19. Mana Yang Harus Diikhlaskan?

893 158 6
                                    

Bulan-bulan silih berganti dengan matahari, mengubah judul waktu, dan aku masih bersama dirimu. Masih dengan kita yang menanti hadirnya buah cinta. Sejujurnya, aku tak sekhawatir itu. Mungkin karena aku terlalu lama menunggu untuk bersamamu, maka yang kupikir sekarang adalah menikmati masa-masa bersamamu dengan baik. Aku yakin, Allah Swt. akan memberikan rezeki di saat yang tepat, yang perlu kita lakukan adalah membenahi diri saat waktu yang tepat itu datang. Tapi aku juga mengerti bagaimana beratnya isi pikiranmu.

Banyak hal sudah kita lalui bersama, meski sekadar saling mendukung via suara. Semacam 2 bulan lalu ketika kamu harus ke luar kota untuk mengecek bagian akhir film Sasmita-mu. Aku tidak bisa membersamai karena negara mengikatku terlalu kuat. Dan hari ini, negara sedang berbaik hati sebab membiarkanku membersamaimu dalam gala premiere film-mu.

Banyak orang menyapamu lembut, mengucapkan selamat meski berulangkali kamu bilang, bukan kamu yang bekerja keras tetapi tim pembuatan film dan para aktor yang berperan aktif. Tetaplah membumi, yang bukan berarti kamu merendahkan diri. Ada bagian-bagian yang pantas diapresiasi dari orang lain dan dari dirimu sendiri. Sungguh, aku bangga dengan istriku yang mampu mewujudkan impinya, meski acapkali kamu mengucapkan kata maaf ketika harus meninggalkanku beberapa hari. Sungguh, bagi suamimu ini yang terpenting adalah kamu milikku dan lebih banyak waktu untukku.

"Sayang, Mas ke kamar mandi dulu, ya?"

Anggukan dan senyum sebagai jawabmu. Aku tahu, kamu masih sibuk menyapa beberapa pemain, seperti Tatjana Saphira yang setiap malam kamu ceritakan begitu mengidolakannya.

"Suaminya Andara tentara, ya? Bintara dengar-dengar."

"Kenapa?"

"Nggak, gue kira penulis sebesar dia bakalan lebih pilih perwira sih. Lo tahu kan cewek tinggi biasanya lebih pilih suami dengan standar tinggi."

"Suaminya juga standar tinggi, gantengnya. Ha ha ha."

Puluhan tahun aku menjadi seorang laki-laki, tapi tidak pernah tahu bahwa ternyata laki-laki juga suka menggunjing di kamar mandi. Kupikir hanya perempuan. Tapi, percakapan itu terdengar menyedihkan. Benar, kamu yang tinggi terpaksa hidup dengan rendahan sepertiku.

Diam, berdiri di balik pintu kamar mandi. Menunggu orang-orang itu keluar agar tak menjadi salah paham lebih panjang.

Menatap wajahku di depan cermin, apa hanya wajahku yang menarik? Apa hanya wajahku yang pantas menemanimu? Ah, bukankah Mama selalu bilang bahwa apapun yang melekat di tubuhmu, searagam, tanda pangkat, gelar, dan lain sebagainya tidak berarti apa-apa. Sebab kita semua juga hanya manusia dengan beragam jenis dan bentuknya, banyak salah dan lalai. Kita semua sama bahkan meski memegang jabatan Panglima Tertinggi sebuah negara.

Terkadang itu menggangguku, maaf, Dik. Maafkan suamimu yang kurang percaya diri ini. Maaf juga telah menjebakmu dalam kehidupan yang sulit, sederhana, terkungkung aturan negara, kepak sayapmu pun tak selebar dulu.

Berjalan keluar, menghampirimu dengan senyum lebar, kamu yang terus menggandeng lenganku seolah tak ingin jauh. Bahkan meski kamu harus berbincang dengan banyak orang. Aku menyukainya, tapi terkadang aku kurang percaya diri.

"Apa kurang nyaman?" bisikmu di telingaku.

Menggeleng. "Di sisimu adalah kenyamanan terbaik."

Tersenyum, mempererat lingkar tanganmu.

Acara berlalu cukup lama. Hingga malam begitu larut, kamu bilang terlalu berbahaya untuk pulang menjelang pagi. Aku juga ada waktu libur lebih, kenapa tidak menikmati sedikit bulan madu di Jakarta.

Mengangguk, memintamu memilih tempat terbaik. Haruskah kita menghabiskan uang bulan ini untuk bermalam di hotel?

"Uangku ya, Mas?"

"Jangan!" Aku ingin sepenuhnya memberimu nafkah, meski sulit.

"Mas, sekali ini saja."

Aku diam.

"Bukan hotel yang berbintang-bintang kok."

"Mas aja." Berjalan cepat ke resepsionis. Hotel yang mungkin tak berbintang banyak. Jika harus berbintang banyak, mungkin kita harus menahan lapar beberapa Minggu ke depan. Kita hanya hidup berdua tapi kebutuhan untuk nanti juga harus dipikirkan.

Tiba di kamar, kamu masih menatapku kecewa dan menumpahkan semua isi hatimu. Katamu kamu juga ingin berbagi, kamu juga punya sesuatu yang bisa dibagi denganku.

"Dik, kamu tahu nggak sih susahnya jadi omongan orang? Istrinya lebih sukses, kelas istrinya lebih tinggi, suaminya modal tampang doang, dan lain sebagainya. Tolong, Mas juga berat melewati itu. Biarkan Mas membuktikan sama mereka kalau Mas bisa."

Tatapanmu begitu dalam, ada rasa takut pula di sana. Maaf, aku kehilangan kendali sehingga meninggikan suaraku untukmu. Maaf.

"Mas sendiri yang bilang ini tentang kita, tidak ada urusannya dengan mereka. Kenapa mendengarkan orang lain? Mas bilang Mas mampu menutup telingaku, tapi Mas melupakan tugas penting untuk menutup telinga Mas sendiri!" tegasmu berjalan keluar kamar hotel.

"Mau ke mana?"

"Beli pakaian ganti!" jawabmu berlalu pergi begitu saja. Aku hendak mengatakan caramu mengacuhkanku salah, tapi tidak baik di depan banyak orang di dalam hotel. Maka aku hanya mengikutimu.

Kamu juga memilihkan beberapa untukku lalu membayarnya tanpa meminta izinku. Nanti aku akan menggantinya, rasanya aku juga lupa kapan terakhir kali aku mengajakmu membeli baju baru.

"Mau ke mana lagi, Dik?" tanyaku tak kamu jawab. Berbelok ke sebuah minimarket dan kembali setelah beberapa menit.

"Kenapa harus dengerin orang lain sih, Mas? Aku sudah berusaha sebaik mungkin menutup telinga, aku bisa kamu tidak. Ada masalah yang jauh lebih penting dari sekadar siapa yang membayar kebutuhan kita, Mas."

Menoleh, mengikuti langkahmu yang kembali pelan.

"Istrimu nggak hamil-hamil, itu masalah besar."

Diam beberapa saat. "Itu karena Allah Swt. masih memberiku kesempatan untuk menikmati waktu bersamamu, hanya bersamamu."

"Memang hanya aku yang ingin, Mas sepertinya biasa saja."

"Mas ingin tapi Mas percaya sama Allah..."

"Terserah Mas Apta!" balasmu melangkah cepat ke dalam hotel.

Ini malam yang indah tapi tidak begitu. Mungkin karena di Jakarta tak ada bintang. Atau hati kita yang sedang menghitam legam.

Menikahimu ternyata butuh seni yang lebih indah. Kami menunggu kehadiran bayi mungil, semuanya tidak mudah, kami belajar tak mendengar dan itu juga tidak mudah. Hidup kita semacam rollercoaster, terkadang naik dengan percaya diri, turun dan jatuh sedalam-dalamnya atas pemikiran sendiri. Pikiranku dan pikiranmu masih sering beradu pilu.

Tatapanmu malam ini kosong, dari lantai 3 hotel sederhana ini. Menatap padatnya kendaraan, hingga air matamu jatuh. Kamu mungkin mengira aku sudah terlelap, untuk itu kamu pelan-pelan meninggalkan lenganku dan hanya berdiri dengan tatapan kosong.

Dara, bagian mana yang seharusnya kita ikhlaskan? Aku ingin hidup denganmu tanpa banyak kekhwatiran, tapi ternyata banyak yang membuat kita khawatir.

🍁🍁🍁
Bersambung...
Nggak jelas wkk

Untuk Dara Laksmi SasmitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang