8. Nikmat yang nyata

929 150 90
                                    


بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

  📗Takdir📗
-Mereka yang terlihat lebih beruntung, atau kita yang kurang bersyukur?-

🌹🌹🌹

Aku tidak pernah tahu bagaimana lagi caranya aku berterimakasih pada Allah atas segala kenikmatan yang sudah ia berikan. Ternyata benar, kita harus menghargai apa yang sudah kita dapatkan agar kita bisa merasakan bahwa nikmat Allah itu benar-benar nyata adanya.

Bukan hanya sekadar merasa bahwa nikmat itu ada di saat kesenangan yang kita rasakan. Bahkan bisa buang angin saja itu sudah menjadi salah satu nikmat yang besar, sebab pencernaan kita masih tetap sehat dan terjaga.

Pernah membayangkan bagaimana proses ginjal di dalam tubuh? Bagaimana proses jantung, liver dan paru-paru. Jika salah satu organ itu rusak makan kerjanya pun tidak akan seimbang. Bahkan tidak sedikit orang untung menghabiskan jutaan hingga ratusan juta uang untuk mendapatkan kembali kesembuhan itu.

Aku pernah melihat pasien yang cuci darah saat di rumah sakit, aku baru mengetahui alat untuk mencuci darah itu lumayan berukuran besar. Ajaibnya ginjal kita yang kecil mampu melakukannya tugas setiap saat. Tanpa perlu mengeluarkan biaya apa pun.

Mendapatkan teman seperti mereka juga masuk ke dalam daftar nikmat yang aku dapatkan. Syahlaa dan Gladys. Meski baru mengenal mereka, tapi ternyata persahabatan itu terjalin begitu cepat.

Terlebih, Meda. Dia adalah teman pertamaku saat aku berada di Darul Akhyar. Dia satu-satunya orang yang tahu semuanya tentangku, termasuk rahasia besarku. Aku harap, dia benar-benar menepati janji untuk selalu menjaga rahasia itu.

Yap, tidak terasa tiga tahun sudah aku berbaur dengan teman-teman di Darul Akhyar ini. Semuanya benar-benar di luar ekspetasi. Semakin hari, pondok ini semakin berkembak, tak kalah seperti sekolah-sekolah lainnya. Sejujurnya aku sedih, karena tak lama lagi aku harus meninggalkan tempat ini, melanjutkan pendidikan untuk masa depan. Terkadang aku selalu berpikir, apa aku bisa mendapatkan sahabat baik seperti mereka lagi? Pikiran itu sama persis saat sebelum aku masuk ke pondok ini. Penjara suci seperti yang sering Meda katakan.

Ada yang lebih lucu saat kami menjalin persahabatan ini, genk MSG pun terbentuk sebagai lambang pertemanan ini. Sampai-sampai kami menyebut bahwa ustadzah Windy adalah sesepuh dari MSG. Karena jiwa ustadzah Windy sangat cocok dan bisa menyatu bersama jiwa kami.

Tak terlepas dari itu, aku pun sadar, kebahagian itu pasti akan ada di mana pun tanpa perlu kita sibuk mencarinya.

Membahas tentang kebahagiaan. Yaps, kali ini Darul Akhyar akan kepulangan Gus Nuril, dia adalah putra mahkota kesayangan Kyai Akhar dan nyai Halimah. Laki-laki yang disebut satu-satunya aset dari Kyai Akhyar untuk melanjutkan tugasnya nanti.

Sekarang semua ahlul bait beserta ustadzah Windy sudah sibuk mepersiapakan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan sang adik ipar.

Kali ini kami sudah berdiri di bawah pohon sambil memperhatikan orang-orang yang ada di masjid. Aku sebenarnya sedikit kecewa karena mereka tidak mau maju lebih mendekat. Padahal, aku benar-benar penasaran dengan wajah Gus Nuril. Setampan apa sih wajah putra Kyai itu.

Aku menggaruk hidung tak kala Meda yang teratwa terbahak saat Syahlaa membahas soal bau ketek. Ya memang sih, kalau sudah ramai seperti itu kecium bau tak sedap itu. Parahnya kenapa masih ada yang tahan. Kecium sebentar saja rasanya sudah membuat semua isi perut ingin keluar. Terus kenapa bisa menciptakan bau seperti itu? Padahal banyak deo-lotion yang bisa membantu menghilangkan bau ketek. Apalagi kalau dekat orang ramai, memangnya tidak malu kalau ada sampai yang mencium? Takut-takut nanti disangka tidak mandi semunggu.

Beruntung tubuhku selalu tersetel pakai mode on wangi. Walau pun nggak mandi tetap wangi tanpa bau ketek. Jujur aja, kadang kalau kamar mandi ngantri dan udah telat aku cuma gosok gigi dan cuci muka, pakai jurus the power of cepat-cepat. Terbukti tidak ada yang tahu dan tidak ada yang potes soal bau tubuhkuku.

Sudahalah, tidak usah membahas bau ketek, yang penting bauku wangi. Kembali lagi ke dunia penasaran, aku fokus kembali pada kerumunan di depan masjid.

"Aduh, mana sih. Kan pengen liat. Dys"

Aku yang memiliki tinggai kurang dari 150 cm ini sedikit menjinjitkan kaki. Kerumanan di sana seperti menenggelamkanku. Aku sesekali melompat sambil memegang bahu Gladys yang tingginya setara dengan telingaku, hingga aku membuat tubuh gadis itu sedikit bergoyang.

"Sabar. Ini aku juga lagi liat. Jangan bikin fokusku hilang."

Aku menggerutu kesal, mentang-mentang dia tinggi, berlaki seenaknya. Lagipula apa fungsinya kertas yang digulung menyerupai teropong itu. Nggak akan ada fungsinya.

"Aku liat!" Aku bersorak saat Gladys merasa putus asa. Aku pun sontak berjoget tanpa rasa malu di depan mereka. Sejujurnya sih, aku tidak melihat apa pun, hanya saja aku ingin membuat Syahlaa dan Gladys cemburu.

"Gimana-gimana?"

"Yaaa tampan, kayam gus Emil versi muda." kata Hafshah bohong. Menyamai rupa yang seperti dikatakan Meda.

🌹🌹🌹

"Tuh kan, apa aku bilang. Aku tadi liat. Gus Nuril itu ganteng. Liat aja Meda pun sampai terpesona gitu, padahal dia bilang biasa aja. Nyatanya malah ikut bengong liat gus Nuril."

Aku melihat Meda yang sontak menggelengkan kepala. Padahal aku benar-benar melihat kalau dia itu tadi ikut menatap gus Nuril tanpa berkedip.

"Hooh..." Syahlaa hanya bisa berucap seperti itu. Sepertinya otaknya masih belum kembali normal karena barusan melihat gus Nuril dengan jarak yang lebih dekat. Bagaimana kalau gus Nuril menyapanya. Bisa-bisa Syahlaa langsung sesak napas dibuatnya, atau lebih parahnya, Meda bisa jadi sasaran empuk tangannya karena posisi Meda saat itu ada di samping Syahlaa.

"Ih tapi itu gimana. Kalau tadi di dengar sama Nyai atau gus Nuril. Aku nggak mau ah kena hukum. Besok mau pura-pura sakit aja supaya bisa ngehindar." Kataku ngasal.

"Etapi nggak apa-apa deh, kalau dihukumnya sama gus Nuril." Tiba-tiba Gladys bersuara. Entah dengan ekspresi bagaimana, aku sulit mejelaskan. Yang penting saat ini aku bisa menangkap sinyal-sinyal kecentilan di mata Gladys. Pasti dia suka sama gus Nuril. Ih nggak boleh!

Sekarang kami berempat pun sudah ada di dalam kamar. Pembahasan tentang gus Nuril masih saja tidak kelar-kelar.

"Akun facebooknya apa sih. Aahh coba ada hape, udah aku cari langsung ini mah. Nambah list pertemanan."

"Emang dia punya facebook? Kok kamu tau? Namanya apa? Gus Nuril?" Entah kenapa kelemotan ini tak pernah hilang. Katanya aku selalu kurang fokus, disuruh minum Aqua. Entalah, ini pun terjadi juga karena aku sudah bergabung dengan mereka. Mungkin karena terlalu bahagia aku menjadi seorang yang polos tapi rada lola karena keseringan ketawa.

"Haf, kalau misalnya itu baru mau nyari, itu udah tau belum?"

"Udah. Kan kalau belum tau gimana mau nyarinya?" Jawabku jujur. Benar, kan? Kalau kita belum tau gimana cara nyarinya dan nambahin ke list pertemanan?

"Haamm, hmmmm." Aku melihat Gladys yang tertawa masam ke arahku. Membuat benakku bertanya-tanya.

"Med? Aku salah ya?"

"Ohh enggak kok, Hafshah mah selalu benar." kata Meda memuji. Aku pun menganggukkan kepala untuk membenarkan. Itu artinya aku memang benar dan sekarang aku sedang nyambung.

Aku hanya melihat Syahlaa yang sudah tertawa terpingkal di atas tempat tidur. Ahh kenapa, dia? Pasti mikirin gus Nuril.

🌹🌹🌹

Bersambung

Ginilah Hafshah, apa adanya. Polos, lucu dan menggemaskan 😌😌😌
Nggak pernah bikin gank MSG kesal, karena ya itu Hafshah lucu emang 😌😌😌

Gus Nuril. Ada yang mau kenalan? Nanti disampaiin.Hafshah 😂

Peluk jauh dari kembarannya Hafshah Dimchellers_17
Jangan lupa, follow ignya hafshah

(@hahshah_alhudaibiyyah) 🤗🤗🤗



TAKDIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang