21. Pulang

563 109 104
                                    

بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

  📗Takdir📗
-Mereka yang terlihat lebih beruntung, atau kita yang kurang bersyukur-

***
Apabila sesuatu yang tidak kau senangi terjadi, maka senangilah apa yang terjadi -Ali Bin Abi Thalib-

🌹🌹🌹

"Tante, aku mohon. Izinin aku tinggal sama Mama,"

Aletta mengusap air mata yang ada di pipinya. Ini sudah hari kedua Aletta datang untuk membujuk Hafshah agar mau ikut tinggal bersamanya. Tapi lagi  dan lagi Hafshah selalu menolak.

"Hafshah, apa kamu sama sekali tidak merindukan ibu yang melahirkan kamu? Apa kamu tidak bisa menghargai perasaan Ibu? Bertahun-tahun ibu menanti hari dimana ibu bisa berada di dekat kamu. Tapi saat Ibu bisa menjangkau harapan Ibu, kamu bisa-bisanya menjatuhkan harapan Ibu."

Sungguh Hafshah merasa berada dalam pilihan yang begitu berat. Seandainya ia memilih untuk ikut dengan ibu kandungnya, lantas bagaimana dengan Mamanya? Perempuan yang sudah merawatnya sejak dari bayi. Tentu perasaan mamanya akan sangat hancur.

"Kasih aku waktu, Tante."

"Hafshah. Apa waktu selama tujuh belas tahun ini tidak cukup bagi ibu kamu untuk merasakan kepedihan saat berpisah dari kamu? Seorang anak yang selama ini ia nantikan justru menolak untuk bersamanya."

Kali ini Surya ikut bicara. Selama ini ia sudah cukup perih melihat kesedihan Aletta yang terus menerus mendambakan bisa membelai putrinya sampai ia tertidur. Surya mengerti kabar ini sangat mengejutkan bagi Hafshah. Tapi bagaimanapun Hafshah sudah beranjak dewasa dan dia juga harus bisa mengerti dengan permasalahan yang ada.

"Pulang sama Ibu, Hafshah. Pulang."

Hafshah hanya bisa menundukkan kepala.

"Sayang..." Tiara menyentuh bahu Hafshah pelan.

"Nggak apa-apa, sayang. Mama akan baik-baik saja, nanti kamu bisa ke sini kapan pun kamu mau. Kemarin kita udah sama-sama, sekarang Mama mau menebus semua kesalahan Mama. Kamu pulang sama mereka ya."

"Tapi, Ma..."

"Hafshah, tahu kan gimana bahagianya seorang ibu saat tahu di dalam rahimnya ada bayi yang tumbuh dan menjadi malaikat kecil untuk menemaninya sampai hari tua. Saat dia melahirkan dia hanya akan memikirkan keselamatan anaknya sekalipun mengorbankan nyawanya. Ibu kamu melakukan segalanya agar kamu bisa lahir dengan selamat, dia juga pasti berharap agar kamu bisa melengkapi hari-harinya. Dia seorang ibu yang rela menahan sakit agar bisa segera memeluk kamu. Tapi, Mama dengan begitu egoisnya mengambil kamu dari pelukan mereka. Mama yang salah, Hafshah. Maafin Mama karena sudah membuat kamu seperti ini."

Kedua mana Hafshah terpejam rapat, ia bisa merasakan sesak di dada yang semakin mengencang. Inikah yang dinamakan pulang? Padahal sejatinya seseorang akan merasa bahagia saat menemukan jalan untuk pulang. Tapi, kenapa Hafshah merasa beda?

"Mama kamu benar, Hafshah. Bukankah sekarang kamu harus bahagia? Kamu memiliki dua ibu dan dua ayah yang sangat menyayangi kamu."

Tiara menganggukkan kepala, menyetujui perkataan suaminya.

"Papa kamu benar. Sekarang, kamu pulang ya. Ikut sama mereka."

Pada akhirnya, Hafshah hanya bisa menganggukkan kepala. Mau tidak mau ia harus kembali pada keluarga yang sebenarnya.

🌹🌹🌹

"Kak Ian..."

Adrian yang saat itu berdiri di balkon kamar langsung memandang kearah Hafshah.

"Ya?"

"Kak, kita bakal tetap jadi adik kakak, kan? Walau sebenarnya aku bukan anak papa sana mama?"

Mendengar pertanyaan Hafshah, Adrian hanya tersenyum tipis. Perlahan Adrian berjalan mendekati Hafshah.

"Kenapa tidak? Sampai kapan pun kamu akan tetap menjadi adiknya Kakak. Kita dibesarkan oleh ibu yang sama. Tinggal dan besar di rumah yang sama, nggak ada yang berubah di antara kita."

Hafshah langsung memeluk erat kakaknya itu. Sedih memamg karena harus tinggal terpisah. Tapi sekuat apa pun Hafshah menolak untuk pergi, ia tetap tak punya pilihan selain ikut pergi.

"Makasih ya, Kak."

Adrian menganggukan kepala.

"Lucu ya, Kak." Hafshah perlahan melepaskan pelukan.
"Pantas aja aku nggak sepintar kak Ia, aku suka lemot, ternyata apa yang dibilang orang-orang emang benar. Kita nggak sama."

Adrian tertawa pelan.

"Kamu ingat nggak? Waktu kecil kita suka main layang-layangan di taman. Terus ada yang bilang kalau kamu bukan adeknya kakak. Hanya karena kulit kamu jauh lebih putih dari kakak, mama dan papa."

"Iya, masa mereka bilang aku anak yang dibeli."

Adrian malah tertawa cekikikan. Hafshah terdiam sejenak. Ia pasti akan merindukan masa-masa seperti ini saat bersama Adrian. Ternyata kecurigaan orang-orang selama ini terhadapnya memang nyata. Perbedaan yang timbul selalu menjadi patokan orang untuk melihat perbedaan dalam keluarganya. Meski pun setiap perbedaan tidak 100 persen menandakan bahwa mereka bukan keluarga sekandung.

"Engga dong, kamu mah tetap adik Kakak."

"Kakak juga akan jadi kakak terbaik aku selamanya."

🌹🌹🌹

"Ibu udah siapin kamar kamu, sayang. Kota liat ya."

Hafshah menganggukkan kepala. Dari senyuman itu, Hafshah bisa melihat pancaran kebahagiaan yang luar biasa dari Aletta. Rasanya, Hafshah tidak akan tega menghancurkan kebahagiaan itu.

Padahal dulu ia sangat ingin menjadi anak satu-satunya. Agar kasih sayang kedua orang tuanya hanya tercurah untuknya. Tapi, sekarang saat semuanya menjadi kenyataan, Hafshah malah merasa tidak ada artinya. Sebab dengan menjadi anak tunggal, banyak hafi yang harus terluka.

Ya, Hafshah belum menemukan rasa nyaman saat berada di tempat ini. Rasanya begitu dingin dan sepi.

"Tante..."

"Ibu, bukan tante."

"Maaf..."

"Kamu mau ngomong apa?"

"Ibu bilang, ibu bukan orang kaya, itu sebabnya aku bisa ada sama mama Tiara. Tapi, aku lihat kenapa ibu punya rumah yang bagus?"

"Karena ini adalah rezeki, Hafshah. Sesuatu yang nggak pernah kita tahu kapan datangnya. Saat kamu diambil secara paksa, ayah kamu bekerja mati-matian sampai bisa memiliki ini semua. Itu semata-mata untuk menjamin masa depan kamu. Agar orang yang memgambil kamu nggak punya alasan lagi untuk memisahkan kita, sebab Ibu sama ayah bisa memehui biaya pendidikan kamu."

Masa depan? Lagi-lagi Hafshah merasa bersalah. Orang tua merencanakan segala masa depan yang cerah untuk anaknya. Tapi, ia sendiri justru menciptakan masalalu yang buruk. Satu hal yang tidak akan pernah terlupakan sampai kapan pun.

"Kamu suka kamarnya? Seandainya kamu nggak suka, Ibu akan minta ayah ubah semuanya."

"Jangan, Bu. Ayah sama Ibu udah susah-payah siapin kamar buat aku supaya aku nyaman. Aku suka dan aku nyaman."

Aletta membawa Hafshah ke dalam pelukan. Mulai detik ini Hafshah akan menjadi miliknya, anaknya dan tidak ada seorangpun lagi yang boleh mengambilnya.

"Maafin ibu, sayang. Tapi, ibu nggak akan pernah kasih izin kamu untuk ketemu Tiara lagi. Setelah semua surat-surat pemindahan kamu resmi ke dalam keluarga kita, ibu nggak akan sudi biarin kamu ketemu mereka lagi."

🌹🌹🌹

Bersambung

TAKDIRWhere stories live. Discover now