Empty

73 13 3
                                    

Sepi adalah saat perasaan rindu datang di waktu tertentu, menciptakan ruang kosong pada hati.

***

Setelah kegiatan di rumah selesai, yaitu menyapu, mencuci piring, mencuci baju, mengepel lantai, dan lainnya, aku istirahat sebentar. Tetapi istirahatku tidak kugunakan untuk duduk atau tidur, melainkan bersepeda mengelilingi kompleks dan berakhir di lapangan.

Ya, sejauh aku pergi, tetap akan teringat kenangan itu. Kenangan manis yang hanya akan membuat hatiku sakit.

Aku duduk di bawah pohon yang biasanya menjadi senderan punggung kami berdua dulu. Pohon itu kebetulan hari ini berbunga. Mengingatkanku pada Bayu lagi. Ke mana perginya sekarang?

Dulu, dia selalu mengajakku bermain, tidak peduli sudah dimarahi orang tuanya. Membelikanku es krim, duduk berdua di sini, bercerita random, lalu berakhir bermain bola.

Sekarang, semua itu hampa. Tidak ada lagi Bayu di sini, entah sampai besok, lusa, atau seterusnya.

Bruk!

"Bodoh banget sih gue ini!"

Aku terkejut, seseorang datang dengan melemparkan sebuah tas berwarna pink keunguan. Tepat di sampingku, lalu duduk selonjor. Seolah aku sudah mengizinkannya di sini.

Tanpa mau bertanya, aku diam, menyingkur dari wajahnya. Malas sekali melihat kedatangan orang yang pernah membuliku dulu.

"Lo ada sepeda, kan? Pinjam dong, sepeda gue rusak tengah jalan. Mau pulang jadi bingung. Ini gara-gara nuruti keinginan Jelita tolol itu!"

Suaranya terdengar kesal, menyedekapkan tangan di dada, ikut bersender di batang pohon.

Aku menatapnya malas, lalu berpaling lagi. Jelas pasti ada maunya. Ketika dekat padahal awalnya tidak pernah akur. Lagi pula, sepertinya dia berniat mengerjaiku lagi, harus diwaspadai. Kejahatan bisa di mana saja dan dalam keadaan apa saja.

"Lo nggak percaya sama gue? Iya, gue emang mau ngerjain lo, tapi karena gue males, ya udah nggak jadi. Jelita yang nyuruh gue, itu karena dia nggak punya kegiatan. Dan karena temen barunya itu dia lupa sama gue. Heran, manusia gitu amat!"

Aku masih tak menghadap ke arahnya. Bukan karena tidak mau mendengar aduannya, melainkan karena ingatan tentang Bayu yang tidak pernah tahu aku dibuli memenuhi otak. Ingatanku terputar lagi sampai pada kenyataan bahwa semua kejadian bermula pada Bayu.

Aku dibuli karena Bayu, aku mendapat marah dari Ibu juga karena Bayu, yang membuatku kepikiran setiap hari juga Bayu.

"Lo masih nggak percaya, ya? Padahal gue pengen jadi temen lo." Chika menghela napas. "Gue jelasin deh. Jadi itu gue tadi disuruh ngasih kotak nggak jelas ini ke lo."

Akhirnya aku menoleh, diabaikan pasti tak menyenangkan. Sehingga dapat kulihat kotak berwarna hitam merah muda itu tersodor di hadapanku.

"Niatnya mau neror elo, padahal kalau dipikir sih lo nggak punya salah. Jelita aja yang kesenengan ngerjain elo. Gue malah jadi kacung dia, disuruh ke sana kemari ini itu."

Kotak itu kubuka karena penasaran dengan isinya. Aku masih belum bersuara sampai akhirnya mataku melotot, melihat sebuah boneka berdarah-darah disertai bau menjijikkan. Sehingga belum ada lima detik di tangan, kotak itu sudah kubuang. Mataku menatap Chika nyalang.

"Maksudnya apa nih?"

"Ya itu, dia nyuruh gue kasih kotak itu di depan rumah supaya lo takut. Tapi kalau dipikir, gue nggak pernah ada untung main sama Jelita. Ngabisin duit doang. Orang tua gue lagi kesusahan, malah gue recokin. Kalau bisa gue harusnya bantu mereka cari duit. Makanya sekarang gue mau tobat, Bin. Bantuin, ya?"

Kita tanpa Kata [END]Where stories live. Discover now