5. Kenyataan Yang Semakin Gila

893 137 36
                                    

Memasuki bulan Maret 2019, semakin habis waktu persiapan untuk perlombaan baris-berbaris serta tata upacara bendera di tingkat eks-Karesidenan Surakarta. 4 hari lagi menuju pertandingan, yang artinya hanya tersisa 2 hari lagi untuk latihan secara penuh. Latihan masih sama seperti yang lalu, meski materi baris-berbarisnya bertambah dengan variasi dan tata upacara bendera. 

Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika mendengar suara motormu dan benar, kamu baru saja memasuki gerbang sekolah dengan motor matic-mu. Bergegas lah kaki ini untuk menghampirimu, cepat-cepat ingin melihat wajahmu yang haram bagiku. 

“Ta, kaya ngejar jodoh, ya? Cepet amat,” tegur salah satu temanku yang baru saja keluar dari ruang guru.

“Emang iya,” jawabku terus berlari. Aku yakin temanku itu mengumpat setelah jawaban itu, aku bukan tipe orang yang diperbudak cinta selama ini, tetapi akhirnya diperbudak juga oleh sebab perasaan gilaku untukmu. 

Dengan napas yang masih menderu aku mulai memelankan lariku, melangkah pelan mengatur napas. Hingga tepat pada waktunya. “Habis bimbingan, Mbak?” 


Astagfirullah!” menepuk keras lenganku berkali-kali. “Kaget sih, Ta! Tiba-tiba muncul!”


Perasaanku yang tiba-tiba muncul, namun kemunculanku ini adalah kesengajaan, Mbak.

Pada akhirnya kamu mengeluh perihal rasa kantukmu, maka wajar, bukan? Jika aku memberimu nasihat agar kamu beristirahat saja dan tidur di basecamp. Wajar juga seorang adik mengatakan itu, tapi perhatianku kali ini bukan adik kepada kakaknya tetapi laki-laki kepada perempuannya. Ah, sepertinya percuma, anggapanmu tetaplah sama. Toh, pikirmu juga tidak mau meniggalkan kewajibanmu melatih kita semua. 

“Mbak Dara kalau diperhatikan nggak pernah nurut. Mentang-mentang aku hanya anak kecil,” gumamku menjauhinya. 

Latihan hari ini berpindah dari lapangan tenis menuju lapangan sepak bola mini, dari baris-berbaris berganti menjadi tata upacara bendera. Di mana aku, Risa, dan Febri sebagai pengibar bendera, Fikri sebagai pemimpin barisan kelas XII, dan yang lain pun medapatkan tugasnya masing-masing. 

“Mbak Dara rindu kasur di rumah nih kayanya,” tegur Fikri yang sudah ada di posisinya sebagai pemimpin barisan. Tepat ketika kamu mulai memejamkan matamu, sebelum geladi yang sesungguhnya dimulai, setelah kami berlatih secara individu. Fikri juga mengusulkan agar kamu istirahat, tak kamu hiraukan juga.

“Upacara pengibaran bendera...” pembawa acara telah memulai upacara pengibaran, tetapi fokusku belum terkumpul, masih menatapmu yang layu.

Singkat waktu tibalah giliranku untuk mengibarkan bendera, melakukan langkah tegap sembari melirikmu di sisi kananku. Berulang kali hampir terjatuh karena kantukmu, aku hanya takut kepalamu terbentur tepian lapangan yang lancip atau justru bibirmu mencium tanah lapangan yang sedikit basah oleh sisa hujan semalam. 

“Eh, Mbak Dara!” Risa spontan memanggil namamu ketika kamu hampir tersungkur untuk kesekian kalinya. “Mbak Dara!” pekik Risa lagi sebab kamu kembali menutup matamu, dan itu tepat ketika aku duduk dan menawarkan bahuku untukmu. 

Seandainya kita ialah pasangan romantis laiknya Inggit dan Bung Karno atau mungkin mirip pasangan Nabi Muhammad Saw. dengan Siti Khodijah, mungkin aku akan sangat bahagia. Sayangnya, kita hanya dua sejoli yang tidak mungkin bersama lantaran angka lima menjadi pembeda.

Untuk Dara Laksmi SasmitaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt