7. Sahabat Itu...

855 143 36
                                    


بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

  📗Takdir📗
-Mereka yang terlihat lebih beruntung, atau kita yang kurang bersyukur

🌹🌹🌹

Sahabat itu....
Seperti akar, tak terlihat tapi mampu menopang sebesar apa pun pohonnya.
Sahabat itu...
Seperti langit, tidak pernah bosan menerima hujan yang pernah meninggalkannya untuk turun ke bumi.
Sahabat itu...
Seperti udara, tak terlihat tapi kentara dirasa.
Sahabat itu....
Seperti kamu, walau mengesalkan, tapi mampu membantu setiap permasalahanku.

🌹🌹🌹

Pukul 08:00 ruangan berbau obat-obatan itu terasa sunyi dan dingin. Kondisi Mely sudah membaik dibandingkan hari kemarin. Kedua orang tuanya pun bisa bernapas lega setelah kemarin rasa putus asa berhasil menguasai.

Jangankan membayangkan putrinya itu meninggal dunia. Mendapati kondisi kritis kemarin saja sudah hampir membuat Marisa gila. Tidak ada yang menyakitkan bagi seorang ibu selain melihat anaknya kesakitan. Bahkan seorang ibu rela menanggung kesakitan asalkan anaknya selalu berada dalam kondisi yang baik-baik saja.

Mely tersenyum bahagia saat melihat kedatangan ketiga teman satu kamarnya. Tidak menyangka kalau mereka akan datang mengenguk. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan semagat agar Mely tetap berjuang hingga sembuh.

Tentu hal itu membawa pengaruh positif baginya, sekarang Mely hanya ingin sembuh. Apalagi saat melihat ibunya menangis seperti kemarin. Benar-benar membuatnya tidak tega. Kalau seandainya dia meninggal, bagaimana ibunya itu melanjutkan hidup? Pasti dia akan selalu bersedih.

"Assalamualaikum...."

"Waalaikumussalam..." Marisa mengembangkan senyum. Dilihatnya kedatangan Windy dengan ketiga teman putrinya.

"Bagaimana kondisi Mely, Bu?"

"Alhamdulillah Mely sudah membaik, Mbak."

"Syukurlah..."

"Mel, cepat sembuh ya. Sepi tau kalau nggak ada kamu."

"Doain, ya Nad."

"Kamu itu harus sembuh, ya. Kamu tahu hal apa yang bikin orang tua kita itu bangga selain kita menjadi anak yang sukses? Yaitu melihat kita sehat da berumur panjang." Kata Hafshah pelan. Dipegangnya tangan Mely dengan lembut.

Mely menganggukkan kepala.

"Terus gimana, Mel. Aku dengar-dengar kamu mau keluar dulu ya dari pesantren?" tanya Meda.

"Iya, Kak. Tapi, nanti aku pasti kembali, kok. Iya kan, Ma?"

Marissa menganggukkan kepala. Kemudian mengusap pipi Mely pelan.

"Nggak apa-apa, Mel. Kita cuma bisa kasih semangat dan doa buat kamu."

"Makasih, Kak."

"Tante benar-bebar berterimakasih, lho. Kalian udah mau jengukin Mely ke sini."

"Iya, Tante. Sama-sama."

🌹🌹🌹

Nadiya dan Meda masuk ke dalam kamar dengan ekspresi tak biasa. Keduanya sama-sama diam tanpa saling menoleh.

Meda yang langsung naik ke atas tempat tidur bertingkat dua itu pun tidak menyapa Hafshah sama.sekali.

Begitu pun dengan Nadiya. Gadis itu berbaring sambil membelakangi Hafshah.

Kening Hafshah berkerut bingung, memandangin antara Meda dan Nadiya secara bergantian. Sebenarnya sejak pulang dari rumah sakit kemarin.Hafshah sudah menemukan keanehan antara Meda dan Nadiya. Hanya saja saat kemarin masih belum kentara terlihat

"Kalian kenapa?"

Keduanya sama-sama tak bersuara.

"Meda. Kamu kenapa?"

"Nggak."

Hafshah mendegus kesal. Jawaban Meda barusan terdengar ketus. Padahal pertanyaannya itu hal yang wajar, bukan?

"Kalian kenapa sih, Nad?"

"Tanya aja sama dia, Kak. Orang sombong yang ngerasa dirinya bisa segalanya." Kata Nadiya dengan telak. Sontak hal itu memancing kekesalan dari Meda.

"Sombong? Bukannya kamu? Aku nggak ngerasa tuh!"

Nadiya langsung membalikkan badan. Dilayangkannya tatapan tajam itu pada Meda.

"Kenapa? Nggak ngerasa? Terus kenapa sewot."

"Eh Nadiya. Kamu itu benar-benar nggak ada sopannya ya. Aku itu lebih tua dari kamu. Wajar kamu bersikap kayak gitu sama aku? Kita bisa kok bersaing secara sehat. Kalau pun kita bersaing, bukan berarti kita harus jadi musuh."

Nadiya tertawa sarkas. Baginya Meda terlalu egois. Meda itu anak perempuan yang sok kepintaran, paling sok mengerti dalam bidang matematika. Yang lebih membuat Nadiya kesal adalah ketika Meda yang dengan sombongnya membanggakan diri bahwa dia sangat jenius, yap begitulah cara pandang Nadiya pada Meda. Meda yang tingkat kepercayaan dirinya terlalu tinggi itu mulai membuatnya sedikit sombong.

Sejujurnya sudah sejak dulu Nadiya menyimpan kekesalan yang luar biasa pada Meda.

"Udah-udah, kalian itu bertengkar karena apa sih. Sok pintar, sombong, maksudnya apa?" Kepala Hafshah terasa hampir pecah mendengar perdebatan antara Meda dan Nadiya. Belum lagi Nadiya yang menangis secara tiba-tiba. Membuat Hafshah menjadi tidak tega.

'Kenapa harus nangis sih?!' Gerutu Meda dalam hati. Entah kenapa Meda mendadak risih dengan sifat Nadiya yang semakin aneh itu. Terlalu membesarkan masalah, memancing keributan, dan cengeng!

"Kamu hati-hati aja, Haf. Kalau mau temanan sama dia. Kita nggak tau mana orang tang benar-benar tulus temenan sama kita. Mana yang enggak." Kata Meda memperingati.

🌹🌹🌹

Hafshah melipat kedua tangannya di atas meja. Kepalanha diletakkan di atas ke dua tangan. Matanya terasa sangat mengantuk. Semalaman istirahatnya sedikit tergangu gara-gara Meda dan Nadiya yang tak kunjung akur. Sebenarnya Hafshah ingin melaporkan hal itu kepada Ustazah Windy. Tapi Hafshah tidak memiliki keberania. Takut jika ujung-ujungnya malah dia yang dimusuhi.

Jadi, ia hanya memilih diam tanpa berpihak pada siapa pun.

"Kenapa lagi, Haf?" Saat itu jam pelajaran ning Ais selesai. Jika tidak, bisa-bisa dia akan ditegur.

"Pusing, Ai. Aku nggak ngerti, semalam Nadiya sama Meda itu berantem."

"Kamu nggak laporin sama ustazah gitu?"

Hafshah menggeleng.

"Aku takut. Jadi, aku biarin aja, walaupun nggak nyaman."

"Aku tau sedikit tentang Nadiya. Aku cuma bisa peringatin kamu. Kamu itu harus hati-hati memilih sahabat."

Hafshah terdiam sejenak. Kali ini tidak hanya Meda yang berbicara seperti itu. Tetapi juga Aini. Lantas, apakah Nadiya itu berbahaya?

🌹🌹🌹

Bersambung

Jujur, sampai saat ini rasanya masih datar, ya 😔😔 tetap baca ya😢😢😢

Peluk jauh
Dimchellers_17

TAKDIRWhere stories live. Discover now