13. Restu Ibu

847 154 11
                                    

Pulang dari rumahmu, ketika bulan tak bulat sempurna sedang indah-indahnya. Ibuku ada di ruang tamu, menanti ayah yang juga belum pulang dari perkumpulan RT. Aku duduk, diam, belum sempat menengok kamar, belum pula menyentuh nasi yang hangat. Lalu, kumulai ceritaku dari awal hingga aku jatuh cinta denganmu. Ibu tentu kaget, aku tahu tangannya bergetar.

“Ibu sudah lama menakutkan hal ini, karena kamu selalu bercerita tentang Mbak Dara setiap kali pulang dan menemui Ibu.” Menahan air bah di ujung matanya. 

“Maaf, kalau itu membuat Ibu kecewa. Dan.” Menelan ludahku sendiri. “Dan, Apta pengen Ibu mau merestui keputusan Apta untuk menikahi Mbak Dara, Bu.”

Ibu menoleh dengan matanya yang bulat sempurna penuh dengan air. “Ibu ndak tahu.”

“Apta mohon, Bu,” rengekku menggenggam tangannya yang bergetar. “Mbak Dara baik banget kok orangnya, keibuan, wawasannya luas.”

“Terus kamu minta Mbak Dara ngemong kamu, gitu?” 

Menggeleng. “Bu, ya suami yang bakalan ngemong istri.”

“Ibu ragu.”

“Ibu ragu sama anak sendiri?”

“Iya,” jawab ibuku tepat saat air matanya jatuh.

“Tapi, Bu, delapan tahun Apta kaya orang gila. Alasan Apta belum menikah bukan karena karir militer, karena memang belum bisa melupakan Mbak Dara, dan Apta sudah punya kesempatan sekarang. Apta mohon, mungkin kalau ibu yang minta, Mbak Dara mau, Bu.”

Sekali lagi Ibu menoleh. “Jadi Mbak Dara itu tidak mau sama kamu?”

Giliranku menunduk dan bungkam.

“Untuk apa kamu minta kalau dia sendiri sudah tidak mau?”

Diam.

Assalamu’alaikum,” sapa salam dari ayahku. “Ini kenapa, pulang-pulang kok disambut tangis?”

“Anakmu,” jawab Ibu.

“Kenapa?”

“Dia mau menikahi perempuan yang biasa dia ceritakan.”

“Mana ada? Dia tidak pernah menceritakan perempuan manapun, kecuali,” menoleh padaku. “Ya sudah, kalau memang dia maunya begitu. Anak ini sudah besar, sudah tahu baik buruknya, sudah tahu risikonya apa.”

“Yah!” protes Ibu sedikit keras. 

“Ibu malu sama tetangga kalau Apta menikahi perempuan yang lebih tua?”


Diam.

“Untuk apa malu sama tetangga? Mereka bukan yang ngasih makan kita,” sahut Ayah, beliau memang sedikit cuek.

“Bukan itu,” Ibu menimpali. “Tidak enak saja rasanya. Mas Apta, rasanya seperti kamu menikahi ibumu sendiri.” Sekali lagi Ibu menghapus air matanya. 

Menghela napas. “Bu, Mbak Dara kan cuma berjarak lima tahun dariku.”

“Terus apa Mas Apta bisa jadi imam yang baik buat dia?” 

Untuk Dara Laksmi SasmitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang