12. Memintamu

834 152 6
                                    

Mbak, aku sedang dalam perjalanan ketika mulai menulis bagian ini. Bagaimana denganmu? Katanya sudah pulang sejak kemarin, ya? Sampai jumpa nanti. Maaf, aku terlambat karena baru mendapatkan surat perjalanan dari Komandan. Ah, mungkin kamu juga tidak sedang menantiku, aku saja yang tidak sabar ingin menemuimu. Meskipun kata Fikri, kamu juga ingin menemuiku. Pasti, pasti kamu ingin meminta pertanggungjawaban atas enyahnya diriku dari hadapanmu. 

Turun dari taksi, dengan topi lusuh di tanganku, mengambil napas yang dalam, lalu meghembuskannya pelan. Sungguh aku merasa selangkah lagi untuk memilikimu. Setelah semalam suntuk aku khawatir tentang laki-laki yang saat ini dekat denganmu, meski Fikri bilang tak ada siapapun. Aku berharap, tak ada lagi yang menghalangiku. 

Sempat menatap nanar gerbang sekolah yang bentuknya tak banyak berubah, hanya cat yang sepertinya baru kering, tulisan SMKN 2 pun tak berubah. Baliho besar tentang prestasi sekolah yang berubah, lebih menarik. Pohon beringin juga masih utuh, taman yang semakin indah. Semua tempat di sini punya kisahnya masing-masing tentang dirimu. Lalu aku mulai melangkah masuk.

Aku yang awalnya melangkah pelan menjadi tidak sabaran, kupercepat menuju dirimu. Fikri bilang, kamu sudah datang sejak tadi, aku saja yang terlambat. Semakin kupercepat, dan semakin cepat. 

Tepat di barat lapangan upacara, aku melihat tiang bendera yang masih putih bersih, belum ternoda oleh karat besi. Namun kosong tanpa bendera merah putih, mungkin karena ini hari libur, tak ada yang memasang bendera di pagi hari dan menurunkannya di sore hari. Aku tersenyum tipis, ingat sebuah pelukan erat pada malam itu.

Kembali melanjutkan langkah cepatku, semakin tak sabar, kuganti langkah biasaku menjadi lari. Lari dan berlari secepat mungkin, seperti sedang berlari dari kejaran musuh yang tak mampu dilawan seorang diri. 

“Aduh maaf, telat, Dik. Masih jalan, kan?” tanyaku pada Ketua Patriakara yang masih aktif saat ini. Selagi mengatur napas, lirik mataku menangkap gambaran dirimu. Memakai hijab yang sisanya cukup panjang menggantung di bahu, celana warna cream, dan baju warna hijau tua. 

“Masih, Mas,” jawab adik kelas di depanku, tetapi aku menoleh mengikuti gerak langkahmu. “Tadi aku yang sambutan, sama Mas Pras. Agak ribet, Mas. Banyak alumni yang bawa anak, anaknya pada rewel. Mas Apta sih, katanya mau bantuin dan mau datang lebih awal. Malah terlambat, lama banget lagi.”

“Itu tadi Mbak Dara bukan?” 

“Ha?” 

“Mbak Dara, alumni.”

“Mbak Dara yang alumni kan ada dua, Mas?”

“Ha? Masa?”

“Iya, yang angkatan kemarin baru lulus, sama yang angkatan berapa ya? Yang penulis itu pokoknya.”

“Ya, yang penulis itu. Yang itu tadi, kan? Yang lari ke sana?”

“Iya.”

Aku langsung melangkah, mengejarmu dan berusaha menebak ke mana arahmu pergi. 

“Mas, ini gimana? Nggak masuk dulu?”

“Nggak, kamu urus dulu!"

Orang mungkin tahu, selama ini aku selalu bertanggungjawab dengan apa yang telah orang percayakan padaku, tetapi dengan alasan kamu. Bahkan aku memperlihatkan diriku yang sebenarnya pada dunia, bahwa aku tidak sesempurna itu sebagai seorang laki-laki dan pemimpin.

Untuk Dara Laksmi SasmitaWhere stories live. Discover now