11. Kecewa

741 137 28
                                    


بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

  📗Takdir📗
-Mereka yang terlihat lebih beruntung, atau kita yang kurang bersyukur

🌹🌹🌹

Kecewanya ibu adalah masalah terberat dalam hidup seorang anak.

🌹🌹🌹

Dengan langkah gontai, Hafshah keluar dari kantor ustazah Windy. Di luar ia melihat segerombolan santri yang memandangnya dengan tatapan menusuk. Tatapan yang seakan sedang mencelanya. Puaskah Meda sudah mempermalukannya seperti ini?

Ternyata benar apa yang selama ini ia dengar. Jangan pernah percaya sepenuhyaa pada manusia, jangan pernah berharap banyak pada manusia untuk menutupi segala keburukanmu. Sebab suatu saat, cepat atau lambat mereka pasti akan membuka rahasia itu sendiri.

"Kak Hafshah."

Hafshah mengarahkan pandangan ke samping, dilihatnya Nadiya di sana menatapnya dengan iba. Terlebih Hafshah melihat Nadiya menangis.

Apakah dia kasihan? Atau malah kecewa karena memiliki teman sepertinya?

Hafshah menyingkirkan orang-orang yang ada di dekatnya. Dengan rasa malu luar biasa, Hafshah berlari menerobos teman-teman santri di Darul Akhyar.

"Aku nggak tau, apa aku siap kembali ke sini."

Hafshah terus merutuki dirinya yang amat bodoh itu. Seharusnya ini tidak pernah terjadi. Tekanan di Darul Akhyar belum selesai menghantam dadanya. Lantas bagaimana nanti jika sampai di rumah?

🌹🌹🌹

Tiara masuk ke dalam kamar Hafshah. Sungguh, sebenarnya ia bingung apa yang terjadi pada Hafshah. Sebab, tiba-tiba ustadzah Windy mengantarkan Hafshah pulang tanpa member kabar. Saat ditanya perempuan itu mengatakan bahwa Hafshah sendiri yang akan menjelaskan.

Tiara memiliki perasaan yang tidak enak. Apakah Hafshah melakukan kesalahan besar di Pesantren?

Tiara duduk di atas tempat tidur Hafshah. Diusapnya punggung Hafshah yang saat itu tidur dalam keadaan tengkurap. Ia juga tahu, sekarang putrinya itu sedang menangis.

"Hafshah. Sebenarnya ada apa, sayang? Kamu punya masalah? Kenapa kamu nggak pernah telfon mama selama ada di sana?"

Hafshah hanya bungkam. Bingung memulai menjelaskan dari mana. Apakah mungkin langsung mengatakan hal yang sebenarnya?

"Hafshah ... cerita sama Mama, Nak."

"Ma. Aku..."

"Kenapa?"

Tangisan Hafshah semakin mengencang. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Mulutnya terasa begitu berat saat ingin mengatakan hal ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti. Terlebih sekarang papanya sedang menjemput Adrian di bandara yang baru saja pulang dari Cairo. Itu artinya kakaknya akan ikut tahu.

"Aku sayang banget sama Mama."

Tiara tersenyum kemudian berbaring di samping Hafshah. Dipeluknya Hafshah dengan hangat.

"Mama juga sayang banget sama kamu."

Tiara tidak bisa menyembunyikan kerinduannya pada Hafshah. Jujur ia sedih karena Hafshah terlalu jarang memberi kabar. Jika bukan ia yang menelfon duluan, ia tidak akan memiliki kesampatan untuk bicara pada Hafshah.

Ia akui, selama ini terlalu jarang memedulikan Hafshah. Terlalu jarang memberikan perhatian khusus. Tapi walaupun demikian ia sangat menyayangi Hafshah.

"Maa..."

"Heemm?"

"Kalau seandainya aku punya salah, Mama mau maafin?"

"Kenapa kamu nanya gitu sama Mama? Emangnya kesalahan kamu itu sebesar apa sampai Mama nggak bisa maafin?"

Hafshah menegakkan tubuh dari pembaringan. Kemudian di susul sang mana.

Tangan Hafshah menggenggam kedua tangan mamanya. Kini keduanya sama-sama duduk di atas tempat tidur.

"Kesalahan aku besar, Ma. Besar banget."

"Ya apaaa atuh. Jangan bikin mama bingung."

Ya tuhan...
Kenapa rasanya berat sekali.
Kenapa rasanya tak sanggup mengatakan.
Kenapa rasa takut ini teramat besar.

"Aku..."

"Apa Hafshah?!"

Kening Tiara berkerut, ia merasakan satu kejanggalan pada Hafshah. Sorotan mata anak itu menyimpan ketakutan luar biasa.

"Aku nggak sanggup buat cerita, Ma." Hafshah menundukkan kepala. Tangisannya sudah semakin mengencang. Mungkin jika ada pilihan dicabut nyawanta detik ini atau mengatakan hal yang sebenarnya, Hafshah lebih memilih untuk dicabut saja nyawanya. Dengan begitu, ia tidak akan pernah menaruh kekecewaan pada orang tuanya.

"Cerita, Hafshah. Ada apa? Sebesar apa pun itu, tidak akan membuat kamu itu berhenti menjadi anak Mama."

Hafshah menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan secara perlahan.

Benar, jika ia terus-terusan menutupi ini semua, hal itu hanya akan menyiksa. Semarah apa pun kedua orang tuanya, tidak akan menjadikannya terbuang dari keluarga itu.

"Mama pengen tau nggak alasan aku mau masuk ke pesantren itu?"

"Apa?"

"Karena aku udah ngelakuin kesalahan besar."

"Iya, tapi kesalahan apa?"

"Dulu, aku pernah pacaran diam-diam, Ma."

"Pacaran?!"

Hafshah menganggukkan kepala.

"Kenapa Hafshah, kenapa kamu nangis!" Tiara mengguncang tubuh Hafshah.

"Aku sama dia udah lakuin satu kesalahan, Ma. Seharusnya aku nggak pernah lakuin itu."

Jantung Tiara nyaris berhenti berdetak mendengar pernyataan Hafshah.

"Apa?! Ma---maksud kamu?!"

Hafshah menganggukkan kepala. Saat itu juga Tiara tak mampu menahan air mata lagi. Dadanya terasa sangat sesak. Tidak menyangka bahwa Hafshah akan mengecekannya sejauh ini.

Dengan amarah luar biasa Tiara menampar pipi Hafshah dengan kuat.

Kecewa, sangat kecewa dengan tindakan Hafshah. Bisa-bisanya selama ini ia menutupi rahasia sebesar ini. Kemana otaknya?!

🌹🌹🌹

Bersambung.

Duh, ini baru mamahnya yang tau. Gimana papa sama kak Adrian 😩

Tetap ikutin ya, peluk jauh Dimchellers_17

TAKDIRWhere stories live. Discover now