8. Patah Hati Terbaikku

688 139 12
                                    

Beberapa hari setelah doa patah hatiku, setelah kamu terlalu banyak bertengkar dengan Mas Akbar, dan setelah kamu ikhlas tidak mendampingi kami lomba di tingkat eks karesidenan Surakarta. Aku belum melakukan apapun untuk bisa memilikimu, aku tidak tahu bagaimana caranya tetapi keinginanku menggebu. Aku ingin selalu menghubungimu yang sudah pasti akan selalu kamu balas, tetapi tidak cukup bahan percakapan yang aku siapkan. Tentu, aku juga ingin berbincang denganmu tetapi jantungku seolah tak mampu mengondisikan degupnya, serta bibirku yang terkadang hampir kehilangan kuncinya untuk tetap diam. 

Aku senang sekarang sudah di Semarang, itu artinya kami menang di eks karesidenan kemarin, meski tanpa hadirmu. Intinya saja, aku senang telah menang dari perlombaan baris-berbaris. Harapanku sekarang tak hanya menang perlombaan baris-berbaris tetapi juga memenangkan perlombaan atas hatimu. Bisakah? Aku ingin bisa.

Kemarin kami sudah melaksanakan perlombaan tata upacara bendera, Mbak Dara. Entah berapa nilainya tetapi rasanya kurang lengkap tanpa senyum dan pekik semangatmu di tepi lapangan. Tidak ada pelukmu di tengah pelik kita semua. Di tingkat eks karesidenan kamu tidak ada karena memang sengaja tidak berangkat untuk menghindari pertempuranku dengan Mas Akbar. Tetapi kali ini alasanmu berbeda, ada acara yang tidak bisa kamu tinggalkan, ujarmu.

“Nggak ada Mbak Dara kaya nggak ada semangat, ya?” gumam Risa di sebelahku dan langsung diiyakan oleh semua pasukanku.

“Tapi harusnya yang bilang gitu si Apta, Ris. Kenapa kamu?” tegur Fikri membuatku ingin sekali menyumpal mulutnya dengan kanebo kering. 

“Kenapa gitu? Aku kan adiknya Mbak Dara juga, aku juga butuh semangat dari Mbak Dara. Sangat amat butuh. Aku sayang sama Mbak Dara tahu, Fik.”

“Ya, begitupun dengan Apta. Dia juga sayang sama Mbak Dara.”

“Kita semua kan sayang sama Mbak Dara.”

Risa tak sadar bahwa Fikri telah memberinya kode rahasia yang amat sangat jelas. Teman perempuanku ini sepertinya terlalu polos. Fikri berbicara tentangku sebagai seorang laki-laki, tetapi Risa membalas tentangku sebagai seorang adik. 

“Oke, oke, Risa.” Fikri menghela napas lalu mendekatiku. “Semangat tanpa penyemangat, Bosku!”

Aku mengangguk saja. “Ayo berlaga sekali lagi, setelahnya kita bisa pulang dan menunjukkan piala itu pada Mbak Dara. Buktikan bahwa meski tanpa Mbak Dara, kita selalu mengingatnya dan berbuat baik sesuai instruksinya,” kataku memotivasi. 

Semuanya mengangguk dan mulai berlaga. 

Di sinilah, Mbak. Di GOR Satria Semarang, aku melakukan kesalahan, aku kurang berkonsentrasi, hingga dua kali aba-abaku harus diikuti oleh kata ulangi. Hampir saja dua aba-aba terlewat dan bisa jadi itulah malapetaka patah hati pertamaku.

Pengumuman telah di sampaikan dan memang benar adanya, kami hanya mendapatka juara umum kedua serta beberapa piala juara terbaik di berbagai kategori. Mbak, aku kecewa dengan diriku sendiri, yang tidak bisa mengendalikan otakku terhadapmu. Aku gagal dan aku terlalu bodoh, sebut saja aku budak cinta. 

Kami menangis saat ini, Mbak. Tidak ada air mata yang mengering, alirannya cukup deras dan hati kami diselimuti badai. Tahun lalu kami juara umum pertama, lalu, mengapa kita kalah hari ini? Apa karena kami terlalu angkuh setelah menjadi juara? Apa kami kehilangan rasa syukur kami?

“Sudah, tak apa, Dik.” Salah satu senior menghibur kami tapi agaknya tak sebaik hiburanmu setiap kali kami terjatuh. 

Untuk Dara Laksmi SasmitaWhere stories live. Discover now