20. Standar Bahagia

810 138 5
                                    

Tahun berganti akhirnya memberi kesempatan kita untuk pulang, sekadar melepas rindu yang berton-ton membeku untuk keluarga. Meski tidak bisa di hari raya, setidaknya kita pulang setelah waktu yang lama. Kamu pun terlihat begitu senang memeluk Mama dan bercerita perihal bagaimana filmmu sukses membius para penonton dan memenangkan salah satu penghargaan naskah terbaik. Meski malam itu aku begitu menyesal karena harus ada di luar kota untuk pengamanan dan tidak bisa menemanimu menghadiri acara.

"Kesepian di rumah?" tanya Mama membelai rambutmu, menusuk dadaku, mengingat selama ini aku terlalu sibuk menjaga negara dan meninggalkanmu.

"Sedikit, tapi nggak apa-apa, jadinya ada waktu buat nulis. Kalau Mas Apta di rumah suka nggak ada waktu buat nulis."

"Kenapa?"

"Dara lebih suka manja sama Mas Apta nanti daripada nulis," jawabmu membuatku tersenyum.

Mama membelai rambutmu lagi dengan penuh kasih sayang. "Kalau kesepian terus, telepon Mama saja, nanti Mama akan mengusahakan datang. Kalau Wendra mau mengantar."

"Wendra tidak balik ke perusahaan, Ma?" tanyaku.

Menggeleng. "Pilih usaha di rumah, dekat sama istri dan anaknya."

"Ya, baguslah. Banyak uang kalau nggak banyak waktu juga gimana," balasmu.

"Suamimu nggak banyak waktu, nyindir ya?" selorohku.

Aku seringkali merasa bersalah akhir-akhir ini karena terlalu sering meninggalkanmu sendirian. Mungkin benar katamu, seharusnya kita sudah memiliki anak sebagai temanmu jika aku tidak ada. Namun, apalah daya, kita hanyalah manusia yang pandai meminta tetapi semua kuasa tetap ada pada Tuhan Yang Maha Esa.

"Nggak gitu, Mas."

Tersenyum. "Bercanda."

🍁🍁🍁

Dua hari kita habiskan waktu di rumahmu. Berganti ke rumahku, namun sepertinya di rumah Ibu terlalu banyak masalah yang diangkat. Ibu terus menanyakan apakah kamu sudah hamil dan kenapa begitu lama. Itu menjadi masalah yang kamu pikirkan setiap hari. Aku membawamu pulang dengan harapan melupakan sedikit keinginanmu tapi Ibu justru menggebu membahasnya di sini. Sungguh, maaf.

"Tidur duluan ya, Mas mau ikut ayah ngopi di luar," kataku membelai rambutmu.

Mengangguk. "Ibu sudah tidur? Kalau ibu belum tidur aku nggak bisa tidur duluan gini, Mas."

"Bentar lagi pasti Ibu tidur, sudah jam 10 gini kok."

Mengangguk.

Mengecup keningku, mengambil jaket, dan meninggalkanmu.

"Mas Apta," panggil Ibu menghentikan langkahku. "Yakin istrimu belum hamil?"

"Dara kan tadi sudah jawab, Bu. Jangan dibahas terus ah, namanya Allah Swt. belum ngasih mau gimana lagi?" suaraku lirih, aku tak ingin kamu mendengarnya tapi setelah tulisan ini selesai, kamu pasti juga akan membacanya. Maaf, mohon jangan tersinggung, aku sungguh mencintaimu.

"Ya sudah lama ini, Mas. Kamu nggak mau periksa ke dokter, nanti ada masalah lagi."

"Bu, nggak enak kalau Dara dengar."

"Kamu anak pertama Ibu ya, Mas. Siapa lagi yang mau Ibu kejar buat dapat cucu kalau bukan kamu. Adikmu? Dia saja masih sekolah."

Untuk Dara Laksmi SasmitaWhere stories live. Discover now