39

2.4K 298 13
                                    

Happy reading🕤

☁️☁️☁️

Motor Aray memasuki pekarangan rumahnya. Aray dibuat bingung dengan kehadiran empat orang cowok yang baru saja keluar dari pagar rumah. Masing-masing menggunakan motor dan jaket kulit berwarna hitam.

Aray sempat berpikir bahwa mereka adalah teman-teman Gilang. Tapi Aray sama sekali tidak pernah melihat wajah mereka semua.

Gilang di rumah sendirian. Orang tuanya sedang berkunjung di tempat rekan kerjanya. Hal itulah yang membuat Aray semakin takut meninggalkan Gilang sendirian. Apalagi belakangan ini Gilang sangat aneh.

Aray melirik jam tangannya sebelum turun dari motor.

Hampir jam sepuluh malam. Tubuhnya sangat lelah setelah seharian bekerja. Tapi dia belum bisa beristirahat, ada beberapa tugas sekolah yang belum selesai dia kerjakan.

Dengan tas ransel hitam di pundaknya dan baju hitam polos yang dikenakannya. Aray berjalan menuju pintu utama.

Aray membuka pintu besar bercat putih itu. Matanya terbelalak kaget melihat Gilang yang sudah tidak berdaya di atas lantai. Gilang memegang perutnya dengan kuat sambil meringis kesakitan.

"Gilang! Lo kenapa?" Tanya Aray panik dan langsung membantu cowok itu untuk merubah posisi menjadi duduk. 

Dahi Gilang berdarah dan ujung bibirnya sedikit terkelupas. Aray menatap kasian Gilang. Dia tidak tega melihat kondisi Gilang yang seperti ini.

"Orang tadi siapa?" Aray sangat yakin yang sudah memukul Gilang adalah keempat cowok yang tadi sempat ia lihat.

Gilang tidak menjawab dia hanya diam. Bahkan dia memejamkan matanya berkali-kali. Tubuhnya sangat sakit sekali.

Aray yang panik langsung membantu cowok itu untuk berdiri dan membawanya berbaring di atas sofa ruang keluarga. Aray melempar asal tas ranselnya lalu berlari ke belakang mengambil kotak obat.

Tangan Aray dengan lihai mengobati luka di dahi Gilang. Dia membersihkan darahnya terlebih dahulu setelahnya meneteskan obat luka dan menempelkan plester. Aray melakukannya dengan sangat hati-hati agar Gilang tidak terlalu merasakan sakit.

Aray merogoh kantung celananya. "Orang tua Lo harus tau, biar gue hubungi." Baru saja Aray ingin menghubungi nomor Tama, tangan Gilang dengan cepat menahannya.

"Jangan," jawab Gilang dengan suara beratnya. "Gue takut papa marah," jawabnya lagi.

"Marah? Marah kenapa?" Tanya Aray.

"Gue kalah taruhan." Jujur Gilang tanpa menatap Aray.

Sebentar, Aray jadi mengingat perkataan Milka. Wanita itu bilang dia mendengar bahwa keempat pria yang memukul Gilang mereka menyebut kata taruhan. Tapi Aray tidak tahu Gilang kalah taruhan dalam hal apa.

"Balapan?"

Gilang mengangguk pelan membenarkan ucapan Aray. "Gue gak bisa bayar, jadi gue lebih pilih buat kabur dari mereka," sambung Gilang.

Aray yang ada di samping Gilang memilih untuk mendengarkan terlebih dahulu tanpa memotong pembicaraan Gilang. Aray tidak habis pikir, Gilang sering sekali melakukan hal seperti itu yang jelas-jelas merugikan untuknya. Aray sudah sering melarang Gilang tetapi cowok itu selalu tidak peduli dan mengatakan bahwa dia tidak ada hak untuk mengatur hidupnya.

"Gue takut kalo papa tau dia bakalan marah, gue gak mau papa kecewa." Gilang meringis kesakitan saat perutnya kembali nyeri. "Gue minta sama Lo jangan bilang sama papa." Lirih Gilang.

Dunia ArayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang