7. Doa Patah Hati

802 141 23
                                    

“Urusan pribadi itu tidak perlu memengaruhi urusan organisasi. Lagian percuma mau menjelaskan sampai berbusa juga nggak ngerti!” sindirmu di bawah papan tulis sembari memainkan ponsel. 

Iya, sejak tadi kamu tidak pernah berhenti bertengkar dengan Mas Akbar. Saling sindir hanya karena berbeda anggapan. Kamu menanggap aku ini adikmu, maka biasa saja jika aku dan kamu begitu dekat. Tetapi anggapanku dan Mas Akbar sama, aku ini laki-laki yang jatuh hati dengan seorang perempuan. Hei, ini saking lancangnya cinta, ia tidak mengenal angka lima yang menjadi pembeda. 

Aku mematung di depan ruang 1 yang sedikit menjorok ke barat, maka kehadiranku tidak nampak olehmu atau oleh teman-temanku. Niatku malam ini tidak berlari terlalu jauh darimu, aku juga tidak ingin meninggalkan kewajibanku untuk melaksanakan sarasehan malam bersama yang lain. Hanya saja, mendengar celetuk amarahmu membuatku mengurungkan niat. 

Langkah kakiku memilih pergi ke gedung paling belakang, menikmati hutan mini bersama burung hantu yang sorot matanya selalu tajam. Aku tahu banyak cerita horor tentang sekolah ini, di beberapa titik yang memang selalu memiliki suasana mengerikan tersendiri. Tapi tak masalah bagiku, kalau pun ada yang mau menampakkan diri, tak apa, aku justru merasa senang ada yang menemani. 

Di ujung lorong gedung timur itu, katanya ada perempuan biasa berjalan di sana. Tak apa, ke sini saja, temani aku. Di lantai atas gedung paling belakang ini, katanya ada anak kecil suka mainan kursi kelas, tak apa, turun saja, temani aku. Aku persilakan daripada aku merasa kesepian dan merutuki diriku sendiri. 

Akan tetapi, sepi menyadarkan bahwa aku masih cukup labil untuk bertingkah, masih cukup labil untuk menyikapi perasaanku sendiri. Mbak, aku bingung, kenapa dalam suatu waktu perasaan ini rasanya menggebu? Lalu, kenapa dalam waktu yang lain aku merasa amat sangat bersalah memiliki perasaan gila ini? Seperti sekarang, rasanya aku tak ada kelayakan untuk memiliki perasaan ini dan merasa bodoh telah melakukan banyak hal bersamamu. 

Aku menyesali bahuku untuk tempat tidurmu dua kali, aku menyesali telah memasang foto tidurmu di instagram stories, aku menyesal mengakuimu sebagai kekasihku, aku menyesal mendoakanmu patah hati agar dapat bersamaku. Aku terlalu jahat untuk itu semua, aku terlalu gila untuk itu semua, aku tak memiliki cukup banyak mental yang sehat. Dan aku menyebabkan semua kekacauan ini terjadi. 

Seandainya saja aku tidak jatuh hati denganmu, seandainya saja aku tidak mengakuimu sebagai kekasihku, seandainya saja aku tidak bercanda denganmu, seandainya saja aku tidak memasang foto itu, bahkan seandainya aku tidak dekat denganmu. Semua kegaduhan ini pasti tidak akan terjadi. Aku tetap menjadi Apta yang fokus pada kejuaraan baris-berbarisnya, aku tetap menjadi Apta yang bersuara lantang di tanah lapang, bukan senyummu di penghujung latihan. Iya, semua berbicara perihal seandainya. Namun seseorang pernah mengatakan, menyesal tidak pernah datang tepat waktu atau lebih awal, ia selalu terlambat. 

Beginilah aku di balik menghilangnya diriku malam ini. Maaf tidak hadir pada sarasehan malam ini, Mbak. Tidak perlu mencariku dan tidak perlu bertanya apa masalahku. Semua yang membuatku menghilang tak lain dan tak bukan ialah perasaan labilku terhadapmu. Benar kata Fikri, aku tidak dewasa dalam menyikapi cinta. 

Diam, membuka-tutup menu gawai pintarku. Tidak ada kerjaan kecuali memperbanyak helaan napas, tidak pula ada kerjaan lain selain menyesal. Baiklah, semuanya akan kucoba, tidak lagi bertingkah labil dan kenak-kanakan. Berusaha untuk tetap tenang, tetap percaya bahwa perasaan ini mudah hilang kapan saja. Mana ada anak kecil dan pelatih baris-berbarisnya bisa bersama? Tidak ada. 

Untuk Dara Laksmi SasmitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang