3. Canduku

1.1K 163 6
                                    

26 Februari 2019—lorong ruang 25, 26, 27 gedung paling belakang SMK Negeri 2 Karanganyar. Malam menjelang pukul 20.00 WIB, usai mengaji bersama di masjid sekolah. Aku berjalan di sampingmu, memegang ponsel dengan flashlight yang menyala, penerang jalanku dan jalanmu. Iya, kamu yang terlalu fokus membalas pesan singkat dari kekasihmu.

Cemburu itu rasanya bagaimana? Apa dengan sedikit bumbu kesal, sesendok perasaan iri, dan sejumput keegoisan? Jika iya, maka aku sedang dalam keadaan cemburu sekarang. Tak apa, risiko cinta sendirian itu ya mencemburui dalam diam.

Terus memperhatikan langkahmu yang tidak lurus, seringkali hampir membelot dari jalur jalan. Entah hampir menabrak dinding ruangan atau pagar rendah di tepi lorong sekolah. Kamu tak pernah takut akan terluka, kamu hanya takut waktu luang yang negara berikan pada kekasihmu terbuang sia-sia. Maka, wajar jika kamu sibuk tertawa oleh pesan singkat yang kekasihmu kirimkan daripada memerhatikan tubuhmu yang bisa saja terluka. Apakah jatuh cinta bersama-sama selalu semembahagiakan itu?

“Hati-hati,” kataku menarik lenganmu sebab untuk yang kedua kalinya wajah cantikmu hampir mencium dinding ruang 26. 

“He he.” Tawa ringanmu sungguh hangat mendekapku. Sayang tawa itu tak sepenuhnya milikku. 

“Eh, aku masuk ruang 26,” ucapmu sebab ruang 26 sudah terlewat. 

Bukan aku tidak mau mengingatkanmu bahwa ruang 26 yang menjadi tujuanmu telah terlewat. Aku hanya sangat menikmati saat-saat berdua denganmu. Mengapa mencintaimu bisa seegois ini?

“Selamat malam, Beb. Semoga tidurmu nyenyak, jangan lupa bermimpi tentangku, tentang aku dan kamu yang biasa disebut kita,” godamu dengan wajah manis seolah kita dalam angka yang sama. 

Aku tersenyum. “Selamat malam, Mbak. Seandainya kata kita ialah realita.” 

“Apa?”

Menggeleng, membiarkanmu masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu. Seperti aku melihatmu menutup rapat pintu hatimu, membiarkanku di luar sendirian tanpa teman dan tanpa balas perasaan. Entah sudah berapa kali harus aku jelaskan bahwa cinta ini hanya sendirian.

“Apta,” panggil Fikri dan Risa dari ujung barat. Risa, salah satu anggota Patriakara, salah satu pasukan yang kupimpin.

Hanya menoleh. 

“Mas Akbar minta kita ngadain sarasehan dulu sebelum tidur,” ujar Risa. Mas Akbar, calon adik iparmu alias adik kandung dari kekasihmu, seniorku saat ini. 

Aku mengangguk.

“Bukannya kata Mbak Dara langsung tidur? Kok beda perintah begini sih, Ta?” protes Risa.

“Mbak Dara itu pelatih dari alumni, pasti kalah juga dengan perintah dari pelatih kelas XII,” ungkap Fikri. 

“Ih, aku sudah ngantuk,” keluh Risa. 

“Toh, sarasehan ini ada baiknya kok, Ris. Kamu mungkin masih merasa ada beberapa gerakan yang belum tepat. Iya, kan? Kamu masih mengeluh tentang Julian yang langkahnya terkadang mendahului. Daripada mengeluh denganku lebih baik berbicara langsung dengan orangnya,” jelasku melangkah menuju ke ruang 27.

“Iya sih. Padahal sudah ingin menyusul Mbak Dara tidur.”

Malam ini jadilah kami melakukan sarasehan dari pukul 20.16 WIB hingga pukul 21.31 WIB. Entah jam tanganku tepat waktu dengan jam google atau sedikit melenceng, tapi begitulah adanya jarum jam menunjukkan waktu. 

Untuk Dara Laksmi SasmitaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora