18. Biar Malam Berbicara

1K 168 6
                                    

Kita sedang dalam perjalanan menuju Depok, kamu ingat akan mengingatnya. Ketika malam dan tangan kita saling bertautan. Dan malam di mana kamu limbung dengan mesra dalam rengkuhanku, gerbong 4 dari stasiun Balapan - Solo. Meski belum sejauh itu, aku hanya membiasakan diri memelukmu, menghilangkan semua tanda selisih angka lima. Kita akan sampai esok pagi, jadi tetaplah nyaman dalam pelukanku akan kubangunkan jika kereta kita sampai pada tujuan.

Sesekali aku menatapmu, memikirkan bagaimana jiwamu yang bebas nanti terkurung dalam asrama hijau yang penuh dengan aturan. Mungkin tak seskaku dalam bayangan untuk beberapa orang yang terbiasa hidup dengan kekakuan. Akan tetapi, aku lebih mengenalmu dibandingkan siapapun yang kamu temui. Jiwamu bebas, tidak suka terkungkung aturan, pemikiranmu luas. Sayang, dengan menikahimu artinya aku telah mengurung jiwamu.

Beberapa kritikmu terhadap pemerintah kulihat bersarang di media sosial milikmu. Sekarang, tak akan bisa kamu bersuara sebab suamimu seorang abdi negara. Mudah bagimu menentukan kapan dirimu bebas dan kapan dirimu harus terkurung dalam kamar, tetapi segala kegiatan ibu Persit bukan kamu yang mengatur. Malam-malam di mana setiap menitnya aku merasa menyesal telah menikahimu. Bukan, menyesel telah menjadi tentara dan mengurungmu.

Tiba di Depok pagi hari, tepat di asrama Batalyon dan langsung merapikan beberapa barang-barang. Senyummu nampak bahagia, mungkin karena jiwamu belum benar-benar merasa terkurung. Atau aku terlalu memikirkan masa nanti yang belum terjadi.

"Dik, istirahat saja. Biar mas yang beres-beres," kataku memintamu untuk duduk di dekat tempat tidur.

Menggeleng. "Sudah tugasku. Mas mandi dulu aja."

Tak mengindahkan kalimatnya, masih sibuk menatap. "Dik, di asrama nanti banyak kegiatan dan banyak aturan."

"Aku sudah belajar. Mas Apta tahu sendiri, kan?"

Diam beberapa saat. Bukan itu, jiwamu terbiasa bebas.

"Aku akan mencobanya. Dibandingkan LDR, mungkin lebih baik terkungkung segala aturan."

Keras kepalamu tak pernah lembek, meski sedikit saja. Kamu masih tetap Dara beberapa tahun silam. Dara yang tegas dan keras kepala.

🍁🍁🍁

Hari berganti, bahkan Minggu telah berganti, aku menikmati peranku sebagai suami dengan semestinya. Kamu juga mulai menjalankan tugasmu sebagai istri sebagaimana istri-istri lainnya. Menyiapkan seragam, memasak, membersihkan rumah, bercengkrama dengan tetangga, mengikuti kegiatan Persit. Banyak hal, kamu melakukan semuanya dengan tersenyum dan aku menyukai itu.

Hanya saja, sikapmu yang terlihat tangguh dapat melaksanakan segalanya sendiri justru menggangguku. Bahkan sekadar mampu mengangkat galon saja membuatku merasa kesal. Kamu tahu,  Dara, aku justru mengharapkanmu menjadi perempuan lemah. Ah, manusia memang tak pernah puas dan banyak maunya.

"Kenapa, Mas?" tanyamu selesai memasang galon dengan benar.

Menggeleng. "Istriku bisa melakukan segalanya."

"Ada yang nggak aku bisa kok, Mas."

"Apa?"

"Berpaling darimu."

Bagaimana bisa perempuan mungil sepertimu, perempuan berwibawa sepertimu mengatakan hal manis untuk menggodaku. Bibir merah mudanya dan senyummu, ingin kubungkam saat ini juga.

"Mas," panggilmu ketika aku mendekat dan menyentuh bibirmu.

"Maaf," kataku menjauh.

Wajahmu menegang dan itu membuatku tertawa. Bukannya merasa bersalah tapi wajahmu begitu lucu.

Untuk Dara Laksmi SasmitaWhere stories live. Discover now