10. Playboy Berseragam

891 148 5
                                    

Usai menerima sakitmu dalam waktu yang lama, kemarin aku resmi dilantik sebagai anggota TNI pada kecabangan Infanteri bersama Fikri. Aku tak menyangka jalan hidup kami benar-benar sama. Lebih dari 16 tahun kami bersama, sekolah di tempat yang sama, dan ada di pekerjaan yang sama. Mungkin yang berbeda adalah kisah cinta kami dan penempatan tugas kami nantinya. Perjalanan cintanya aman-aman saja, pacaran sejak dia masuk SMK hingga saat ini tak banyak kendala, terlebih tak ada angka lima di antara mereka sebagai pembeda. 

“Selamat, Ta, Fik. Kapan berangkat penempatan? Di mana, sih?” tanya Risa yang aku temui di Alun-alun Karaganyar bersama Fikri hari ini. 

Hanya Risa, sebab yang seangkatan denganku rata-rata sudah merantau ke perusahaan besar di Karawang, Cikarang, Bekasi bahkan ada yang masuk ke pertambangan batu bara di Kalimantan dan Sumatera. Aku dan Fikri yang menjadi tentara, dan Risa yang melanjutkan sekolahnya ke jenjang strata satu. 

“Rabu minggu depan,” jawabku. “Aku di Depok, Yonif 328.”

“Aku di Bandung, Batalyon Infanteri 330.”

Alhamdulillah. Bangga sama kalian.”

Kami berdua tersenyum.

Bagaimana denganmu, Mbak? Apakah kamu bangga denganku, bukan, bangga dengan kami? Kuharap kamu juga ikut berbangga. Meskipun kamu tidak tahu bagaimana kondisi kami saat ini. Namamu sudah melejit, pengikutmu sudah ratusan ribu sekarang, sampai-sampai DM dari Fikri pun tak pernah kamu baca. Aku? Aku jelas tidak pernah berusaha menghubungimu. Instagramku pun aku matikan, berganti akun yang orang lain bahkan tidak tahu bahwa itu akun milikku. Bukan hanya itu, semua media sosialku tidak aktif lagi, twitter, facebook, tidak satu pun.

“Kalian nggak ada niat mau temuin Mbak Dara di Yoygyakarta?” tanya Risa. “Kalau iya aku ikut. Kangen banget sama Mbak Dara.”

“Mbak Dara sekarang sombong  kayanya,” balas Fikri. “DM-ku nggak dibalas.”

“Mbak Dara sibuk kali, pesannya juga mungkin tenggelam. Eh tapi, nomor teleponnya ganti juga kayanya. Apa dia sudah nikah, ya? Jadi sibuk kan ngurus suami, ngurus tulisannya kan mau menerbitkan buku lagi, atau ngurus anaknya, mungkin baru lahiran,” tebak Risa. 

Sudah setahun lebih dari hari patah hatiku, tetapi tetap saja aku merasa patah setiap kali mengingatnya. Kebetulan pun aku tidak pernah lupa. 

“Kalau sudah nikah kok di Instagramnya nggak pernah upload foto pernikahan, Ris?” balas Fikri. 

“Iya juga, ya? Kayanya memang benar Mbak Dara lupa sama kita.”

Aku diam saja. Apa benar kamu lupa dengan kami? Semudah itukah otakmu me-reset semuanya, padahal kami masih sangat mengingatmu.

“Oh, iya. April katanya mau ketemu kan sama kamu?” tanya Risa padaku. 

April itu teman kuliah Risa, tetapi berbeda fakultas. Dia anak Fakultas Kedokteran sementara Risa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan. Mereka bertemu pada masa ospek, lalu Risa mengenalkannya padaku. April itu cantik, berhijab, senyum manis, bertutur kata lembut. Aku suka gayanya.

“Iya, nanti sore.”

“Langgeng ya, Ta.”

Tersenyum tipis. Apanya yang langgeng? Bahkan tidak ada hubungan apapun antara aku dan April. Rasa yang kupaksa saja tidak tumbuh dengan baik, baru kecambah sudah layu, ibaratkan semacam itu. Atau lebih parahnya, baru ditanam saja sudah enggan tumbuh. Siapa lagi hama yang merusak perasaan baruku jika bukan perempuan berambut pendek dengan selisih limanya yang menjadi pembeda? Iya betul, kamu, Mbak. Padahal, aku dan April terhitung intens berhubungan. Setidaknya saling berkirim pesan ketika sempat.

Untuk Dara Laksmi SasmitaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt