Jadi Sering Bersama

48 12 6
                                    

Bersama belum tentu bahagia, tapi kebersamaan bisa menciptakan rasa bahagia itu.

***

Pagi ini seperti dulu lagi, Bayu datang ke rumahku. Dia sudah rapi dengan seragamnya. Hari ini hari terakhir sekolah sebelum lusa masuk untuk ujian nasional. Persiapan sudah dari jauh hari tapi tetap saja butuh menghafal kembali.

Aku menyalimi tangan Ayah dan Ibu. Tumben mereka masih di rumah sehingga aku bisa berpamitan. Selain itu juga tadi sempat sarapan bersama. Sedangkan Bayu mengikutiku bersalaman lalu mengambil sepeda.

Tanganku melambai ke Ayah dan Ibu lalu melengang pergi di belokan depan. Kami masih sama, melewati jalan depan lapangan. Seperti sudah menjadi rutinitas ketika bersama. Kenangan di sana cukup menyenangkan meskipun hanya sebentar.

"Inget, nggak? Dulu kita di sini berdua jam dua belas siang, masih panas. Tolol banget memang, udah tahu masih panas, harusnya jam 3 biar panasnya reda." Bayu mengingat kembali kenangan itu.

Benar juga. Apakah sepenting itu sampai merelakan siang terik hanya untuk bercerita di bawah pohon menyejukkan ini? Dasar kami saat masih anak-anak.

Omong-omong, kukira Bayu lupa, ternyata dia tidak pernah lupa. Hanya saja, dia memang tidak pernah punya perasaan apa-apa ke aku. Sehingga ya, biasa saja meskipun dia ingat. Tidak ada yang istimewa, tidak sepertiku.

"Lucu, ya," sambungku. Aku tidak tersenyum atau terkekeh untuk saat ini. Tetapi menggigit bibir dan tersenyum pahit. Miris sekali.

"Itu kita dulu."

Aku tersenyum miris, dulu? Astaga, itu hanya masa lalu, Binar. Beruntung banget Bayu masih ingat, coba kalau lupa, mau kamu kenang dengan siapa? Ah, memang ya, jadi orang yang biasa saja tidak akan membuat orang ingat.

Menjadi yang mencolok dan nyentrik yang mungkin bisa dikenal orang dengan baik sampai tua. Tapi semua tergantung pada pribadi masing-masing. Apakah aku benar ingin jadi orang yang dikenal Bayu sampai tua makanya berubah sikap? Kalau iya, itu terlalu dipaksa. Karena sesuatu yang alami akan jauh lebih terkenang daripada terpaksa. Lagi pula, buat apa jadi orang seperti itu kalau nantinya membuat Bayu malah muak dan pergi?

Sepeda dikendarai Bayu menyeberang jalanan besar untuk sampai di gang-gang lainnya. Di gang ini juga dulu kami dikejar ayam sampai lari pontang-panting. Sampai saat ini juga masih menjadi tempat jual-beli ayam kampung.

Cerita kami hari ini tidak berakhir di situ saja. Kenangan lama akan kembali hari ini saat Bayu menceletuk pertanyaan, "Kangen duduk berdua di bawah pohon lagi, nggak? Nanti sepulang sekolah kita ke sana, ya, sekalian nostalgia. Atau cerita menyenangkan lainnya. Lucu-lucu gitu."

Aku berdeham, mengiyakan ajakan itu. Siapa yang tidak mau diajak Bayu? Siapa yang hendak menolak?

Hingga akhirnya sepulang sekolah, benar, kami berhenti di bawah pohon itu. Setelah meletakkan sepeda, Bayu langsung melemparkan tasnya di bawah batang pohon dan berbaring di sana. Aku segera mengikutinya. Seru sekali.

"Hari ini belum berbunga ya pohonnya." Kataku pelan. Aku membersihkan sebentar rumput-rumput untuk kududuki. Bayu sudah terlihat ayem sekali di tempatnya, membuatku berinsiatif seperti itu juga.

"Pohon bungur biasanya berbunga kalau lagi musim panas makanya hari ini belum karena berawan terus."

Aku manggut-manggut, mengapa aku bodoh sekali? Bukankah itu sudah jelas dan setiap tahun aku mengamati saking sukanya?

"By the way, cerita dong, masa kamu nggak pernah suka sama seseorang? Kalau aku udah pernah pacaran sama Aisha, kalau kamu?"

Aku tertegun, menelan ludah pelan, lalu menoleh ke arahnya yang ternyata juga menoleh ke aku. Mengapa pertanyaannya tiba-tiba sekali? Kalau aku berkata menyukainya, reaksi apa yang akan ditunjukkan padaku nanti? Apa dia senang, sedih, marah, tidak suka, dan pergi?

Kita tanpa Kata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang