Satu

1.9K 254 62
                                    

بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

  📗Takdir📗
-Mereka yang terlihat lebih beruntung, atau kita yang kurang bersyukur?-

🌹🌹🌹

Keahlian manusia hanya sebatas pandangan semata. Sementara kesalihan seseorang adalah untuk mengangkat derajatnya di mata Allah

🌹🌹🌹

Sebelum Darul Akhyar

Mataku tertuju kepada kedua orang tuaku yang tengah bergembira ria menyambut telfon dari Adrian--kakak lelakiku yang sekarang sedang melanjutkan studinya di Cairo.

Setiap kali mendapat kabar dari kak Adrian, mereka seolah melupakan dunia. Suara mama dan papa saling berhasutan keras saat berebut berbicara dengan kak Adrian.

Rasanya, aku ingin menangis sekuatnya. Mengadukan betapa sedihnya hati ini. Padahal aku juga berada di samping mereka. Adrian itu juga kakakku, aku juga ingin bercerita dengannya. Menanyakan kabarnya dan ingin tahu bagaimana bentuknya kota Cairo menurut versi kak Ian---panggilan sayangku untuknya.

Seandainya mama dan papa perhatian seperti itu padaku, setidaknya di saat aku sedang sakit seperti sekarang. Tapi, rasanya tidak. Mereka terlalu sibuk memikirkan anak lelaki yang sedang berada di negri penakluk itu.

Kembali aku fokus pada buku dan pulpen yang ada di tanganku. Kenapa aku tidak pernah diperhatikan seperti itu? Padahal aku jauh lebih kecil dari kak Adrian. Usia kami terpaut sepuluh tahun. Kadang, aku sering merasa rindu dengan kak Adrian, hanya dia yang dulu selalu perhatian denganku. Kami punya banyak cerita yang begitu manis.

"Hafshah, nanti kamu janji ya sama Papa, kamu harus seperti kakak kamu." suara Papa membuatku tersentak sebentar

"Hm..."

"Iya. Kemarin teman Mama itu udah nemuin pesantren yang cocok buat kamu. Kamu pasti akan betah di sana. Selain itu...,"

"Aku nggak mau, Ma!" Potongku cepat. Bagaimana mungkin aku bisa menetap di pondok seperti itu? Saat di rumah saja aku masih terasa jauh dengan kedua orang tuaku, bagaimana nanti? Bisa-bisa aku akan terlupakan.

"Hafshah, kamu itu nggak boleh bentak mama kamu seperti itu. Papa sama mama itu cuma mau yang terbaik untuk kamu. Kamu itu butuh bimbingan belajar yang lebih eksra. Di sana itu akan lebih banyak waktu untuk kamu belajar. Kamu lihat? Kakak kamu itu bisa kuliah ke Cairo, itu semua berkat kemauan dia yang selalu giat untuk belajar."

"Tapi aku nggak harus ke pesantren. Lagipula aku nggak berminat untuk masuk pesantren. Aku pingin nanti masuk SMA terus kalau kuliah aku pengen ngambil kedokteran. Bukannya itu lebih bagus, aku bisa jadi dokter untuk nyelamatin nyawa orang."

"Belum tentu kamu mampu, Hafshah. Jadi dokter itu tidak mudah."

"Kenapa enggak. Kalau aku belajar nanti juga bisa."

"Yang biayain kamu sekolah itu siapa? Mama sama papa Haf, kamu tahu, rida Allah itu terdapat pada keridaan orang tuanya. Percuma kalau kamu ngotot ke sana tapi mama sama papa nggak izinin kamu itu nggak akan berhasil."

Sungguh perkataan itu membuat kupingku terasa memanas. Aku meneggakkan tubuhku, melangkahkan kaki meninggalkan kedua orangtuaku.
Telingaku masih mampu mendengar suara mereka untuk menyuruhku berhenti, tapi aku tidak memedulikan teriakan mereka.

Di dalam kamar, aku menumpahkan segala kesedihan. Merasa tersisih tanpa mengerti alasannya. Apa karena aku tidak bisa membanggakan seperti kak Adrian? Apa karena bagi mereka anak lelaki jauh lebih berguna karena sampai kapan pun anak lelaki itu akan menjadi milik mereka, tidak seperti anak perempuan yang setelah menikah akan menjadi milik suaminya sepenuhnya.

Aku berdiri di balik pintu dengan dada yang sesak. Kedua kakiku melemas. Aku tidak pernah menemukan jawaban dari setiap kejanggalan di benakku. Terkadang aku merasa bukan seperti anak mereka. Tapi, pada kenyataannya aku memang terlahir dari rahim mama. Semua foto-fotoku dari bayi bahkan vidio kelahiranku pernah aku tonton. Lalu kenapa? Kenapa aku tidak diperlakukan istimewa seperti kak Adrian?

🌹🌹🌹

"Apa kita tidak terlalu keras pada Hafshah? Lebih baik kita ikuti saja kemauannya."

"Mas, aku ingin Hafshah itu menjadi perempuan yang terjaga. Kalau dia berada di pesantren, dia pasti akan lebih memahami agamanya sendiri. Hafshah itu cantik, kalau dia dibiarkan mengejar cita-citanya, aku khawatir itu akan gagal. Karena kita nggak tahu apa saja bahaya di luaran sana yang bisa membuat Hafshah goyah. Aku khawatir, kecantikannya itu akan membuat dia celaka."

"Tapi dia bisa menjaga diri, setidaknya dia tahu batas-batasannya, Ra."

"Tidak, Mas. Aku tetap tidak mengizinkan. Kamu lihat? Sekarang dia masih SMP, tapi yang datang ke sini untuk belajar itu kebanyakan laki-laki. Bagaimana kalau dia SMA?"

Tristan menganggukkan kepala mengerti, ia tahu bahwa Tiara sangat menyayangi Hafshah, walaupun menyampaikan dengan cara yang berbeda. Terlihat keras tapi memiliki makna untuk melindungi yang amat besar.

"Baiklah, aku akan membujuknya."

Tiara menganggukkan kepala. Sejak Hafshah kecil, terlalu banyak orang yang memuji kecantikannya, hal itu membuat Tiara merasa tidak nyaman, ia takut anak perempuannya itu akan menjadi sombong dengan pujian karena terlalu di 'wah' kan.

Karena dasarnya sifat kesombongan itu bisa menjadi bom bagi putrinya sendiri.

🌹🌹🌹

Aahhh nggak apa-apa lah pendek dulu. Biarin ibu dan anak itu selalu salah paham. Di sini masih terfokus pada masalalu Hafshah ya, sebelum Hafshah masuk ke pesantren. Nanti deh seseruannya 🌹🌹🌹

Jangan lupa, jangan bosen, jangan abaikan, Hafshah itu sensi jadi jangan tambah bikin sensi karena dia ngerasa gak diperhatiin sama teman-teman di sini 😂

Peluk jauhDimchellers_17

TAKDIRWhere stories live. Discover now