Cerita di Bawah Pohon

98 22 18
                                    

Pohon di pinggir jalan mempunyai kemiripan denganku. Hanya disinggahi saat merasa bosan dan lelah.

***

"Petok! Petok!"

Ayam itu masih saja berteriak mencari keberadaan kami.

Aku meletakkan jari telunjuk di depan bibir. Memberi tanda agar kami diam, tidak menimbulkan suara. Bayu hanya mengikutiku. Lalu, ketika dia hendak buka suara, aku segera membungkamnya dengan telapak tangan.

Bahkan, tak kami hiraukan nyamuk yang menempel di dahi atau di lengan.

Selama hampir lima menit, barulah ayam itu pergi. Kami berdua menghela napas lega. Akhirnya, kami terbebas dari ayam tak punya akhlak itu.

"Hahhhhh ... akhirnya."

Aku menyelonjorkan tubuh di tanah beralas daun pisang kering. Tidak peduli kotor atau penuh tanah. Bayu menatapku sekilas sebelum akhirnya mengikutiku.

"Kita tadi lewat mana?" gumamnya.

Mana, ya? Oh, sepertinya aku ingat. "Bayu, kamu capek?"

Beberapa kali kulihat anak itu menggaruk-garuk lengannya. Wajahnya juga banyak merah-merah. Aku menoleh, mendapati rumah semut merah itu sedang kami ganggu. Aku menepuk dahi.

"Astaga, ada semut!" seruku.

Kami mengecek tas masing-masing, menghilangkannya. Namun, bukannya menghilang, semut itu malah menjalar ke bagian tubuh. Bahkan tak jarang menggigit baik lengan maupun kaki.

"AAA!" Aku memekik saat semut itu menjalar di wajah.

"Di wajahmu!" Bayu menepisnya segera sebelum akhirnya ia juga mengaduh kesakitan karena digigit di bagian lengan.

Lengan yang digigit itu bentol-bentol, berwarna merah, dan yang jelas rasanya sakit. Aku segera menarik tangannya dan membawa keluar dari persembunyian. Semut itu masih mengerubung.

Kami berhenti dan mengibas-ngibas baju serta tas. Mengusir semut jahat, serta nyamuk yang juga berdenging.

Sial sekali kami hari ini. Dikejar ayam, digigit semut, juga nyamuk. Biasanya aku lewat jalan ini tidak seperti ini.

Akhirnya kami turun dari kebun itu, keluar dari gang sempit. Di depan jalan utama, kami mengendap-endap, barangkali ayam itu masih mengejar.

"Haha, kalian yang tadi dikejar Blorok?" tanya seseorang sembari memegang ayam yang tadi mengejar kami. Ah, nama ayam itu Blorok.

Mengangguk, paman itu meminta maaf lalu pergi dari hadapan kami. Aku segera mengambil sepedaku, mengendarainya dengan Bayu yang kusuruh berdiri di belakang dan memegangi pundakku.

"Binar, gatal banget, ya, gigitan semutnya. Lenganku merah-merah jadinya. Kamu biasanya lewat sini juga? Selalu begitukah ayamnya?"

"Aku biasa lewat sini, tapi tidak dikejar ayam, sih."

Sesampainya di depan rumahku, Bayu kuajak masuk dan duduk di teras. Tangannya masih menggaruk-garuk bagian yang gatal.

"Jangan digaruk-garuk dulu. Nanti malah yang ada tambah bintul, menjalar ke mana-mana." Aku masuk rumah dan mengambil minyak kayu putih. Mengoleskan minyak itu di lengan dan kakinya.

Tubuh Bayu malah gatalnya sampai punggung dan dada. Bingung, masa anak itu kusuruh buka baju? Tidak sopan sekali?

"Binar? Sama siapa, sih?" tanya Ibu, keluar dari rumah. "Ini kenapa? Nak, kenapa tubuhmu? Digigit semut, Bin?"

Aku mengangguk. Menghentikan aktivitas mengoles minyak kayu putih.

Ibu jongkok, mengamati lengan Bayu yang bintul merah. "Ini harusnya mandi dulu sebelum diolesi minyak kayu putih. Tapi mandinya jangan pakai air dingin, ya. Nanti setelah mandi diolesi minyak kayu putih seluruh yang terasa gatal. Jangan banyak-banyak, nanti malah panas."

Kita tanpa Kata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang