15

28.5K 5K 389
                                    

*Putri

Gue pamit duluan ke orangtua Jaerend buat balik duluan. Sementara Jaerend masih sibuk sama beberapa temennya. Gue buru-buru manfaatin situasi dengan berpamitan, selagi ada alasan yang tepat.

Radar Jaerend terlalu cepat menangkap gue yang berjalan keluar. Dia berlari mendekat ke arah gue dan temen-temen KKN gue.

"Yang? Kemana?"

"Jeje aku balik sama mereka dulu ya? Kamu kan masih ada tamu," pamit gue.

"Kamu kenapa?"

"Enggak Je, Putri mau ikut ke apartemen gue kok. Traktirannya jadi kan?" Untung Brian cepat tanggap.

"Jadi, tadi gue udah bilang sama asisten bokap gue kok."

"Yaudah gue nitip Putri ya, nanti gue susul."

Setelah mendapat izin kami langsung menuju apartemen Brian. Di kursi depan ada Wildan yang membawa mobilnya, kemudian Satya di sampingnya. Di sebelah gue ada Darren sama Brian.

Suara mobil berisik karena anak-anak ini sibuk melempar candaan. Gue terdiam sambil natap jalanan, sedari tadi gue nahan perasaan gue. Akhirnya gue nangis. Seakan gak tau malu, gue terisak keras banget.

"PUT?!"

"Aduh Ya Allah kenapa ini?"

"Putri lo kenapa?"

"Yah Put, kita kayak penculik kesannya."

Semua terdengar panik.

Brian sama Darren yang di sebelah gue sibuk menepuk bahu gue.

"Keluarin aja sekalian Put, jangan ditahan." Satya menyarankan.

"Wil keliling dulu yang jauh deh," suruh Darren.

"Put..." panggil Darren di sebelah gue.

Gue terus menangis sampai sesenggukan. Brian memberikan air mineral ketika gue mulai sesenggukan. Sementara Darren tetap dengan tangannya yang menepuk-nepuk bahu gue.

Ada mungkin setengah jam gue nangis. Mata gue mungkin udah bengkak. Setibanya di apartemen Brian, gue langsung diajak duduk di sofa sama Satya.

"Bri bikinin minum dulu," suruh Wildan.

"Iya Tuan, mau minum apa?" jawab Brian mencoba membuat suasana hidup.

"Teh madu lemon ada gak?" tanya Darren.

"Ada, tapi madunya gausah pakai ya," jawab Brian.

"Kenapa?" Wildan tanya.

"Soalnya Putri itu honey jar nya Jaerend," Satya menjawab, mencoba bergabung menghidupkan suasana.

Fyi, honey jar itu nama kontak gue di hp Jaerend. Enggak tau maksudnya apa.

"Oh iya, Neng Honey jar, udah manis gausah pakai gula ya?" Brian kembali bertanya.

Gue cuma diem gak bereaksi. Perasaan gue masih campur aduk. Pikiran gue udah enggak karuan.

Gue gak marah sama Jaerend, gue gak marah sama siapapun. Gue marah sama diri gue sendiri.

Kenapa gue masih belum bisa ngilangin perasaan insecure gue?

Kenapa gue enggak bisa cinta sama diri sendiri?

Kenapa gue selalu merasa rendah dibanding kan dengan orang lain?

Kenapa gue selalu berkecil hati?

Kenapa harus gue yang punya perasaan macam ini?

"Maaf bikin kalian panik," gue membuka suara.

"Makasih juga, karena kalian ada disini."

"Hmmm iya, gakpapa. Sekarang udah lega?" tanya Satya.

"Gue lega, tapi tetep ada yang ganjel."

"Mungkin karena lo nahan dari tadi, menurut gue lo butuh cerita. Kalau gak mau cerita sama Jaerend, cerita saka kita aja," kata Darren.

"Enggak perlu gue ceritain, kalian pasti udah paham kenapa. Mungkin kalau gue ceritain ulang, kalian bakalan bosen dengernya," jawab gue.

"Kita juga minta maaf ya karena cenderung maksa lo buat dateng," sesal Satya.

"Enggak, kalian enggak salah. Masalahnya ada di gue sendiri."

"Don't blame yourself." Satya menatap gue dengan tatapan tegasnya.

"Tapi ben-"

Pip!

Suara seseorang membuka pintu apartemen dengan kartu akses membuat kami semua mengalihkan pandangan. Jaerend masuk dengan tangan yang penuh dengan plastik. Darren dan Wildan buru-buru membantu Jaerend membawa makan-makanan itu.

"Put?!" Jaerend berjalan terburu-buru mendekat.

"Kamu kenapa?" dia mengambil posisi duduk di sebelah gue. Tatapan terlihat khawatir.

Ngeliat Jaerend udah ada disini, mata gue kembali memanas.

"Je, lo ngobrol sama Putri di kamar aja gimana?" tawar Brian.

"Iya, coba Put lo bilang ke Jaerend. Pintunya jangan di tutup tapi," sambung Satya.

Gue berjalan mendahului Jaerend. Kemudian gue memilih duduk ujung tempat tidur. Jaerend mengikuti di belakang kemudian duduk di samping gue.

"Maaf..." adalah kalimat pertama yang keluar dari gue.

"Jaerend maaf..." tangis gue kembali pecah.

"Maaf, maafin aku."

Jaerend terdiam, sementara gue gak mampu lihat wajah dia.

Masih dalam keadan terisak gue berkata, "Maaf, aku bikin kacau hari kamu. Maaf karena aku ga bisa kayak orang lain, maaf karena aku seperti ini."

"Aku gak mau kayak gini, aku mau berubah tapi susah... Aku gak tau lagi aku harus gimana kalau sama kamu, aku masih ngerasa kalau aku ini enggak pantas sama kamu. Aku harus gimana? Bahkan buat sayang sama diri aku sendiri rasanya sulit, untuk memuji diri sendiri pun aku enggak punya cukup alasan buat mengapresiasi diri aku," gue mengepalkan tangan karena kecewa sama diri sendiri.

Namun Jaerend enggak ngebiarin tangan gue mengepal. Tanpa menatap ke arahnya, gue ngerasain tangannya membuka kepalan tangan gue dan menyatukan dengan telapak tangannya

"Jaerend, diluar sana masih ada banyak orang..."

"Terus, kamu mau aku sama mereka aja?"

Demi apapun suaranya terdengar dingin. He must be tired with me.

"Jaerend, kamu pasti capek sama aku. Aku juga capek sama diri aku sendiri. Kenapa aku ngerasa lebih rendah dari orang lain? Kenapa aku enggak bisa menghargai diri aku sendiri? Aku itu benci sama aku sendiri!"

Tangan gue yang semula ada di genggaman Jaerend gue tarik. "Aku itu kacau."

Gue menutupi wajah gue dengan kedua tangan gue. "Aku benci ketika sama kamu, aku bakalan ngerasa berkecil hati. Aku enggak mau ngerasain perasaan kayak gini lagi. Aku udah terlalu benci sama diri aku, dan sekarang rasanya semua semakin menjadi-jadi."

Tanpa sepatah kata Jaerend mendekap gue erat banget.

"Jaerend maaf..."

"Hari ini harusnya kamu seneng, tapi aku cuma bisa ngerusak semuanya. Maafin aku yang seperti ini."

Enggak ada jawaban, Jaerend hanya memeluk gue tanpa suara. Yang terdengar hanya suara gue dan tangisan.

"Kamu pasti capek. Dan aku minta maaf. Aku cuma bisa minta maaf sama kamu. Jaerend, aku ini cuma ngasih duri buat kamu. Semakin lama kamu menahanku, kamu bakalan semakin terluka."

"Put," panggilnya masih sambil memeluk gue .

"Kamu udah mencoba. Makasih ya, makasih udah mau berusaha berubah, berubah itu enggak cepet."

"Sekarang aku yang tanya. Apa kamu capek sama aku?"





***

Ya Tuhan kenapa aku gak tega sama mereka 😢😢

US - Untold Story (Spin Off "45 Days Of KKN") Where stories live. Discover now