15. Mari Kita Tutup Telinga!

838 142 3
                                    

Sudah lewat masa tanggap bencana hari ini, Dik. Ah, sebenarnya sedikit aneh memanggilmu begitu. Akan tetapi, harus kubiasakan. Bukankah lebih aneh jika tetap memanggilmu Mbak? Bagaimana jika kamu tetap menganggapku adik selama aku masih memanggilmu dengan Mbak? Sungguh, canggung. Tapi percayalah, ini hal baik yang harus kulakukan.

Hari ini aku juga harus meyakinkan ibuku lagi perihal dirimu. Kukatakan semua yang terjadi dan beliau bilang, "Asal kamu bahagia." Meskipun ada sisa ketidakikhlasan di sana. Ibu akan segera menerimamu, seperti aku yang berusaha abai perihal angka lima yang menjadi pembeda.

Jujur, aku juga tidak baik-baik saja dengan pilihanku. Tetapi aku harus menjadi baik di hadapanmu agar kamu yakin denganku. Bukan, bukan maksudku aku tidak yakin atas pilihanku. Yang kutakutkan adalah bagaimana jika nanti kamu harus menerima beberapa hujatan? Haruskah aku membiarkanmu bersedih.

Hal-hal semacam itu terkadang melesat cepat dipikiranku, berlalu ketika aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa orang lain hanya pandai mengomentari tidak pandai dalam memahami lebih-lebih mengintrospeksi dirinya sendiri. Melihat ke dalam dirinya sendiri adalah kesulitan dan melihat ke dalam diri orang lain adalah kemudahan yang salah.

Bagaimana jika lambat laun kamu tak nyaman dengan angka lima di antara kita? Bagaimana jika aku gagal meyakinkanmu sekali lagi. Tak ada yang salah dari perasaanku, akan tetapi, tak ada manusia yang bisa sepenuhnya abai terhadap komentar orang lain. Bahkan meski secepat kilat, setidaknya komentar orang lain pernah kita pikirkan, bukan? Aku sedang berusaha untuk menghadapi itu semua nantinya dengan keyakinan bahwa aku dan kamu yang menjalani semuanya. Mereka tak memberikan apapun dan tak berhak mencampuri urusan apapun.

Sejenak terdiam, melihat beberapa luka goresan di telapak tangan, berakhirlah dengan menelepon Fikri kemudian tersambung pada Risa. Kukatakan pada mereka bahwa bagaimanapun aku akan segera melangsungkan acara lamaran denganmu, serta perencanaan akad nikah di Karanganyar. Kuharap mereka membantuku semampu mereka.

"Yakin Mbak Dara mau?" tanya Fikri, sementara Risa masih diam.

Aku mengangguk meski tak dilihat. "Dia memintaku mengantarnya resign. Mungkin besok aku antar sebelum habis masa liburku."

"Kamu beneran sudah gila ya, Ta? Kupikir kamu menyerah tahunya masih gas pol." Risa akhirnya berbicara.

Tersenyum tipis. "Aku sebenarnya agak takut, jika orang lain tahu soal usiaku, bagaimana jika Dik Dara dicap buruk?" tanyaku pelan.

Fikri dan Risa berseru, "What? Dik Dara?" 

Diam sejenak. "Iya, Dara, iya."

"Astaga, aku geli banget sumpah." Risa dengan suara khasnya. "Tapi seriusan?"

"Serius, Sa. Walaupun jujur, aku takut Mbak Dara jadi gunjingan," balasku duduk di pojokan kamar, dekat dengan meja kecil dengan laptop dan minispeaker. Aku sedang menuliskan rasa syukurku agar dapat kamu baca saat kita bersama nanti. "Usianya lebih tua dan lain sebagainya."

"Si Overthinker!" potong Fikri. "Belum tentu orang akan menilai begitu, kan belum kamu mulai, kamu belum mendengar langsung, Ta. Itu baru di dalam pikiranmu saja."

"Bukannya yang penting itu gimana kamu sama Mbak Dara? Yang menjalani hidup kalian, orang lain tidak ada urusan. Kalau masih takut dan ragu menghadapi omongan orang nantinya, tinggalkan Mbak Dara saja, kalian tidak berjodoh!" ketus Risa.

Menghela napas panjang. Bagaimana jika kamu menyerah di tengah nanti? Usaha apa yang harus kulakukan untuk mencegahmu pergi? Aku bukan takut terluka saat hubungan kita dihujat, aku takut kamu yang paling terluka lalu berpikir untuk pergi meninggalkanku.

Untuk Dara Laksmi SasmitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang