F = Feeling

1.1K 192 48
                                    

Yeonjun terdiam di teras rumahnya. Ia bingung, lebih tepatnya resah dengan hal yang baru saja dilakukannya. Ia bahkan tidak berniat untuk masuk kedalam rumah.

Sebenarnya hal yang membuatnya resah sampai sekarang itu bukan masalah yang besar. Tapi, membuatnya bimbang dan sedikit menyesal, mungkin.

Baiklah, biar Yeonjun jelaskan.

Yeonjun baru saja merusak sepeda Soobin dan meninggalkannya pulang ke rumah.

Ehmm, tidak keterlaluan, kan?

Yeonjun berulang kali berpikir kalau hal yang baru saja dilakukannya itu biasa saja. Salahkan Soobin sendiri yang membuat Yeonjun kesal kemarin.

Tutornya itu telah mengadu pada Ibunya tentang kelakuan buruknya akhir-akhir ini.

Sebenarnya bukan mengadu, saat itu Ibu Yeonjun bertanya pada Soobin apa yang dilakukan anaknya baru-baru ini. Lalu, Soobin malah dengan gamblang membeberkan segalanya.

Mulai dari merokok, bolos dan hampir tawuran.

Sontak saja Ibu Yeonjun langsung murka kepadanya, dan berakhir dengan ponselnya disita dan mengurangnya uang sakunya secara drastis.

Jadi, Yeonjun berniat membalas Soobin sedikit. Melihat Soobin yang tumben membawa sepeda, membuat niatan itu muncul. Biasanya kan anak itu naik bus.

Tapi sialannya, sekarang dia yang resah dan merasa bersalah. Ia tahu jarak sekolah kerumahnya itu sedikit jauh, apalagi ke rumah Soobin.

“Bego gue.” Yeonjun bermonolog,  menyesal dengan perbuatannya.

Mengesampingkan rasa kesalnya yang sekarang tertutup oleh rasa khawatir, ia langsung menaiki motornya dan memutar balik ke sekolah.

Dia menelusuri jalan yang biasanya Soobin lalui. Berharap dapat bertemu atau yang lebih baik bahwa Soobin sudah pulang kerumahnya.

Namun, nyatanya hampir di setiap jalan yang ia lalui tak satu pun ia bertemu dengan sosok bayi kelinci itu.

“Udah balik kali, ya?” ucap Yeonjun ketika sepeda Soobin yang tadi ia rusak masih terparkir di tempat semula.

“Apa gue telpon dulu?” Yeonjun merogoh sakunya, namun seketika mengerang kesal, “Sialan, lupa kalo hp gue masih disita nyai lampir.”

Dengan perasaan kesal dan resah, Yeonjun memilih untuk berbalik pulang.

Beberapa menit Yeonjun berkendara, matanya sedikit menyipit saat melihat tempat yang biasanya dijadikan tempat kumpul Yeonjun dan gengnya terlihat sedikit ramai.

Yeonjun mengernyit heran. Kenapa teman-temannya berkumpul seperti itu?

Yeonjun berhenti, menstang motornya dan berjalan menghampiri mereka.

“Kalian ngapa—EH BANGSAT!”

Amarahnya seketika meledak, saat melihat salah satu temannya sedang menarik kerah seseorang dan akan mengayunkan pukulan ke orang tersebut.

Kalau saja orang yang akan dipukul itu siswa lain, Yeonjun tidak akan marah. Bahkan, Yeonjun akan ikut andil di dalamnya.

Namun, yang sedang dikepung itu Soobin! Berani sekali teman-temannya itu menyentuh Soobin.

Sontak Yeonjun langsung melayangkan tinjunya sebelum temannya tersebut memukul Soobin.

“LO APA-APAAN BANGSAT!” Yeonjun balas memukul orang tersebut dengan membabi buta. Temannya itu terkejut sehingga tak sempat melakukan perlawanan.

“ANJING, BANGSAT LO!” Yeonjun masih berteriak dengan marah. Yang lainnya segera melerai. Namun, sulit, karena Yeonjun yang begitu brutal.

“Jun, Yeonjun! Sudah!”

Soobin mencoba menarik tangan Yeonjun. TOLONG LAH, ITU ANAK ORANG BISA MENINGGAL.

Yeonjun yang masih emosi tanpa sadar malah mendorong Soobin kebelakang hingga jatuh tersungkur.

“Aduhh..” ringis Soobin.

Yeonjun seketika berhenti, ia dengan paniknya langsung menghampiri Soobin yang jatuh terduduk.

“Lo..lo..nggak papa?” ucap Yeonjun dengan suara bergetar.

Soobin menggeleng pelan, lalu mencengkram tangan Yeonjun.

“Berhenti.”

Yeonjun masih menatap Soobin khawatir. Ia mengangguk pelan lalu membantu Soobin untuk berdiri.

Rahangnya langsung mengeras saat melihat darah di telapak tangan dan siku Soobin.

Ini salahnya.

Yeonjun dengan tatapan menusuk, memandang temannya yang menjadi korban kebrutalannya. Dia sedang dibantu oleh teman-temannya yang lain.

“Lo bego, Jun? Kenapa lo malah mukul gue, huh?! Gue temen lo!”

Yeonjun sudah akan menghampiri sebelum Soobin menahan tangannya.

Yeonjun menarik napas dalam, menahan emosi, “Kalian berani mukul Soobin.”

Teman-temannya langsung melongo tak percaya, “Sadar, Jun! Dia orang yang selalu bikin hidup lo dalam masalah! Bisa-bisanya lo belain dia.”

“Itu bukan urusan lo! Satu yang harus lo tau, jangan sekalipun lo sentuh Soobin lagi! Kalau itu terjadi, lo bakal habis di tangan gue!”

Ucapan terakhir yang Yeonjun katakan sebelum ia membawa Soobin pergi dari tempat itu.

+×+

“Siniin tangan lo.”

Soobin mengulurkan tangan kanannya, yang langsung diambil oleh Yeonjun.

Anak slengean itu dengan telaten membersihkan darah yang masih menempel di tangan Soobin. Ia merasa ngilu sendiri.

“Maafin gue.” ucap Yeonjun. Rasa bersalah kembali memenuhi dadanya.
Soobin tersenyum tipis, “Tidak apa-apa, kamu tidak sengaja.” ucap Soobin tenang.

“Mereka ngapain lo?” tanya Yeonjun. Percayalah, Yeonjun masih menahan emosi.

“Hanya mendorong dan hampir memukul.” jawab Soobin tenang.

Yeonjun menghela napas, “Bajingan.” desisnya.

Yeonjun kembali fokus mengoleskan obat merah pada luka Soobin, “Sakit?” tanyanya.

“Ya, sedikit.” Soobin meringis kecil.

Yeonjun mencoba lebih hati-hati. Bibirnya sesekali meniup-niup tangan Soobin berharap sakitnya akan berkurang.

Hal itu sontak membuat Soobin tertawa kecil, “Kamu lucu.”

“Yeu, guenya khawatir kayak gini dibilang lucu.” dengus Yeonjun malas.

Soobin tersenyum, senyum yang tak pernah Yeonjun lihat sebelumnya. Matanya langsung terpaku.

Perasaannya mengatakan bahwa ia ingin melihat senyum itu lebih lama. Entah mengapa ia ikut tersenyum.

Mulutnya gatal untuk berucap, “Coba lo senyum, biar yang liat lo nggak merasa suram.” ucap Yeonjun yang langsung saja mendapat pukulan di kepala oleh Soobin.

“Goblok kamu.” ucap Soobin.

Yeonjun tertawa semakin lebar. Ia tak bisa membohongi perasaannya saat ini.

“Selesai.” ucap Yeonjun.

Soobin menatap tangan kanannya yang kini telah terbalut rapih. Ia baru tau kalau Yeonjun memiliki sisi seperti ini juga.

Yeonjun menggenggam pelan tangan kanan Soobin, rautnya seketika sendu.

“Jangan terluka, Bin. Apalagi karena gue.”



•••

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang