17. Sandiwara

561 106 60
                                    

بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

  📗Takdir📗
-Mereka yang terlihat lebih beruntung, atau kita yang kurang bersyukur-

🌹🌹🌹

Jika seandainya materi bisa membuatku kehilangan sahabat terbaikku, maka aku lebih memilih kehilangan kemewahan yang aku miliki

🌹🌹🌹

Nadiya berjalan mendekati Aini dan Hafshah yang berada di bawah pohon taman. Nadiya masih belum tahu kenapa tadi malam tiba-tiba saja Hafshah membatalkan rencana mereka berdua. Padahal sebelumnya rencana itu sudah disepakati dengan sangat-sangat rapi.

Kedatangan Nadiya disadari oleh Hafshah dan Aini. Jujur Hafshah sebenarnya tidak tahan ingin memaki Nadiya. Menampar pipi gadis berwajah sok polos itu.  Gara-gara gadis itu, hubungannya dan Meda nyaris hancur. Gara-gara gadis itu pula, Hafshah sudah membenci Meda dan membuatnya jauh dari ketiga teman-temannya.

Ternyata benar, ia harus banyak belajar untuk mengendalikan hati agar tidak mudah dipengaruhi oleh orang-orang yang bisa memanfaatkannya kapan saja. Ia harus belahr untuk menyikapi semua masalah dengan tenang tanpa mengemukakan emosi yang ada di dada.

"Kamu ngapain ke sini?" Tanya Aini to the poin.

"Emmm, ini kak. Aku ada keperluan sama kak Hafshah. Bisa nggak?"

"Aku paling nggak suka ya kalau teman aku lagi sama aku, kamu malah bawa dia. Yang punya keperluan bukan kamu aja, tapi aku juga. Jadi, kalau kamu ada keperluan bisa nanti."

"Tapi ini penting, Kak."

"Ngapain harus pergi ke sini? Kalau emang penting bisa kamu kasih tau aja, kan."

Nadiya mengembuskan napas pelan. Sial! Kenapa Hafshah dia saja?

"Kak, gimana? Kakak bisa nggak ikut aku sebentar?"

"Humm, maaf ya Nad. Bukannya aku nggak mau. Cuma aku sama Aini lagi kena hukuman, jadi kita emang harus cabutin rumput-rumput yang ada di sini?"

"Kenapa bisa kena hukum?"

"Biasa. Hafalanku sama Aini nggak selesai. Padahal udah tiga kali pertemuan."

Nadiya hanya menganggukkan kepala mengerti. Walau sebenarnya Nadiya merasa ada yang disembunyikan oleh Hafshah dan Aini.

Kalaupun mereka di hukum, kenapa keduanya santai-santai saja?

"Yaudah Kak, nanti aku bakal temuin kakak lagi."

"Okey, Nad."

Aini memandang kepergian Nadiya dengan wajah kesal setengah mati. Kalau bukan di pesantren, Aini sudah pasti memaki-maki perempuan itu.

"Udah, aku tau kamu kesal. Aku juga kesal, cuma gimana. Harus ditahan."

"Gimana nggak kesal pakai banget Haf. Dia udah kelewatan, dia yang bikin kamu malu tapi dia malah cuci tangan pakai nama teman kamu sendiri. Gimana nggak setres tuh orang."

Hafshah hanya tersenyum manis. Beruntung memiliki teman seperti Aini. Walau waktunya tak sebanyak seperti bersama geng micin, Hafshau tetap bangga memiliki Aini.

"Oh iya, makasih ya. Kamu udah bantuin aku."

"Sama-sama."

"Ngomong-ngomong, kata Rifki. Kamu adiknya ya? Walau bukan satu ibu tapi kalian bisa aku."

"Hehe Alhamdulillah. Rifki emang kakak yang baik."

"Tapi kok kamu nggak pernah cerita?"

"Haha nanti kamu malah ketawain ayah kamu karena punya istri lebih dari satu."

"Haha ya enggak lah, mana mungkin aku gitu."

Aini tertawa pelan.

"Ngomong-ngomong, kamu udah bicara banyak dong sama Rifki, sampai-sampai kamh tau kalau aku sama dia adik-kakak."

"Enggak juga sih, dia yang cerita. Kamu sampaiin ya rasa terimakasih aku sama dia. Dia udah baik banget sama aku, padahal aku sama dia nggak terlalu kenal."

"Tak kenal maka tak cinta." Kata Aini dengan suara gemas, khas seperti ledekan seperti kebanyakan teman yang tahu bahwa ada sepasang manusia yang sedang menjalin cinta.

"Apaan sih." Hafshah memukul pelan bahu Aini.

"Tapi benaran tau, Rifki kan emang ada rasa sakamu kamu."

Aini membekap mulut saat tak sengaja saat alat indra itu telah lepas kendali. Sial, sial, sial. Kenapa tiba-tiba dia malah seperti ember bocor. Halus tapi bagaikan memiliki ratusan lubang.

"Ha?"

"Aduh, Hafshah..."

"Kenapa? Dari mana kamu bisa tau? Itu nggak mungkin, Ai. Kamu tahu gimana aku, mana ada sih laki-laki yang mau sama perempuan yang kesuciannya udah nggak ada. Terlebih Rifki baik, keluarga dia juga pasti nggak bakal mau terima aku."

"Ekhem, mikirnya udah sampe bawa-bawa keluarga. Hihihihi. Tenang aja, Haf. Rifki orangnya benaran baik kok, yang jelas dia kan udah tau semua. Kalau dia masih mau sama keputusan dia, otomatis dia benar-benar mau sama kamu dan udah nerima kamu."

Hafshah hanya diam. Nyatakah yang barusan dia dengar? Seindah ini mencintai dan dicintai laki-laki sempurna seperti Rifki?

🌹🌹🌹

Entah kenapa pernyataan Aini tadi selalu terniang jelas ditelinganya. Bolehkah dia bahagia saat mengetahui ini? Bolehkah dia beeharap kalau Rifki benar-benar orang yang tepat? Walau pun belu terikat hubungan apa-apa, bolehkah dia berharap pada Allah kalau Rifki yang ia inginkan?

Entalah. Semua itu masih menjadi rahasia baginya. Memang, ia mencintai Rifki dari dalam hatinya, cinta yang tak seorang pun tahu kecuali dirinya kecuali Allah.

Inikah jawaban dari doa yang pernah ia ucapkan tanpa sengaja?

Rifki yang saat itu sedang mengaji membuat jiwa Hafshah merasa tentram. Ada kedamaian yang menyiram hatinya yang gersang. Lantunan suci itu seakan menjadi suara ternyaman yang pernah ia dengar. Saat itu juga, bibirnya mengucap kata

'Semoga Allah berkenan memberiku laki-laki sepertinya.'

Dan benar saja, Allah menjawab doanya dengan waktu yang sangat singkat.

Ternyata Allah mengkehendaki hati Rifki untuk mengisi hatinya.

Sebentar lagi, mereka akan lulus. Kemudian akan kembali melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, lantas bagaimana kedepannya? Padahal mereka sama sekaki tidak terikat, jangankan terikat, mengungkapkan perasaan masing-masing saja secara nyata masih belum pernah terlaksana.

Lagi dan lagi, Hafshah hanua hosa mengandalkan doa pada sang pencipta.

🌹🌹🌹

Bersambung

Peluk jauh Dimchellers_17

TAKDIRWhere stories live. Discover now