begitu pun, Bayu selalu terlihat biasa saja dengan mereka. Tidak pernah anak itu mengeluh atau memilih pulang lebih dulu. Jawabannya masih sama ketika ditanya. "Aku lagi menemani Binar mengaji."

Beberapa kali aku tersenyum senang saat banyak yang bertanya dan dijawab seperti itu oleh Bayu. Banyak yang mengeluh, bahkan menggoda supaya dia yang ditemani oleh Bayu.

Hingga akhirnya ketika bulan Ramadhan berakhir, Idulfitri tiba, tak disangka Bayu menjadi orang pertama yang datang ke rumah. Dia meminta maaf pada kami sekeluarga setelah menyaksikan kami juga saling meminta maaf.

Bayu benar-benar seperti keluarga sendiri. Bahkan, kami baru saja pulang dari musala setelah salat Ied.

"Binar, aku minta maaf, ya kalau selama ini sikapku ke kamu kurang baik," ucapnya.

"Aku juga minta maaf, waktu itu aku ... tiba-tiba nggak mau temenan lagi sama kamu." Aku mengaku kalau sebenarnya waktu itu memang tidak mau berteman lagi dengan Bayu. Tetapi Bayu hanya mengangguk paham, tidak bertanya 'kenapa', atau pertanyaan lainnya.

"Ke tetangga, yuk!" ajaknya kemudian.

Aku yang masih hendak mencicipi kue kacang buatanku itu harus terhenti. Ide bagus sih ajakannya. Tetapi ... dia tidak apa-apakah ikut merayakan hari raya orang Islam?

"Kamu kenapa pengen ke tetangga?"

"Kan lebaran katanya untuk saling memaafkan, barangkali dosaku banyak ke tetangga sekitar."

Aku mengangguk, benar juga. Tidak ada salahnya untuk saling meminta maaf dan memaafkan.

"Tapi .... Buk, nanti ke makam jam berapa?" tanyaku pada Ibu yang masih di kamar. Mungkin sedang dandan atau membahas dengan Ayah agenda kami hari pertama Idulfitri.

Suara kerasku bahkan tak mengganggu aktivitas Satya dan Gala yang berebut kue kacang. Segera kurebut toples itu sebelum habis tandas dimakan dua kecurut ini.

"Ihh, ini buat Bayu. Kalian mah makan mulu," tegurku. Toples berisi kue kacang itu kuberikan pada Bayu agar dia makan. Lalu anak itu malah membagikannya lagi dengan Satya dan Gala. Mereka bertiga akhirnya berkerumun. Ih, Bayu ternyata sama saja. "Nanti kalian kena marah loh," ucapku lagi dengan nada kesal.

"Tanya apa, Bin?"

Ibu dari dalam kamar keluar dengan jubah panjang berwarna krem yang pas dan cocok di tubuh. Mematut diri sebentar pada kaca lemari.

Ibuku masih muda. Umurnya bahkan masih 38 tahun. Pandai memasak, mengatur keuangan, dan mengurus rumah. Sayangnya satu, Ibu suka berteriak-teriak. Apalagi dalam hal marah memarahiku. Hobi sekali dia.

"Nanti ke makam nenek jam berapa? Bayu mengajak ke tetangga, Buk."

"Kamu yang diajak?" Ibu berjalan mendekat, membenarkan posisi kaleng dan stoples berisi jajanan di meja.

Kita tanpa Kata [END]Where stories live. Discover now