12. Maaf

623 135 34
                                    


بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

  📗Takdir📗
-Mereka yang terlihat lebih beruntung, atau kita yang kurang bersyukur

🌹🌹🌹

Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya.
-Ali Bin Abi Thalib-

🌹🌹🌹

Tiara menceritakan semua yabg sudah dikatakan Hafshah pada Tristan. Tiara hanya bisa menangis karena sudah terlanjur kecewa dan sakit hati. Terlebih Tristan, ini adahal satu hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Masadepan anak gadisnya seakan dipermainkan oleh laki-laki yang tak bertanggung jawab.

Selama ini, Hafshah sudah menutupi segala rahasia besar itu dengan batin yang mungkin sudah tak berbentuk lagi.

Tapi, bagaimanapun Tristan tidak bisa menerima begitu saja.

Adrian yang berada di sana juga tak kalah kagetnya. Di tangannya ada kalung berlian untuk sang adik. Kakung yang ia belikan dari hasil uangnya sendiri.

Bagi Adrian, adiknya sangat berharga. Sama seperti berlian. Sebab tidak semua orang yang bisa meniliki sang berlian. Butuh uang dan usaha untuk memilikinya. Namun pada kenyataannya, Hafshah mengecewakannya.

Seharusnya saat kedatangannya kembali ke rumah akan di hadapkan dalam situasi yang sangat bahagia. Tapi justru sekarang mendapat kabar tak sedap.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita, Hafshah!"

Hafshah hanya menundukkan kepala sambil menangis. Bahkah sedikitpun ia tidak berani mengangkat kepala untuk menatap sang ayah. Pandangan yang Tristan layangkan pada Hafshah membuat Hafshah tidak berkutik sama sekali.

"Papa dan mama melarang kamu berpacaran bukan tanpa alasan. Karena takut akan terjadi hal seperti ini. Kamu lihat apa yang terjadi pada diri kamu? Siapa yang dirugiin? Kamu sendiri!"

Tristan duduk di atas kursi sambil memegang kepala frustrasi. Ia pikir ia adalah seorang ayah yang paling berhasil karena mampu mendidik kedua anaknya sesuai keinginannya.

"Di mana dia sekarang?!"

Mulut Hafshah masih bungkam. Sungguh ia sangat ketakutan. Sebab baru kali ini ia meliat Tristan marah besar.

"Jawab Hafshah!" Suara Tristan naik beberapa oktaf. Tidak hanya mengejutkan Hafshah. Tiara dan Adrian ikut terkejut.

"A---aku nggak ta---tau, Pa..." kata Hafsha disela isakannya.

Mendengar jawaban Hafshah, amarah Tristan semakin mendidih. Ia mengangkat tangannya bersiap untuk menampar Hafshah. Tapi tangan itu hanya mengantung di udara, Tristan memandang tangannya yang bergetar lalu kembali menjatuhkannya.

Tristan memicingkan matanya. Berusaha meredam emosi untuk menghindari hal yang tak diinginkan.

"Papa kecewa Hafshah. Bisa-bisanya kamu menceritakan rahasia sebesar ini sama orang lain yang bahkan baru kamu kenal. Apa kamu nggak bisa mikir? Dia belum tentu bisa menjaga rahasia kamu itu. Saat kalian berselisih belum tentu dia mau menyimpan rahasia kamu itu! Sekarang kamu lihat? Teman-teman kamu di pesantren pasti sudah menghina kamu habis-habisan!"

"Maafin Hafshah, Pa." Hanya itu yang bisa Hafshah lakukan.

"Papa benar. Aku emang udah dihina dan dipermaluin. Aku malu, aku mau berhenti sekolah, aku nggak mau balik ke pesantren itu! Aku menci mereka, aku benci Meda yang nggak bisa jaga rahasia aku!"

"Terserah kamu! Percuma, marah kamu nggak akan ngebalikin keadaan. Kalau kamu nggak mau sekolah silakan!"

Tristan berlalu begitu saja. Tiara dan Adrian tidak bisa banyak bicara. Sebab masalah ini benar-benar sulit diselesaikan. Bahkan Adrian merasa kelakuan Hafshah sulit sekali untuk dimaafkan.

🌹🌹🌹

Di dalam kamar Hafshah hanya bisa menangis. Ternyata jujur tidak menyelesaikan maralah. Jujur tidak membuatnya jauh lebih baik. Justru sekarang ia.benar-benar kehilangan perhatian dari kedua orang tuanya.

Hafshah tahu, ia memang sudah melakukan kesalahan yang amat besar. Lalu apa salahnya ia mendapatkan bimbingan agar hidupnya tidak hancur lebur?

Setidaknya mereka bisa memberi nasehat yang baik, tapi justru mereka malah semakin membuat Hafshah tertekan.

"Jujur, kakak kecewa liat Hafshah kayak gini."

Hafshah menghapus air matanya. Melirik Adrian sebentar.

"Tapi kakak tau. Ini bukan kesalaham Hafshah sepenuhnya. Kakak tau apa yang kamu alami pasti sangat berat."

"Tapi aku udah terlanjur bikin mama sama papa kecewa, Kak."

"Iya, kakak tau. Tapi, keputusan kamu untuk berhenti sekolah itu nggak baik."

"Tapi aku nggak mungkin balik ke sana, Kak Ian. Mereka pasti bakal hina aku habis-habisan. Aku nggak bisa, Kak."

"Cacian mereka hanya sebatas di bibir. Hal itu tidak akan mengubah cara pandang Allah pada kamu, Haf. Karena Allah hanya mau melihat usaha kamu utuk menjadi lebih baik, bukan melihat kamu saat kamu sudah menjadi orang baik."

Adrian mengusap rambut Hafshah.

"Masa depan kamu masih panjang. Kamu harus kuliah dan menjadi perempuan yang pintar. Jadi kakak minta sama kamu, jangan berhenti sekolah, ya."

Hafshah hanya diam. Ia tahu hidup tanpa ilmu yang cukup tidak akan membuat hidupnya menjadi lebih baik. Tapi untuk saat ini ia benar-benar mamou untuk kembali ke pesatren.

Ia belum siap bertemu Meda. Jadi jahat berkedok wajah bidadari.

"Kakak sayang sama Hafshah. Kakak nggak mau karena laki-laki itu masadepan kamu benar-benar hancur. Ingat Hafshah. Masa muda untuk mendapatkan masa deoan cerah itu nggak akan terulang lagi. Jadi tetap gunain kesempatan kamu walau sesulit apa pun itu."

"Iya, Kak. Aku ngerti kok apa yang kakak pikirin. Cuma saat ini aku benar-benar waktu sendiri. Aku pengen nenangin pikiran aku."

Adrian menganggukkan kepala.

"Baiklah, sekarang kamu tenangin diri kamu dulu. Nanti kalau kamu siap kembali ke pesantren kakak akan ngaterin kamu. Kakak pastiin mereka nggak bakal berani hina kamu. Siapa pun itu.

"Makasih, Kak."

Adrian menganggukkan kepala sebagai respons.

🌹🌹🌹

Bersambung...

Maaf ini kemalaman lagi, semoga tetap ada yang masih nungguin. Makasih untuk yang sudah mampir :*

Peluk jauh Dimchellers_17

TAKDIRWhere stories live. Discover now